Bagian 6

29 5 13
                                    

Rissa menatap hujan yang juga tak kunjung usai hingga sepulang sekolah. Ia menatap ruang penyiaran ini yang telah kosong, hanya ada dirinya sendiri disini. Situasi saat ini jauh lebih baik setelah apa yang telah terjadi siang tadi.

Tanpa sadar, Rissa melirik tangan kanannya yang berada diatas meja. Ia masih bisa merasakan nyeri ditangannya karena menampar Dante siang tadi.

Ia benar-benar kehilangan kendali mendengar ucapan kasar laki-laki itu yang berani meremehkan hal yang selalu membuatnya bangga menjadi siswa di sekolah ini.

Rissa menghembuskan nafasnya pelan. Sebentar lagi senja dan ia ingin segera pulang. Akan tetapi, hujan hari ini seperti melarangnya untuk pergi dari sekolah ini.

Rissa menutup pintu ruang penyiaran dengan perlahan dan saat ia berbalik, ia dikejutkan oleh tiga orang perempuan dihadapannya.

Rissa memejamkan matanya sejenak. Selain berurusan dengan Dante, sudah pasti ia akan berurusan dengan jodohnya, Olivia.

"Sepertinya kita perlu bicara, Tarrisa?" Perempuan itu mencengkram erat tangan Rissa dan menariknya lebih seperti menyeretnya dengan sedikit kasar untuk mengikuti perempuan itu.

"Lepas!" Rissa menghempaskan tangan yang tengah mencengkeramnya itu. Ia menatap sekelilingnya dimana kini ia bisa melihat dan mendengar suara hujan dengan lebih jelas.

"Aku tidak tahu kalau kau akan seberani itu. Menyentuh.. Bahkan menampar wajah Dante? Cih!" Decak sebal perempuan itu dan menaikkan nada suaranya di akhir kalimat.

Rissa kembali memejamkan matanya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia berusaha untuk tetap menjaga detak jantungnya yang mulai berdetak lebih cepat. Tubuhnya pun mulai gemetar, keringat mulai terlihat dipelipisnya meskipun kini udara tengah dingin karena hujan.

Tenanglah Tarissa! Kau tidak akan mengulangi hal yang sama!

"Lihat aku!" Cengkraman di wajah Rissa membuatnya dengan berani menatap perempuan itu. Ia tidak bisa terjebak dengan hal yang sama. Ia bukanlah Rissa yang dulu. Ia tidak selemah itu!

"Bukankah.. Seharusnya kau mengajari jodohmu itu? Hm?" Rissa membuka suaranya. Ia menjeda ucapannya karena kini cengkraman itu mengerat. Kuku panjang perempun itu berhasil membuat wajahnya terasa perih.

Olivia melepaskan cengkraman di wajah Rissa dengan sedikit kasar hingga membuat wajah Rissa menoleh kearah samping. Olivia menatapnya penuh keterkejutan begitupula dengan kedua temannya yang kini berada disamping Rissa. Melihat celah baginya, Rissa tersenyum miring dengan nafas terengah-engah.

"Bagaimana bisa.." Ujar Olivia tidak percaya.

"Sayang sekali, sepertinya kau tidak bisa mengajarinya karena kau saja tidak di terima dikehidupannya. Ah, apa aku salah?" Rissa kembali membuka suaranya, pura-pura tidak tahu hal itu. Tangannya membenarkan letak tas sekolahnya dan berjalan mendekati Olivia.

"Aku sangat kasihan padamu." Rissa berkata lirih tepat disamping telinga perempuan dengan gaya diatas rata-rata itu.

"DARIMANA KAU MENGETAHUI SEMUA ITU?!"

Teriakkan itu menghentikan langkah Rissa yang akan pergi dari sana. Rissa hanya diam lalu menaikkan bahunya acuh, perempuan itu kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan mereka.

Langkah tenang itu berganti dengan sebuah langkah cepat sudah seperti berlari. Karena merasa jika dadanya sesak, Rissa menghentikan dirinya dan menyenderkan tubuhnya pada pilar koridor sekolah.

"Huft.. Huft.."

Sebanyak mungkin ia menghirup udara kali ini. Ia sampai harus memukul kecil dadanya untuk beberapa kali berusaha mengeluarkan sesak yang ia rasa. Lagi-lagi matanya memejam berusaha melupakan kejadian kelam yang mulai kembali ke permukaan.

Lean On MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang