18. Lebih Baik Pergi

144 19 4
                                    


"Yola nggak mau, Bunda. Panji suami dan calon ayah dari anak yang ada dalam kandungan Yola."

"Kalau begitu, tinggalkan Panji, Ayah akan carikan suami yang lebih baik dari dia."

Detik itu telah membeku jauh lebih lama  dari yang biasanya. Tapi patah hatinya telah memberikan berbagai jejak di mana semua orang telah memeluk sebuah luka.

Ucapannya tidak salah, hanya saja terlalu tajam untuk didengar. Panji akan menjadi seorang ayah, tapi Aries mematahkan harapan itu dengan membiarkan kematian.

"Mas, apa yang kamu bicarakan barusan? Jangan gila, Mas. Yola akan melahirkan sebetar lagi,"

"Kalau begitu dengan syarat. Kamu boleh merawat anak itu, tapi tidak dengan Panji. Tinggalkan dia dan dan hidup bersama kami, di sini, di rumah ini, bagaimana?"

Lautan mungkin akan murka mendengar ancaman yang baru saja Aries katakan. Tapi lihatlah, pria itu dengan bangganya menawarkan kemewahan dengan nyawa yang tidak berdosa.

Hari itu sudah seperti neraka, Panji tidak berniat sama sekali untuk masuk ke dalam rumah yang jelas-jelas bukan tempatnya singgah. Tapi langkahnya justru dipaksa masuk hanya karena jerit yang bergitu nyaring berhasil mengusik ketenangannya.

"Sakit, Yah."

"Mas!Apa yang kamu lakukan?"

Aries tidak peduli berapa kali Yusra berteriak untuk membantu Yola. Padahal wanita itu baru saja keluar dari rumah sakit dua hari lalu.  Kali ini Yusra harus kembali membuang tenaganya hanya untuk melerai amarah Aries yang begitu besar.

"Aku mau kasih tahu kalau dia masih bersama Panji, dia harus relakan janinnya."

Panji mendengarnya, bahkan melihat dengan jelas kalau Aries memperlakukan Yola dengan tidak baik. Di sana Panji bisa melihat  wajah ketakutan Yola yang begitu nyata. Panji tidak akan pernah bisa melihat air mata Yola jatuh karena orang lain, biar dia saja, bukan orang lain. Terlebih saat ini ia benar-benar dibuat marah oleh satu makhluk yang mengaku sebagai seorang kepala rumah tangga, tapi tidak pernah sekalipun memberi nafkah.

"Kurang ajar kamu!" Pekik pria itu ketika Panji melayangkan pukulannya dan membuatnya tersungkur. Dengan cepat Panji menarik tangan Yola. Perlahan tangan besarnya mengusap wajah mungil Yola dengan lembut.

"Kita pergi dari sini, kamu nggak pantas ada di sini, kamu nggak perlu denger kata mereka. Rumah kita itu adalah Ardan dan Rion, kita nggak butuh mereka. Aku masih bisa menyekolahkan Rion, menghidupi kalian semua, kamu percaya aku, kan?"

Tentu Yola percaya, selama ini Panji selalu ada bersamanya. Lelaki yang selalu menepati ucapannya, dan rela jatuh bersama hanya untuk melindungi keluarga kecilnya. Siapa yang tidak tahu sosok Panji yang begitu mencintai keluarganya hingga rela bekerja keras hanya untuk keluarga yang dibinanya susah payah. Ia tidak akan rela jika keluarganya dihancurkan begitu saja hanya karena keegoisannya yang begitu jahat.

Semua hal mungkin bisa Panji kesampingkan, urusan kantor dan lain sebagainya. Tapi ia tidak akan pernah membiarkan jejak melekat manis untuk memberi luka yang sudah mulai pulih terlebih selama ini luka itu selalu datang dari sumber yang sama.

"Papa nggak sangka kalau kamu bisa sejauh ini, hanya karena anak itu," ucapnya. Panji menoleh, membiarkan Yola berdiri di balik punggungnya. Ia bisa melihat Aries sudah kembali berdiri sambil memegang bibirnya yang terluka akibat pukulannya yang terlalu keras. Sementara Yusra, mencoba sekuat tenaga untuk menenangkan suaminya.

"Aku begini, itu karena Papa! Papa yang mulai semuanya! Aku nggak pernah menghilangkan kebaikan yang Papa kasih, biaya yang Papa keluarkan untuk menyekolahkanku dan Ardan. Tapi satu hal, Rion memang anak Papa, tapi semua kebutuhannya aku yang penuhi! Aku yang merawatnya dari kecil. Bahkan sampai Mami pergi pun, Papa nggak ada di sana. Apa hak Papa? Mau ambil Rion gitu aja, mending Papa tanya sama dia, dia mau atau nggak hidup serumah sama manusia iblis kayak Papa yang nggak punya hati."

ANCHOR ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang