Penutup

115 15 2
                                    

Kita hanya anak manusia yang terkadang pernah terjerumus dalam lubang hitam, bahkan untuk kembali rasanya sangat berat. Faye selalu bilang pada Ardan, ketika sosoknya masih ada, ketika tawanya masih terdengar, dan ketika tangisnya masih begitu terasa.

Faye menyaksikan semuanya sendiri. Terlukanya, dukanya, tawanya dan hal kecil lain tentang sosoknya. Katanya, seburuk apa pun hinaan di luar sana, tak akan ada yang lebih hina daripada harus melukai perasaan saudaranya sendiri. Bagi Faye, Ardan satu-satunya orang yang mampu bertahan di tengah keadaan yang semua orang tidak peduli padanya.

Bagi Faye, Ardan terlalu sempurna dibandingkan dengan orang lain yang memang sempurna. Tapi Ardan tidak. Ia sosok yang sempurna karena hatinya yang begitu baik, sulit untuk ditebak kapan dia bersuara dan kapan dia terdiam.

Faye tahu tentang sosok Juppiter yang begitu sayang pada Ardan. Bahkan di hari terakhirnya, Jupitter ada di sana menemani Ardan sampai napas terakhir menjadi penutup kisahnya.

Jarak yang begitu nyata seperti jangkar hitam yang dilempar ke tepi pantai. Mustahil, tapi sudah terjadi.

Kalau Faye boleh memutar waktu, ia juga tidak akan datang ke Jakarta, bertemu dengan Gusti, Pandu dan Benua. Bertemu dengan Yusra, atau bahkan menerima semua sakit hati karena melihat sikap Aries yang masih tak peduli pada Ardan.

Saat ini yang Faye ingin hanya satu, tapi sulit untuk dijalankan. Melangkah pun rasanya masih berat. Ia tidak pernah lupa dengan obrolan terakhirnya bersama Pitter ketika hari di mana ia harus bertemu lagi dengan Aries dan Gusti.

Pikiran dan perasaannya tak sejalan dengan apa yang dilihatnya. Di sisi lain Faye begitu kesal dengan Gusti, namun di sisi lainnya ia juga tak bisa membohongi perasaannya tentang kerinduan akan sosok Aries.

Awalnya Faye tidak percaya dengan apa yang dikatakan Pandu, kalau Gusti sempat ditahan oleh pihak berwajib karena kasus balapan liar. Ditambah keadaan Yusra yang dikabarkan kian hari, kian memburuk.

Cita-cita memiliki keluarga bahagia saat itu telah pupus berikut dengan harapan Faye yang ingin memperbaiki semuanya, justru membawanya pada jarak yang sebenarnya telah lama putus dan sulit untuk disatukan.

Hari demi hari hanya terdengar langkah, ingatan dan juga memori kecil tentang sampai detik ini masih terasa begitu hangat dalam benak.

Meja makan yang biasa menjadi tempat berdebat, kali ini hanya terdengar denting sendok yang saling bertaut satu sama lain. Dua gelas susu vanila yang biasa tersedia, kali ini hanya segelas air putih sebagai penutup.

"Sarapannya di makan, nanti sakit lagi."

"Gue capek liat lo mondar-mandir terus, duduk dulu coba, sarapan bareng, Bang."

"Gue masih bisa sarapan nanti, yang terpenting sekarang, makan siang Lo terpenuhi dengan nutrisi, jangan bawel, buruan sarapan bentar lagi Pitter jemput. "

"Lo minta Kak Pitter lagi?"

Pagi Faye dan Panji benar-benar terlah berubah, mulai dari bangun pagi, menyiapkan sarapan, hingga memastikan Faye berangkat dengan aman bersama Pitter.

"Gue percaya Pitter, karena gue tahu nggak ada yang jauh lebih baik mengenal Lo dibanding Pitter."

"Kak Nakula, Kak Sabit, gue juga punya Pandu sama Benua,  kenapa harus Kak Pitter lagi? Bosen, Bang. Kak Pitter bawel banget kalau di jalan, Lo nggak tahu aja, dia kayak Tante-tante kompleks kalau udah ngomel," kata Faye. Anak yang selalu protes bila keinginannya tidak terpenuhi.

"Bagus! Justru gue salut sama Pitter. Gue nggak sia-sia ospek dia jadi sahabat adik gue, kan?"

"Gila Lo. Dikira kampus, pakai ospek segala. Pokoknya hari ini gue mau bareng Benua! Nggak peduli, sama Benua, Bang."

ANCHOR ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang