Chapter 9 - A Little Revenge

66 5 7
                                    

Suara ketukan pintu yang hampir semua rumah yang satu blok dengan flatku dengar, membuatku terbangun dari mimpi indah. Mataku menuju ke arah jarum jam dan sekarang masih jam 6 pagi. Dengan langkah yang malas aku menuruni anak tangga satu per satu untuk melihat berasal dari siapakah ketukan pintu itu.

Aku membuka knob pintu itu dan tidak mendapati satu orang pun yang seharusnya berdiri di depan pintuku ini. Mataku menuju keluar dan tetap tidak ada orang, aku mulai melangkahkan kaki kecilku ini. Tiba-tiba dengan tidak sengaja aku menginjak sesuatu, aku langsung melihat kebawah dan mendapati kotak persegi yang ukuran nya lumayan besar dengan warna pink bermotif bunga dicampur dengan motif love.

Aku tidak memperdulikan lagi siapa yang mengetuk pintu tadi. Aku langsung membawa kotak itu masuk ke dalam. Aku membawa kotak itu sampai aku terduduk di sofa panjang. Aku membukanya perlahan, aku takut didalam nya berupa bom yang beberapa detik lagi akan meledak atau binatang yang menggelikan atau menyeramkan.

Tak perlu pikir panjang lagi, aku membuka kotak itu. Dan yang aku dapati adalah sepucuk amplop. Cuma amplop? Kotak sebesar ini hanya diisi dengan benda yang lebar nya tidak sampai 13 sentimeter. Mau apa sebenarnya orang ini?

Aku memutar-mutar surat ini dengan maksud untuk membukanya. Tapi aku ragu. Entahlah.

Aku mulai membuka amplop dibagian atasnya. Aku melebarkan kertas berwarna putih itu dan terpampanglah tulisan tangan dengan rapi dan beraturan. Bahkan tulisan orang ini lebih bagus daripada tulisanku. Aku mulai membaca pesan yang ada didalamnya.

Meet me please at London Eye on 7 p.m

see you, Love!

-nh

Singkat, padat, dan jelas. Nh? siapa dia?

Aku mulai berfikir. Naomi Marsha? Oh tidak tidak, di kampus aja aku tidak pernah bicara dengannya. Neil Harsh? Tidak mungkin, bahkan dia tidak mengenaliku karena ketenarannya.

Ayo berfirkir, Carl bodoh! batin ku mulai meraung-raung.

Aku sedang berusaha!

Aku menghentak-hentakkan kakiku kelantai yang tidak bersalah ini karena gemas. Sesekali juga aku menghentakkan jariku diatas meja yang berada didepan sofa panjang ini.

Niall Horan. Tiba-tiba terlintas nama itu dipikiranku. Ah ya! Niall, si pirang itu!

Tak terasa pipiku mulai memerah dan kedua sudut yang ada dibibirku mulai terangkat keatas. Manis sekali bukan pagi-pagi sudah mengirim surat seperti ini. Ya, walaupun menurutku kurang kerjaan karena menyampaikan pesan seperti ini bisa melewati handphone canggih miliknya itu.

Aku melipat kertas putih itu dan memasukkannya kembali ke amplop. Setelah itu, aku membawa kotak beserta suratnya ke kamarku. Satu-per-satu anak tangga kunaiki, setelah sampai di kamar, kuletakkan kotak itu diatas meja dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diriku.

**

Aku memasukkan kedua tanganku kekantong jaket yang kukenakan saat ini. Cuaca malam ini bisa dibilang dingin, sampai-sampai rasa dingin itu menusuk tulangku. Aku terus melangkahkan kakiku cepat menuju London Eye sembari sesekali melihat jam yang sedari tadi melingkar ditangan kiriku.

Waktu terus berjalan dan menunjukkan pukul 7 pm. Aku berdiri ditengah keramaian orang-orang yang berlalu-lalang dan belum menemukkan keberadaan Niall. Kemana si pirang ini?

Aku menghentak-hentakkan kakiku, mungkin jika tanah bisa berbicara, dia akan mengaduh kesakitan. Untungnya, Allah tidak menakdirkan bisa berbicara. Sudah hampir setengah jam aku disini tapi Niall belum menunjukkan batang hidungnya. Aku memutuskan untuk mengirimkannya pesan lewat iPhone putih tipis milikku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unexpected // HoranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang