Bagian 8

31 6 14
                                    

"Kenapa harus ada pelajaran seni musik di dunia ini? Aku membenci pelajaran seni musik!" Keluhan itu membuat Rissa menatap ke arah samping.

Ia melihat Amara yang kini berada di kelas. Ini jam istirahat dan perempuan itu tidak biasa melakukan hal ini, yaitu berada di kelas.

"Kenapa kau ada disini?" Tanya Rissa karena ini adalah hal langka yang akan dilakukan Amara di jam istirahat seperti ini.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Ini kelasku dan aku berhak berada disini." Balasnya dengan heran. Ia merasa Rissa bertanya hal yang seharusnya bisa ia jawab sendiri.

"Tidak, bukan itu maksudku. Dimana Noah? Kenapa kau tidak bersamanya?" Rissa menegakkan tubuhnya dan kembali bertanya.

Amara mengangguk singkat, "Dia harus rapat. Yang ia lakukan hanya mengadakan rapat dan menghadirinya. Menyebalkan!" Keluhnya lagi, Rissa menghembuskan nafasnya pelan lalu menatap keluar kelas dari balik jendela.

"Aku teringat sesuatu. Kau tidak berniat menceritakan apa yang terjadi antara kau dan Noah saat itu?" Tanya Rissa kemudian.

Pasalnya ia merasa jika Amara masih berhutang penjelasan terkait perang dingin antara ia dengan laki-laki yang menjadi kekasihnya setahun belakangan ini. Ia baru bisa bertanya hari ini.

"Ah, itu.." Amara menggantung kata-katanya dan Rissa pun menunggu hal selanjutnya yang akan ia katakan.

"Ia melupakan perayaan setahun hubungan kita. Ia membuatku menunggu selama dua jam lebih di kafe dan ia mengaku saat itu ia ketiduran sepulang sekolah. Bukankah itu keterlaluan?" Jelasnya menggebu-gebu dan meletakkan kepalanya diatas meja dengan wajah menghadap Rissa yang telah kembali melihat ke arah luar dari balik jendela kelas.

Ia menjadi tidak tertarik mendengarkan penjelasan itu setelah kalimat pertama yang Amara ungkapkan. Tak lama akhirnya Rissa bangkit dari duduknya, Amara pun menegakkan kepalanya menatap Rissa.

"Kau ingin kemana?" Tanyanya dan mencegah tangan Rissa yang akan pergi dari sana.

"Ruang musik. Aku akan ke sana lebih dulu." Rissa membuka suaranya dan Amara pun mengangguk sebagai balasan. Ia melepaskan cekalannya pada angan Rissa.

Akhirnya tak lama kemudian Rissa sudah berada di depan ruang musik. Ia harus berjalan sedikit jauh karena ruang musik dengan kelasnya berbeda gedung. Jika ia sampai disini lebih dulu ia bisa duduk di kursi dekat dengan dinding ruangan kedap suara ini.

Tepat setelah membuka pintu ruang musik, samar-samar ia mendengar suara lantunan alat musik yang terdengar sangat lembut memasuki indra pendengarannya. Setelah lantunan alat musik menyapa indra pendengarannya, kini suara seseorang menyusul memasuki telinganya dengan lembut.

Rissa menutup pintu ruang musik dan berjalan dengan mata lurus menatap seseorang yang akhir-akhir ini berhasil mengusik semua aktivitasnya. Ia selalu mengerutuki seorang laki-laki yang entah kenapa telah berhasil menganggu semua kegiatannya karena wajah itu selalu hadir layaknya hantu dipikirannya.

Ia bernafas lega karena laki-laki itu tidak menyadari kehadiranya, saat ini laki-laki itu membelakangi dirinya dengan jari-jari menekan lembut not piano dihadapannya. Mata itu memejam menghayati lirik lagu yang tengah ia nyanyikan diiringi dengan piano.

Tanpa sadar, Rissa tersenyum tipis melihat Dante. Meskipun jarak mereka lumayan jauh, ia dapat melihat perbedaan pada laki-laki itu, wajah kaku miliknya kini menjadi lebih bersahabat dan santai saat menyanyikan sebuah lagu. Suara itu membuat Rissa terkagum-kagum dengan senyum yang tercetak semakin lebar.

Tangan Rissa mengeluarkan sebuah saputangan milik laki-laki itu yang telah ia cuci bersih dan selalu setia ia bawa. Ia berpikir jika sewaktu-waktu ia bertemu laki-laki itu, benda ini akan ia kembalikan. Sepertinya ini adalah waktu yang tepat.

Lean On MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang