bab 6

4.3K 203 7
                                    


Shynea meletakkan pie telur dan stiek garam di atas konter dapur. Sejenak ia tertegun memperhatikan makanan yang terpanggang terlalu lama hingga warnanya menjadi kecoklatan. Firasatnya mengatakan kalau sebaiknya ia membuang racun itu, tetapi perutnya tidak bisa bekerja sama. Suka ataupun tidak Shynea harus sarapan. Dan dengan tuntutan Gery, ia akan memakannya.
Semenit setelah ia terdiam, Gery datang mengitari konter kemudian meraih sepiring stiek. Tanpa ragu-ragu, lelaki itu menjejalkan stiek ke mulutnya. Gery melahapnya begitu cepat sampai Shynea belum sempat berkutat untuk memperingatkannya. Shynea hampir tidak bisa mengerjapkan mata karena ketakutan menunggu reaksi Gery. Tidak butuh waktu lama bagi Gery untuk memuntahkan kembali seluruh isi mulutnya, kemudian beranjak ke lemari pendingin untuk meneguk beberapa air mineral yang tersedia. Ia berdecak kesal dan pada detik yang sama Shynea mengira Gery akan membunuhnya.
"Berengsek, madam! Apa kau berniat meracuniku?"
Mata Shynea menyipit dan dahinya berkerut setika mendengar sarkasme yang dihanturkan oleh Gery. Sejauh ini, orang-orang disekelilingnya selalu bersikap sopan dalam bertutur kata, tetapi Gery tidak. Dan apa yang ia harapkan?

Jangan bodoh, Shy. Dia hanyalah kaki tangan dari seorang buronan. Bagaimana kau bisa mengharapkan sopan santun seorang penjahat?

“Kenapa kau begitu kasar? Aku belum mengizinkanmu untuk memakannya, dan begitu kau makan kau justru marah-marah. Sudah kuperingatkan sebelumnya kalau aku tidak bisa memasak.” Pandangan Shynea begitu sengit hingga membuat sarkasme lain yang hendak terhantur justru tertahan di bibir Gery. Persetan dengan makanan mematikan itu, Gery sudah berjanji pada Jaxon tidak akan bersikap kasar pada wanita ini. Memilih untuk membungkam, Gery menghela napas frustasi.
“Ya, lain kali aku akan mendengarkanmu. Walaupun seharusnya kau mempertimbangkan kemungkinan kalau makanan itu bersifat mematikan jauh sebelum aku melahapnya. Dagingnya terlalu masak dan minyaknya berlebihan. Seandainya boleh jujur, aku jauh lebih suka masakan buronan itu ketimbang masakan wanita cantik yang ada di konter dapurnya.”

Shynea menahan segenap perasaan gusar akan komentar terakhir Gery. Namun rasa penasaran akan pernyataan sebelum itu mengalahkan segala amarah yang ada di kepala Shynea. Tertarik, ia menyandarkan tubuhnya pada dinding kokoh konter.

“Apa maksudmu? Buronan itu bisa memasak?”

Sambil memenuhi gelasnya dengan wine yang telah ia siapkan, Gery mengangguk. “Kenapa kau begitu ingin tahu, madam?”

“Aku sekedar penasaran.” Shynea mengangkat kedua bahunya. “Bagaimana mungkin seorang buronan berbahaya seperti Jaxon memiliki keahlian di dapur. Sementara wanita sepertiku saja tidak bersahabat dengan yang namanya dapur.”

Gery memutar salah satu bangku di konter, lalu duduk berhadapan dengan Shynea sambil meneguk habis seisi gelasnya. “Aku juga heran, madam. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Jaxon adalah bocah yang memiliki banyak keahlian. Aku jauh mengenalnya.”

“Seperti mencuri, membunuh, memperkosa, dan… memasak?”

Sekarang Gery tidak bisa menahan pelototan sengit yang ia layangkan pada Shynea. Sarkasmenya terbalas dengan hinaan yang lebih kasar lagi. Sekalipun hinaan itu terhantur untuk teman dekatnya.

“Jaxon tidak seperti itu, kau tahu?! Bukan karena dia buronan, dia memiliki keahlian yang kau sebut-sebut itu. Kau tidak tahu apapun, dan jauh dari tuduhan menjijikanmu itu, Jaxon adalah pria baik-baik yang pernah ku kenal di semesta ini.”

Gery mencibir muak. Ia meletakkan gelasnya dengan gerakan kasar kemudian menutar pandangan sambil mengontrol napasnya yang mulai tidak beraturan. Jika saja ada seseorang yang menghinanya, ia masih sanggup menoleran. Tetapi jika saja ada orang yang menghina Jaxon… Gery akan bersikap sangat defensif terhadap hal itu. Di matanya, buronan itu bukan sekedar seorang karib. Jaxon sudah seperti keluarganya sendiri, dan Gery telah bersumpah akan melindungi apapun yang terlanjur menjadi berharga dalam hidupnya. Termasuk Jaxon. Tidak ada yang boleh menghina Jaxon dengan tuduhan kasar seperti itu. Selama ini ia sudah muak karena harus menahan diri ketika publik menuduh Jaxon dengan hinaan yang sama. Dan semua itu Gery lakukan karena permintaan Jaxon. Untuk kali ini… ia bahkan sanggup mencekik wanita itu karena tuduhan tak beralasannya jika saja sebelumnya ia tidak membuat kesepakatan pada Jaxon untuk tidak bersikap kasar.
Sambil menelengkan wajahnya dengan ragu, Shynea tersenyum simpul. Senyum yang mengatakan bahwa ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Gery.
“Kalau memang dia pria baik-baik yang ada di semesta ini, apa seorang pria baik-baik tega membunuh dan memerkosa seseorang? Pria baik-baik tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu.”
“Ya.” Gery menyetujui. “Dan dia memang tidak pernah melakukannya. Tetapi dunia yang ia tempati saat ini terlalu biadap untuk bisa bersahabat. Dunia memintanya untuk jadi yang terburuk, dan dengan alasan cinta, Jaxon menyetujuinya.”
Gery tertawa singkat, kemudian memusatkan perhatiannya kembali pada Shynea. Sejumput amarah sudah ada di atas kepalanya. Dan sebentar lagi, ia akan meledak.
“Kau perlu tahu, Madam. Demi seseorang, Jaxon rela menyerahkan seluruh jiwa bahkan hidupnya untuk mempertahankan orang itu. Dan apa kau tahu betapa bodohnya dia? Saat aku bertanya apa alasannya melakukan semua ini, dia hanya menjawab sebuah kalimat sederhana. Karena aku hanya memilikinya di dunia sekejam ini. Lelaki itu benar-benar dungu sampai aku tidak mengerti jalan pikirannya. Belas kasihan telah membuat ia menjadi lemah. Aku bahkan bingung bagaimana dia bisa memperjuangkan seseorang yang jelas-jelas sudah menolak kehadirannya di dunia ini.”
Shynea menerima semua pengakuan Gery dengan pikiran terbuka. Dan semakin jauh lelaki itu berbicara, semakin ia dibuat pelik akan masalah yang tidak jelas. “Aku tidak mengerti.”
“Kalau begitu biar aku buat kau mengerti.” Gery memutuskan. Sebelum ia menjawab semua keraguan dalam benak Shynea, Gery kembali meneguk botol wine yang ada di tangannya. Berharap dengan mabuk, ia bisa melupakan semua yang akan dikatakannya ini. Dan dengan begitu, ia punya alasan kuat kalau sewaktu-waktu Jaxon meledak karena mendapati rahasianya dibongkar oleh sahabatnya sendiri. Tetapi Gery sudah muak dengan semua kebohongan-kebohongan Jaxon. Lelaki itu sudah lama hidup dalam hinaan tak beralasan dan kekelaman. Sudah sepentasnya ada seseorang selain dirinya yang tahu siapa itu Jaxon. Bukan memandangnya sebagai seorang buronan berbahaya, melainkan sebagai seorang pria sewajarnya. Berkat semua itu, tekad Gery semakin bulat.
“Pasang telingamu dengan benar, madam! Aku tidak akan menjawab atau mengulangi pernyataan manapun. Kalau aku beruntung, Jaxon tidak akan membunuhku karena semua yang ku katakan ini. Seperti yang aku kita tahu, Jaxon sudah terlalu banyak mendapat gelar dan tuduhan dari berbagai pihak atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Dia bukan seorang pembunuh, pemerkosa, maupun pencuri rendahan. Dia hanya seorang pria lugu yang mencintai ibunya, lebih dari apapun.”
Shynea beringsut mencari posisi nyaman selagi mendengarkan Gery menjelaskan semuanya.
“Dan perkutuk dengan rasa cinta itu, dia dibuat lemah karenanya. Sampai suatu hari, ancaman buruk telah mengubah hidupnya. Sialan, mungkin lebih pantas disebut telah memperburuk keadaannya. Untuk satu alasan, Jaxon menyetujui suatu kesepakatan dengan perjanjian kalau ancaman terkutuk itu akan terlepas darinya. Ia berharap demikian, tetapi dunia tidak semurah itu. Dunia terlalu licik dalam memperlakukannya, sampai Jaxon sendiri terjebak dalam kesepakatannya. Dia pernah keluar masuk penjara selama dua kali hanya karena tuduhan pencurian itu. Pertama kalinya, sebagai seorang teman, aku berhasil mempengaruhi Jaxon untuk melakukan pembelaan keras atas kebenaran. Lelaki itu mudah sekali dipengaruhi, dan begitu terpengaruh oleh omonganku, Jaxon mulai berusaha kabur dari penjara untuk menyusul kebebasan. Dan sejak saat itu, ia menjadi buronan yang selalu diincar. Setahun setelah kebebasannya, karena sebuah insiden, para polisi berhasil menangkapnya. Mengembalikannya ke dalam sel tahanan dengan memborgol kedua tangannya. Polisi-polisi keparat itu memukulinya habis-habisan. Kalau kau tidak percaya, aku sebagai saksinya. Aku melihat saat dia dicambuk berulang kali dan diminta mengakui kesalahan-kesalahan yang jelas-jelas tidak ia lakukan. Dia selalu berkata tidak setiap kali polisi bertanya apa dia pelaku pencuri dan pengeboman pada saat itu. Dan untuk jawaban itu, ia dapat satu cambukan keras.
“Aku tidak bisa membayangkan rasa sakitnya. Setelah dipukul, dihina, dicaci, dan dicambuk sekasar itu dia tetap bertahan. Tekadnya untuk bertahan lebih kuat ketimbang keinginnya untuk segera mati. Ia harus bertahan untuk seseorang… ibunya. Wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini, juga membencinya. Aku diliputi rasa bersalah ketika melihatnya terbaring di sel tahanan dengan sekujur luka darah pada tubuhnya. Bagaimanapun aku yang telah mempengaruhinya untuk mencari keadilan dengan cara yang salah. Kabur dari penjara. Dan karena lelaki itu juga, aku rela melepas jabatanku sebagai kepala polisi. Aku yang membantunya untuk melarikan diri untuk kali yang kedua, dan memalsukan semua data-datanya di kantor kepolisian. Hingga saat ini, dia selalu membantuku.”
Gery tertegun selama beberapa saat, dan suara lembut Shynea kembali mengisi suasana.
“Aku masih tidak mengerti. Jika saat itu kau adalah seorang kepala polisi, dan kau tahu apa yang benar-benar menjadi masalahnya, kenapa kau tidak langsung melakukan pembelaan?"
"Sudah kucoba madam, dan hasilnya sia-sia. Semua identitas Jaxon telah tercemar karena kesepakatan itu. Dan begitu aku ingin mencoba untuk kedua kalinya, dia menolak. Dengan alasan bodoh kalau bajingan sialan yang sudah mencemari namanya itu akan membunuh apa yang ia perjuangkan selama ini. Laki-laki biadap itu telah mengancam Jaxon seandainya Jaxon berani membongkar seluruh identitasnya pada para polisi, maka ia akan membunuh apa yang dipertaruhkan Jaxon."
"Apa yang dipertaruhkannya?" Suara Shynea terdengar parau.
Berdecak kesal, Gery menatap Shynea. "Kenapa tidak kau tanyakan saja padanya? Sejak dulu, dia tidak pernah mau mengatakannya padaku. Dia terlalu merasa terancam untuk rahasia terkutuk itu. Dan aku tidak akan mempertanyakannya. Dia sudah menganggapku seperti kerabat sendiri dan aku juga tidak akan segan-segan untuk menganggapnya sebagai seorang keluarga. Aku berhutang atas bantuannya dan bahkan dengan nyawa sekalipun, aku tidak akan pernah bisa melunasi hutang itu.”
"Dan apa yang dia lakukan padamu sampai kau berhutang besar padanya?”
“Dia menyelamatkanku dan keluargaku saat pesawat kami akan meledak. Saat itu aku dan keluargaku akan pergi untuk mencari pekerjaan baru, terlepas dari jabatanku sebagai kepala polisi. Aku dan isteriku membawa turut serta dua malaikat kecil. Puteriku. Jaxon yang paling tahu bagaimana aku mencintai kedua puteriku. Begitu kami hendak berangkat setelah berpamitan dengan Jaxon, sebuah helicopter menghantam sayap pesawat. Sayapnya mengalami kerusakan total karena hantaman itu, bahkan hampir mau patah. Sementara puing-piung helicopter yang sudah hancur segera menghantam badan pesawat dan meledakkan seisi bahan bakar di dalamnya. Pesawat saat itu belum meluncur terlalu jauh dari dataran. Seluruh api hampir meledakkan pesawat dan saat itu aku tahu kalau ini adalah akhir dari semuanya. Tetapi Jaxon telah mengubah pemikiran itu. Dengan upaya keras, ia menerobos para penjaga dan berlari menuju badan pesawat yang hampir hangus serta memberanikan diri untuk menyelematkanku. Begitu aku berhasil keluar dari pesawat, dia beranjak masuk untuk menyusul kedua puteriku yang lain, dan aku mendapat kabar buruk darinya karena saat dia hendak menyelamatkan isteriku, nyawa isteriku sudah melayang karena tubrukan itu.
“Jaxon mengalami cidera parah dan sebagian tubuhnya mengalami luka bakar karena insiden itu. Dia dengan rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan dua puteri kecilku sebelum api membakarnya. Dan karena itu juga, Jaxon harus mengistirahatkan diri selama beberapa minggu. Menunggu sampai luka bakar disekujur tubuhnya membaik dan cideranya tidak lagi terasa. Dia adalah lelaki baik yang pernah ku kenal. Sekejam apapun dunia menganggapnya sebagai bajingan dia akan tetap menjadi sosok Jaxon bagiku. Lelaki baik-baik yang dilemahkan oleh kasih sayang dalam dirinya sendiri.”
Gery kembali meneguk habis wine nya. Ia baru tersadar kalau sejauh ini, Shynea tidak berkomentar banyak. Mungkin wanita itu memang banyak menghanturkan pertanyaan sederhana, namun tidak sedikitpun menghanturkan sarkasme. Gery merasa bahagia atas peningkatan itu. Yang sekarang harus ia lakukan adalah memastikan kalau Shynea tidak mengatakan pada Jaxon kalau Gery-lah yang telah membongkar rahasia buronan itu.
Kalau sampai Jaxon meledak…
Seolah ia peduli saja. Gery tahu siapa dan bagaimana Jaxon. Lelaki itu tidak akan pernah bisa bersikap kasar meski sepelik apapun masalah yang sedang dihdapinya. Lagi pula Gery juga sudah muak harus menutup-nutupinya. Shynea bukanlah sebuah ancaman besar, dan tidak ada salahnya jika wanita itu setidaknya tahu sedikit tentang latar belakang Jaxon. Agar Shynea mau bekerja sama.
Hemn… tidak mungkin. Shynea sudah terlanjur membenci Jaxon karena tindakan penculikan ini dan Gery tidak akan terkejut jika mendapati wanita itu sama sekali tidak mempercayai apa yang dikatakan Gery tentang Jaxon.
"Sudah cukup pembicaraan ini, madam. Kau tahu lebih dari yang seharusnya. Sekarang katakan apa kau sudah menemui wanita itu?"
"Maksudmu Sandra?" Shynea beringsut mendekat.
"Tentu saja."
"Terakhir aku bertemu dengannya, dia ada di kamar dan aku menyusul buronan itu."
Kekhawatiran Gery dimulai. Shynea mengatakannya dengan begitu tenang sampai membuat Gery lebih murka dari yang seharusnya. "Astaga, madam. Kau tidak bermaksud untuk mengatakan kalau kau meninggalkan dia sendirian, kan?"
Dahi Shynea mengernyit heran. Ada keraguan pada raut wajahnya. "Memangnya kenapa? Itulah yang terjadi."
"Tanpa pintu terkunci?"
"Tanpa pintu terkunci." Shynea mengulangi.
Sekarang Gery tidak tahan untuk memukul kepala wanita mungil itu dengan botnya yang laksana baja. Alih-alih, ia hanya menggeram kesal. "Ya Tuhan... apa kau tidak tahu? Aku pernah meninggalkannya beberapa menit untuk mengambil minum dalam kondisi yang sama, dan apa kau tahu kemana dia pergi?" Shynea menggelengkan kepala sesaat. Perasaan nyeri menghunjam isi di kepalanya.
"Dia kabur dan pergi ke jalan raya, mencari-cari puterinya seperti orang gila. Dan butuh waktu dua malam bagi Jaxon untuk menemukannya. Buronan itu hampir mencekikku, bodoh! Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan padamu kalau sampai kejadian yang sama terulang. Berdo'a saja agar tubuh mungilmu itu tidak segera dicincang."
Gery tidak berkata-kata lagi. Ia bergegas pergi menuju ruang dimana Sandra berada, dibuntuti oleh Shynea yang sudah bergetar ketakutan. Gery tidak dapat bernapas lega sampai akhirnya ia menemukan keberadaan Mrs. Weilyn dan Sandra di ruangan yang sama. Shynea beruntung karena tidak mendapat murkanya kali ini. Dan ia juga beruntung karena tidak harus mendapat cekikan kasar Jaxon untuk kedua kalinya.
Begitu melihat sosok wanita asing dengan pakaian pelayan bersama Sandra, Shynea mengernyitkan dahi dengan heran. Keresahannya sirna. Ia segera melangkah masuk mendahului Gery yang masih berdiri di ambang pintu kemudian terhenti di tengah-tengah mereka.
“Tuhan memberkatiku. Bagaimana kau bisa ada disini secepat itu Weilyn?”
Suara Gery sarat akan kekhawatiran yang perlahan mulai padam. Shynea melihat wanita itu tersenyum begitu manis hingga menentramkan setiap orang yang melihat ketulusan dalam raut wajahnya. Ia mulai mengerti siapa wanita yang saat itu tengah duduk bersama Sandra. Dialah wanita bernama Mrs. Weilyn yang disebutkan Jaxon beberapa saat lalu. Dan omong-omong, Shynea patut berbahagia karena ternyata Mrs. Weilyn tidak sekejam seperti apa yang ia duga. Wanita itu benar-benar lembut dan tulus. Tidak salah kalau Jaxon mau menyerahkan urusan adiknya-Vanessa ke tangan Mrs. Weilyn.
“Aku sudah selesai dengan tugasku, jadi kupikir akan jauh lebih baik kalau aku memeriksa kondisi Sandra. Firasatku berkata benar. Dia sudah ada di ambang pintu belakang sewaktu aku menemukannya. Seperti biasa, Sandra mencari Thalia.”
Tatapan Gery sentak teralih pada Shynea. Tanpa harus memahami, Shynea sudah mengerti apa yang tersirat dalam tatapan ala predator itu. Sudah pasti Gery akan menjadikannya kambing hitam. Dan betapa sialnya Shynea karena mendapati dirinya memanglah orang yang bersalah. Bagaimanapun ia telah meninggalkan Sandra dalam kondisi demikian. Namun Shynea juga tidak bisa menyalahkan dirinya. Ia patut memperjuangkan perjanjian itu dengan Jaxon. Lagi pula, seandainya sesuatu terjadi pada Sandra, apa pedulinya? Saat ini ia hanya menjalankan tugas untuk membebaskan Vanessa. Tidak lebih dari itu.
Terlepas dari ketegangannya dengan Shynea, Gery mencibir muak. “Ya, sekali lagi aku berterima kasih padamu. Dan omong-omong, dia wanita yang dikatakan Jaxon. Aku akan memberi privasi bagi kalian untuk saling mengenal. Dan Weilyn… kau akan sangat membantuku jika bersedia untuk menjaga Sandra bersamamu.”
Dengan senyum tulus yang mengambang di wajah tuanya, Weilyn menjawab. “Aku akan melakukannya dengan senang hati.”
“Terima kasih.” Gery tidak berkata banyak sebelum akhirnya beranjak dari ruangan dan menutup rapat pintu ruangan tersebut. Dan saat ini yang tersisa hanyalah Shynea, Sandra dan Mrs. Weilyn. Keberadaan Sandra yang telah terlelap di ranjangnya meringankan Mrs. Weilyn untuk bercengrama dengan Shynea. Ia bangkit dari ranjang dan membenahi beberapa peralatan makan yang berserakan di lantai. Sementara wanita paruh baya itu membenahi barang-barangnya, Shynea tertegun memperhatikan dalam diam. Satu-satunya yang terbesit dalam benaknya hanyalah Vanessa.
“Apa kau Mrs. Weilyn?” Shynea memulai. Ia terdengar ragu sebelum akhirnya Mrs. Weilyn memutar tubuh dan menatap kedalaman mata hazelnya dan untuk kesekian kali menampakkan senyum yang sama. Senyum yang membuat Shynea lebih merasa nyaman.
“Benar sekali sayang. Aku yakin Jaxon yang memperkenalkanku padamu, ya?”
“Ya. Dia mengatakan kalau kau lah yang merawat Vanessa. Apa itu benar?”
“Jadi wanita kecil yang bersamaku itu Vanessa?” Mrs. Weilyn meletakkan nampan di atas meja dan mulai mengangkat waslap dari bahunya untuk membersikan noda yang tertinggal di atas meja. Selagi ia membenahi ruangan, Shynea menghanturkan beberapa pertanyaan sederhana dan dengan senang hati Mrs. Weilyn menjawabnya.
“Bagaimana keadaannya?”
“Kau tidak perlu khawatir, manis. Wanita itu dalam keadaan baik-baik saja sekarang. Dia sudah dalam perwatan yang baik dan dia juga terus bertanya padaku tentang dirimu. Dia begitu ingin bertemu denganmu tetapi aku sangat menyangkan karena tidak bisa memenuhi permintaannya. Seperti yang kita tahu, Jaxon melarangku untuk itu.”
Shynea menghela napas lega. Meski tidak bisa bertemu Vanessa untuk waktu yang mungkin akan cukup lama, setidaknya ia dapat kabar baik kalau tidak terjadi hal buruk pada adik tercintanya itu. Kabar itu mengalahkan semua kebencian Shynea akan tindakan Shynea. Tidak. Hanya sebagian. Apapun yang dikatakan Gery tentang Jaxon maupun tindakan Jaxon untuk menepati janjinya, Shynea masih tidak bisa menaruh kepercayaan sepebuhnya pada buronan itu.
Setidaknya sampai ia benar-benar yakin akan semua itu.
Shynea sudah belajar banyak tentang cara menilai orang. Ia sudah tidak akan bisa tertipu lagi. Tidak untuk kemarin, tidak juga sekarang. Untuk esok, Shynea tidak menjamin. Mengingat bagaimana perlakuan lembut Jaxon berbanding tebalik dari dugaannya juga berhasil menimbulkan keraguan dalam benaknya kalau lelaki itu benar-benar seorang buronan berbahaya.
“Em… terima kasih untuk itu. Aku sangat berharap kau bisa menjaganya dengan baik. Aku tidak tahu apa lagi yang bisa ku lakukan. Vanessa punya penyakit yang sering kambuh akhir-akhir ini, dia benar-benar butuh perawatan yang cukup.”
“Ya sayang. Aku mengerti posisimu. Aku juga melihat itu sewaktu pertama kali mengambil alih tanggung jawabnya. Tetapi seperti yang telah ku katakan, kau tidak perlu khawatir. Jaxon tidak setega itu hingga tidak mau memberi fasilitas dan perawatan yang layak untuk adikmu. Jaxon telah menyediakan semuanya. Kau tidak boleh khawatir, ya?”
Shynea mengangguk mengerti. Ada keraguan dalam raut wajahnya, namun ia mencoba menampakkan senyum kecil itu di hadapan Mrs. Weilyn. Demi apapun, Shynea tidak bisa mengelak kebaikan Mrs. Weilyn padanya. Buronan macam apa Jaxon yang punya keluarga sebaik ini? Bagaimana Jaxon bisa hidup dalam lingkungan seperti ini? Dan apa benar semua yang dikatakan Gery tentang Jaxon. Jaxon bukanlah seorang buronan biadap. Semua pernyataan itu sirna begitu Shynea melihat bagaimana kondisi yang ia alami saat ini. Jaxon telah menculiknya dan dengan alasan apapun, tindakan itu bukanlah suatu hal yang tepat. Lelaki baik-baik tidak akan menculik seseorang dan menjadikan orang lain sebagai umpan. Jaxon patut dihukum untuk itu. Persetan dengan semua cerita Gery. Mungkin saja semua itu hanya karangan Gery untuk mengelabuinya.
Ingat apa kata ibu, Shy! Jangan mudah percaya dengan orang asing. Selalu cari kesempatan dimana kau bisa melakukan hal benar.
Seperti menyerahkannya pada polisi. Tidak mungkin. Dia memiliki keluarga yang harus diperhatikan. Rasanya Shynea akan terkekeh. Bagaimana ia bisa percaya pada Jaxon begitu cepat? Dan rasa elas kasih itu tidak akan berguna. Ia hanya akan termakan oleh omongan Gery. Namun entah untuk alasan apa, Shynea merasa kalau Gery berucap tulus dengan semua yang ia katakan itu.
Sudah cukup. Sekarang Shynea muak dengan segala bualannya. Berulang kali Shynea mencoba untuk tidak peduli, namun sialnya rasa penasaran terkutuk yang ada dalam dirinya tidak mau bekerja sama. Ia harus tahu segalanya tentang Jaxon sebelum ia menuntut pembalasan yang setimpal. Dan alangkah beruntungnya Jaxon karena Shynea tidak setega itu.
Sialan.
“Mrs. Weilyn?”
“Ya?” Wanita itu mengadahkan kepala untuk menatap Shynea.
“Apa benar kau keluarga Jaxon? Em… maksudku, aku sekedar penasaran.”
Tidak diragukan lagi. Mrs. Weilyn mengernyitkan dahi sewaktu mendengar pertanyaan itu. Ia kembali berbalik menghadap Shynea dan mulai merasakan kewajaran dalam pertanyaan yang sama. Sebelum menjawab, Mrs. Weilyn lebih dulu mengajukan pertanyaan sederhana.
“Sebelum itu, nak, boleh aku tahu siapa yang mengatakan padamu kalau aku adalah keluarganya?”
“Jaxon sendiri. Dia bilang kau seorang keluarga.” Nada suara Shynea terdengar lebih mantap dari sebelumnya.
Entah karena apa, Shynea melihat senyum simpul mulai mengambang di wajah wanita paruh baya itu. “Kau tentunya bisa melihat siapa dan apa posisiku disini. Pakaian ini, dan tugas yang ku jalankan.”
Shynea menggeleng. Wajahnya berkerut masam. Untuk kesekian kalinya, ia tidak bisa mengerti. “Aku tidak mengerti.”
Shynea belum sempat berbicara lebih ketika Mrs. Weilyn menghampirinya dan dengan lembut merenggut lengannya untuk keluar dari ruangan tersebut. Setelah memastikan kalau pintunya telah terkunci, Mrs. Weilyn segera membawa Shynea menuju ruangan kecil di lorong yang diduga Shynea sebagai gudang. Namun dugaan itu sirna dalam sekejab begitu Shynea bersama Mrs. Weilyn memasuki ruangan tesebut. Siapa yang dapat menyangka kalau ruangan sekecil ini dapat menjadi kamar tidur. Ranjang yang kecil beralaskan matras tergeletak di bawah. Tidak banyak baran-barang yang memenuhinya sehingga ruangan tidak tampak berantakan. Kaca jendela yang terbelalak memperlihatkan suasana di malam hari. Shynea bertanya-tanya sudah berapa lama waktu yang ia habiskan sampai tidak sadar kalau hari sudah selarut itu.
Begitu Shynea masuk, ia melihat beberapa photo tepampang di dinding. Photo yang jelas-jelas ia kenali sebagai photo Mrs. Weilyn dengan pakaian pelayan sedang duduk bersama wanita berusia 13 tahun yang sama seperti wanita yang pernah di lihatnya dalam photo ketika pertama ia memasuki rumah itu.
“Semalat datang di ruang tidurku, sayang.” Mrs. Weilyn berucap.
Kerutan pada dahi Shynea bertambah dalam. Bagaimana mungkin Jaxon tega membiarkan keluarganya tidur dalam ruangan sesempit ini sementara ia memiliki rumah yang sebesar ini. Dan Shynea mulai meragukan apa benar Mrs. Weilyn adalah keluarganya? Persetan dengan ucapan Jaxon, Mrs. Weilyn tentulah bukan seorang keluarga.
“Ruangan yang bagus,,,”
Shynea meragukan ucapannya sendiri sampai-sampai membuat Mrs. Weilyn terhibur karenanya. Wanita itu tergelak mendengar ucapan yang sama hingga membuat Shynea semakin terheran akan posisinya.
“Jangan mencoba untuk menghiburku, sayang.”
“Yeah, tapi… kau belum menjawab pertanyaanku.” Shynea mengingatkan. Tidak tahu meski berkata apa lagi, yang saat itu diinginkannya hanyalah jawaban.
“Apa lagi yang perlu ku jawab? Semuanya sudah sangat jelas. Aku disini hanya seorang pelayan.”
“Apa?”
“Jangan tekejut, sayang! Jaxon memang selalu seperti itu. Dia menganggap siapapun yang mengenalnya sebagai keluarga. Aku masih ingat saat dia masih bocah dan memohon agar bisa memanggilku dengan sebutan ‘ibu’. Dia sudah melewati banyak hal sampai aku tidak akan pernah tega untuk menolaknya. Dan seandainyapun ditanya, aku sangat menginginkan dia sebaai anakku. Dia lelaki yang sangat tangguh dan penyayang, nak.”
Bah, Shynea mual sekarang. Siapa lagi yang akan membual setelah Gery? Dan apa benar wanita setulus Mrs. Weilyn juga akan mengelabuinya untuk percaya pada buronan seperti Jaxon? Siapa yang harus ia percaya sekarang? Semua pertanyaan itu bergelimat dalam otaknya. Sebentar lagi Shynea akan meledak. Hanya menunggu hitungan waktu. Tetapi ia tidak kunjung menahan dirinya. Perkutuk dengan rasa penasaran itu.
“Sebenarnya apa maksudmu? Aku tidak mengerti mengapa orang-orang disini menyebut Jaxon sebagai pria yang murah hati. Dia seorang buronan. Kasus pembunuhan terbarunya terhadap Lady Isabella juga baru terungkap. Bagaimana seorang lelaki bisa disebut sebagai lelaki penyayang jika ia membunuh dan memerkosa seseorang?”
Mrs. Weilyn hanya tersenyum menanggapi setiap kelakar yang dihanturkan Shynea. Dan sialnya, Shynea harus membenci pernyataan bahwa ia tidak punya bukti atas semua tuduhannya. Meski semua sudah sangat jelas.
“Aku mengenalnya, nak. Aku yang merawatnya sejak dia dilahirkan. Aku adalah ibu kedua baginya. Dan aku cukup tahu kalau anak itu tidak akan pernah berani melakukan hal sekeji seperti apa yang kau katakan.”
“Tapi semuanya sudah sangat jelas. Pemerintah mengincarnya sekarang. Orang-orang itu telah mengecap Jaxon sebagai pemerkosa dan pembunuh berdarah dingin.” Shynea hampir mendelik saat mengucapkannya. Rotorik bahwa Jaxon adalah seorang pembunuh sudah sangat jelas sampai-sampai ia akan mencoba mengelak siapapun yang mengatakan berbeda. Termasuk Mrs. Weilyn dan Gery.
Tidak. Shynea hanya belum bisa percaya. Semua terlalu cepat untuk dipercaya.
“Katakan nak, siapa yang lebih mengenal Jaxon? Aku-ibu kedua baginya, orang yang telah mengenalnya sejak ia masih bayi, orang yang membesarkannya dengan kasih sayang, orang yang mendidiknya, dan orang yang selalu mendengar kisah-kisah dan bualannya, atau mereka-orang asing yang membencinya, menuduhnya tanpa alasan, menginginkan kematian juga penderitaannya?”
Mrs. Weilyn beranjak mendekati Shynea. Ia menepis beberapa helai rambut gelap yang menghalangi wajah anggun Shynea.
“Biar ku tunjukan sesuatu padamu, nak.”
Ia beranjak untuk mengambil sebuah buku usang dari dalam lemari penyimpanan yang terbuat dari kayu kemudian kembali dan memperlihatkannya ke hadapan Shynea. Perlahan Mrs. Weilyn membuka lemberan demi lembaran yang diisi oleh photo-photo usang. Shynea menduga kalau photo itu diambil sejak belasan tahun lalu. Gambarnya sudah sangat jelas dan warna photonya sudah pudar. Disana ada gambar lelaki kecil kira-kira berusia sekitar 4 tahun sedang berlari bersama Mrs. Weilyn yang nampak lebih muda. Lelaki kecil itu nampak menggemaskan. Di photo lain, lelaki kecil yang sama sedang berphoto bersama Thalia. Thalia terlihat lebih tua darinya beberapa tahun. Dalam photo tersebut, mereka saling berdekapan layaknya seorang adik dan kakak.
“Siapa lelaki itu?” Shynea angkat bicara dengan pandangan yang terarah sepenuhnya pada photo tesebut.
“Itu si kecil Jaxon.”
Hah, apa lagi sekarang? Jaxon tidak pernah bilang kalau Thalia lebih tua darinya. Dan omong-omong, mengapa ia ada bersama Thalia ketika itu? Bukankah Thalia hanyalah korban pembunuhannya? Tetapi mereka terlihat akrab dalam photo yang sama. Bagaimana bisa?
“Apa hubungan mereka?”
“Wanita itu adalah Thalia. Dia kakaknya.”
Suara petir seakan menggelegar dalam jiwa Shynea. Semua prasangka akan Jaxon sirna dalam sekejab digantikan oleh rasa penasaran yang menggebu akan siapa dan bagaimana Jaxon. Mengapa dan untuk apa Jaxon menjadi pembunuh. Shynea menginginkan alasan yang lebih atas semua itu. Ia ingin tahu siapa sebenarnya buronan yang telah menculiknya juga bagaimana karakter asli buronan itu?
“Apa benar Jaxon yang telah membunuh kakaknya?”
Mrs. Weilyn menatap Shynea lamat-lamat. Kali ini tatapannya tak diiringi oleh senyuman manis, seakan Shynea telah melakukan sebuah kesalahan besar karena telah mempertanyakan hal tersebut. Shynea bergidik kerenanya. Namun ia semakin tidak sabar untuk mendengar penjelasan Mrs. Weilyn, karena itu Shynea memasang ekspresi sekeras baja. Seakan segala hal tidak akan mampu menghalanginya untuk mendapat penjelasan atas semua itu.
“Demi apapun, nak. Aku berani bersumpah Jaxon tidak akan pernah tega melakukan hal sekejam itu pada orang yang benar-benar ia cintai. Jaxon terlalu mencintai kakaknya sampai siapapun yang berani menyakiti wanita itu tidak akan segan-segan untuk ia hadapi.”
“Tapi dia yang mengatakan padaku kalau dialah pembunuh itu.”
“Apa kau benar-benar percaya padanya?” Mrs. Weilyn tesenyum. “Sudah ku katakan, Jaxon terlalu mencintai Thalia, bahkan rela memberi nyawanya selipun Thalia meminta.”
“Lalu apa yang ku dengar itu salah?”
“Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau berasumsi demikian. Kau megenalnya sebagai seorang pembunuh, dan aku mengenalnya sebagai anakku. Tentu saja itu berbeda jauh. Tapi kau perlu tahu, nak. Jaxon lah orang yang paling murka ketika ia tahu kalau kakaknya-Thalia telah dikotori oleh lelaki biadap yang menjadi ayah tiri baginya.”
Shynea tertegun. Dirinya tersekat mencerna informasi tersebut. Dari segala yang terjadi, Mrs. Weilyn telah memberi penjelasan lebih detail untuk semua ini. Jaxon mengatakan kalau Thalia dibunuh tiga bulan setelah hari kelahirannya. Dan menurut pengakuan Mrs. Weilyn sudah sangat jelas bahwa bukan Jaxon pelaku pemerkosa itu melainkan ayah tirinya sendiri. Ayah tirinya lah yang telah memperkosa Thalia hingga wanita itu mengandung seorang bayi.
“Apa yang dia lakukan begitu mengetahuinya?”
“Dia marah besar tentunya. Hidupnya hancur bersama dengan semua itu. Jaxon selalu menyalahkan dirinya sendiri karena tidak berhasil melindungi seorang kakak tercinta yang ia miliki. Berulang kali dia menghukum dirinya dengan obat-obatan mematikan, berharap agar saat-saat itu bisa kembali dan ia tidak terlambat untuk menyelamatkan kakaknya. Tapi semua sudah berlalu. Jaxon sempat mencoba untuk membalas setiap jengkal kekejaman yang dilakukan ayah tirinya dengan mencoba membunuh lelaki biadap itu, namun dia tidak berhasil. Dia justru ditangkap oleh anak buah ayahnya dan dipukuli habis-habisan. Lalu dipenjara selama beberapa bulan.”
“Berapa usianya saat itu.”
“Dua puluh satu tahun.”
“Berapa usianya saat lelaki itu menikahi ibunya?”
“Sepuluh tahun. Sejak saat ayah tirinya berhasil mengambil alih hak waris yang ditinggalkan oleh ayah kandung Jaxon, ayah tirinya mulai bersikap kasar. Dia selalu menyakiti Sandra dan kedua anaknya. Thalia dijadikan sebagai pelayan sementara dengan kejam, ayah tirinya memutuskan sekolah Jaxon dan memindahkan Jaxon ke penjara untuk menyiksa dan memperbudaknya. Jaxon tahu kala ayah tirinya memang orang biadap yang mengincar keperawanan Thalia, karena itu Jaxon selalu melawan. Dia tidak pernah menurut pada ayahnya dan selalu menyerang tiap kali lelaki itu mencoba menjenguknya. Berkat sikapnya, Jaxon disiksa sepanjang ia beranjak remaja. Ia baru dibebaskan saat berusia 17 tahun. Ketika itu Jaxon didaftarkan oleh ayahnya untuk masuk ke sebuah organisasi pelatihan pembunuhan. Jaxon dijadikan sebagai alat penghasil uang oleh sang ayah. Banyak pihak-pihak luar yang bersedia membayar mahal untuk mendapatkan jasa Jaxon selaku pembunuh bayaran. Namun Jaxon menolak untuk melakukannya. Dia memang bersedia untuk mengikuti pelatihan pembunuhan itu, tetapi dia sama sekali tidak berminat untuk mencabut nyawa seseorang. Yang diinginkannya saat itu hanyalah pembalasan atas apa yang dilakukan oleh ayah tirinya selama ini.
Dia menolak untuk menjalankan tugas, dan karena itu juga ayahnya marah besar. Jaxon dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah untuk mendapat penyiksaan. Berminggu-minggu dia tinggal disana. Disiksa dan dipukuli, nak. Namun dia adalah anak yang tangguh. Setelah berjuang mati-matian, Jaxon berhasil membebaskan diri dari ayahnya. Ia kabur dan pergi ke kota terpencil serta menutup identitasnya saat itu. Ayahnya tidak berhasil menemukannya. Aku tidak tahu apa yan terjadi padanya ketika itu dan empat tahun berlalu, Jaxon mendapat kabar kalau Thalia hamil. Dia kembali dengan cepat, nak. Dan begitu ia tahu pelaku pemerkosa Thalia, keinginannya untuk membunuh ayahnya semakin besar. Identitas Jaxon kembali terungkap setelah empat tahun lamanya dia tidak kembali. Jaxon datang dan merencanakan pembunuhan itu. Namun ia selalu gagal karena begitu banyak lawan yang harus dia sandingi ketika itu. Jaxon mendapat dua tembakkan pada lengan dan perutnya kemudian ayahnya memenjarakan dia kembali. Selama beberapa bulan Jaxon mendekam dipenjara itu. Dia tidak pernah mau makan. Yang didengarnya saat itu hanyalah suara tangisan Thalia. Thalia pernah mengunjunginya ke sel, dan Jaxon tidak kuasa untuk melihat kakaknya itu. Dia terlalu bersi keras menyalahkan dirinya karena telah meninggalkan Thalia dan tidak bisa menolong Thalia sewaktu keperawanannya dicuri oleh lelaki biadap, sampai-sampai Jaxon enggan untuk berhadapan dengan Thalia.”
Mrs. Weilyn bergeser dan menatap ke luar jendela. “Sekalipun Thalia berupaya untuk meyakinkan Jaxon bahwa itu bukanlah kesalahannya, tetapi Jaxon tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Sampai tiga bulan setelah hari kelahiran Thalia, saat itu menjadi saat-saat kehancuran Jaxon. Thalia menolak kemauan ayah tirinya untuk membuang bayi itu agar tidak menimbulkan kesan buruk di masyarakat, sampai membuat lelaki itu marah besar. Tepat ketika ayah tirinya akan menembak bayi tidak berdosa, Thalia menghalaunya dan tembakan itu justru melesat pada jantung Thalia. Thalia dinyatakan meninggal, dan Jaxon tidak bisa menerimanya. Tetapi ayah tirinya telah kabur dari masalah itu dan tepat ketika Jaxon akan melakukan pembalasan, sesuatu menghalaunya. Putera kandung dari ayah tirinya mengambil alih bayi Thalia. Lelaki itu mengancam akan membunuh bayi Thalia jika saja Jaxon tidak bersedia menutupi semua kebiadapan dan kekejaman yang dilakukan ayah tirinya selama itu. Jaxon tentunya tidak keberatan jika saudara tirinya itu membunuh darah daging dari lelaki yang ia kutuki sepanjang hidup, tetapi Sandra-ibunya, tidak. Sndra sudah difonis mengalami gangguan kejiwaan sejak peristiwa itu. Ia trauma atas kepergian puteri tercintanya-Thalia. Dan satu-satunya yang ditinggalkan oleh Thalia hanyalah bayinya. Aku masih ingat sekali sewaktu Sandra menangis dan memohon pada Jaxon untuk menyelamatkan bayi Thalia. Ketika itu saudara tirinya sudah mengangkat bayi Thalia dan siap menjatuhkannya dari atas balkon.
Jaxon begitu mencintai ibunya sampai-sampai ia tidak akan pernah bisa membiarkan wanita itu menangis dan memohon hanya karena bayi Thalia. Ia selalu diberi pilihan, tetapi Jaxon tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Atas dasar rasa cinta, dia menyetujui kemauan saudara tirinya untuk menandatangani kontrak semua tindakan kriminal ayah tirinya atas namanya. Sejak saat itu, seluruh pemerintah mengincar Jaxon. Setiap tindakan kriminal yang dilakukan oleh ayah dan saudaranya, mengatas namakan Jaxon. Seluruh kode sandi yang dimiliki Jaxon beserta identitasnnya telah diretas dan karena itu dia selalu jadi incaran polisi atas tindakan kriminal yang sama sekali tidak dilakukannya. Aku tidak pernah tahu apa yang dirasakannya, nak. Namun setiap kali aku membahasnya, dia selalu bersi keras mengatakan kalau tindakannya ini tidak salah. Dia melakukan semua ini demi Sandra. Demi puteri Thalia. Hanya itu. Dia akan berkorban apapun demi ibu yang teramat dicintainya. Bahkan nyawa sekalipun.”
Diluar kesadarannya, air mata Shynea sudah merebak. Mrs. Weilyn sudah menjelaskan semuanya. Dan sekarang semua ini sudah semakin jelas. Jaxon bukanlah buronan. Dia hanya korban dari kekejaman. Kekejaman yang tidak sepatutnya diterima oleh lelaki sebaik Jaxon. Jaxon bukan seorang pembunuh maupun pemerkosa. Dia hanya mencoba untuk melindungi orang-orang yang dicintainya dengan membiarkan dirinya terluka. Membiarkan namanya tercoreng dan membiarkan kehormatannya diinjak-injak.
Apa yang dipikirkan Shynea sejauh ini? Bagaimana ia tidak bisa melihat ketulusan dan sikap yang diunjukkan Jaxon jauh ketika pertama lelaki itu menculiknya. Jaxon memang salah karena telah menculiknya, namun sejauh ini Jaxon sama sekali tidak  bersikap kasar. Lelaki itu memperlakukannya dengan sopan, memberinya tempat yang nyaman dan falisitas yang cukup untuk Vanessa. Tidak diragukan lagi, Jaxon benar-benar membutuhkan bantuan Shynea sampai-sampai rela memberi apapun baginya. Ibunya sudah tidak waras dan tentunya Jaxon tidak ingin menyakiti perasaan ibunya dengan mengatakan bahwa Thalia sudah tidak ada. Karena itulah Jaxon meminta Shynea untuk melakukan penyamaran ini.
Astaga… manusia kejam tak berperasaan macam apa aku ini?
Shynea bertanya-tanya bagaimana ia bisa berubah secepat itu dan menyakini setiap yang dikatakan Mrs. Weilyn tentang Jaxon. Persetan dengan semua itu, Shynea sudah jauh mempercayai semua hal tentang Jaxon. Entah untuk alasan apa, ingin rasanya Shynea bersahabat dengan Jaxon dan mengatakan pada lelaki itu bahwa ia adalah lelaki paling baik yang pernah Shynea jumpai. Sendainya Shynea berjumpa dengan Jaxon jauh sebelum ini dan tahu semua yang dilewati Jaxon. Kekejaman itu, penyiksaan, dan pengorbanan Jaxon… Semuanya terasa pahit jika dibayangkan. Lalu apa yang dirasakan Jaxon.
Mungkin ia sudah muak.
Atau lebih parahnya lagi sudah pasrah dengan keadaan. Jaxon sudah sering kali mendapat perlakuan buruk yang seharusnya tidak ia terima, dan Shynea berhutang karena telah mencaci pria itu dengan menyebutnya sebagai pembunuh dan pemerkosa yang tidak kenal ampun.
Kau buronan mengerikan. Pencundang menjijikan. Manusia biadap. Dan kepala bajingan yang suka membunuh, mencuri dan merampas keperawanan seseorang.
Kalimat itu masih terasa segar dalam ingatannya. Dan apa yang unjukkan Jaxon setelah hinaannya? Jangankan menyumpal mulut Shynea dengan botnya, Jaxon bahkan tidak berkomentar sedikitpun. Tidak ada sarkasme yang sehausnya dihanturkan oleh seorang ‘pembunuh’ karena Jaxon bukan lelaki seperti itu. Atau mungkin Jaxon sudah terbiasa dengan semua hinaan kasarnya sampai-sampai ia sudah kebal akan hal itu.
Bulu kuduk Shynea meremang hanya dengan membayangkan perasaannya. Pasti sakit sekali. Tetapi mungkin tidak ada apa-apanya bagi lelaki seperti Jaxon. Ia sudah benayak menerima penghianaan selama ini dan cacian sepert itu tidak akan berpengaruh besar. Hatinya sudah kebal dan sekeras baja. Tidak akan luka jika dilempari sebuah kerikil. Sekarang Shynea benar-benar menginginkan pembalasan yang sama bagi orang-orang kejam yang tekah membuat Jaxon sampai seperti ini. Orang-orang biadap yang telah memperlakukan dan mnejerumuskan Jaxon dalam kegelapan seperti saat ini. Mereka pantas untuk masuk ke jurang neraka yang paling dalam.
Semoga Tuhan menyegerakan kematian kalian.
Shynea berharap demikian. Dan enatah kenapa ia ingin sekali membalas setiap jengkal kekejaman yang dilakukan oleh ayah juga saudara tiri Jaxon atas sikapnya.
“Siapa nama ayah dan saudara tiri Jaxon?”
Mrs. Weilyn belum sempat menjawab ketika sebuah suara dengan aksen kental yang familier kemudian menyusul dari ambang pintu.
“Rupanya kau disini, harita.”
Shynea sentak mengalihkan pandangannya dari atas bahu. Yang ia lihat ketika itu hanyalah sosok lelaki tengah berdiri di ambang pintu dengan jeans dan jaket lusuhnya.
Jaxon.
“Apa yang kalian lakukan? Kalian pasti berkenalan telalu lama.” Nada suara Jaxon terdengar getir. Ia menoleh pada Mrs. Weilyn yang diam membatu. “Terima kasih untuk bantuanmu, madam. Kalau kau tidak keberatan, aku harus membawa harita ku pergi.”
“Tentu saja.” jawab Mrs. Weilyn, singkat.
Tak ingin mengulur waktu, Shynea segera menjauh dari hadapan Mrs. Weilyn kemudian menyusul Jaxon di ambang pintu. Lelaki itu meminpin jalannya menjahi ruangan sambil menyampirkan kedua tangan di balik saku jaket. Jaxon tertunduk membisu selagi menuntun Shynea menuju ruang tidurnya. Ia tidak bicara sampai tepat didepan ruang tidurnya. Sepanjang perjalanan menuju ruangan itu Shynea bertanya-tanya apakah Jaxon mendengar semua perbincangannya dengan Mrs. Weilyn baru saja.
Semoga tidak.
Shynea mengerti siapapun orang tidak ingin privasi kelamnya di masa lalu diketahui oleh orang lain. Untuk alasan yang sama Shynea sudah memutuskan tidak akan membahasnya. Jaxon tehenti tepat di depan ruang tidur, kemudian ia memutar kunci dan membukakan pintu untuk Shynea. Dengan anggukan kecil, Jaxon memberi isyarat bagi Shynea untuk masuk lebih dulu. Tanpa ragu, Shynea menurutinya. Lelaki itu membiarkan Shynea masuk sampai ke tengah ruangan, sebelum akhirnya angkat bicara.
“Hari sudah telalu larut. Maaf aku meninggalkanmu begitu lama. Aku mau kau istirahat malam ini, karena besok aku tidak mau mendengar kau malas-malasan. Selamat malam, harita. Semoga malammu menyenangkan.”
Begitu Jaxon mengambil langkah mundur untuk menjauh dari rungan, Shynea menghentikannya.
“Hei buronan!” Suara Shynea tidak tedengar menantang. “Kau akan tidur dimana? Apa kau tidak khawatir kalau aku kabur? Tidak ada penjagaan ketat malam ini?”
Jaxon hanya bergeming memperhatikan Shynea. Ia mengernyitkan dahi sebelum akhirnya angkat bicara. “Aku akan tisur di selokan seandainya aku mau. Kau tentunya tidak mau ada yang mengganggu tidur malammu, bukan? Jangan senang dulu, aku hanya tidak ingin kau mencari-cari alasan untuk pekerjaanmu. Dan aku juga tidak ingin kau menjadikan fasilitas yang tidak nyaman sebagai salah satu alasan itu.”
“Tapi aku benar-benar tidak terganggu.”
Jangankan Jaxon. Shynea juga terkejut denga apa yang baru saja dikatakannya. Bagaimana mungkin ia bisa sepolos itu dengan mengatakan kalau ia tidak merasa teranggu sedikitpun atas kehadiran Jaxon. Tetapi begitu banyak hal yang ingin ia tahu dari Jaxon sampai-sampai membuat ia tidak lagi merasa terusik akan kehadiran lelaki itu. Bahkan Shynea justru menginginkannya.
“Aku sudah berkeliling dan mengenali setiap ruangan di rumah ini. Dan ruangannya tidak cukup banyak. Kau tentunya tidak akan tidur di luar. Kau bisa tidur disini dan sebagai gantinya, aku yang akan tidur di sofa.” Shynea menambahkan dengan suara mantap.
Kerutan pada dahi Jaxon bertambah dalam. Entah atas serangan apa ia mulai merasakan perbedaan pada sikap Shynea. Tetapi Jaxon terlalu lelah untuk memusingkannya. Untuk itu, dengan senang hati ia mengunci pintu kemudian beranjak mendekati Shynea.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, harita? Kau mengejutkan aku. Tapi jangan tersinggung, aku senang sekali dengan perubahanmu. Dan omong-omong terima kasih untuk tawarannya. Aku pikir aku memang butuh tidur nyaman malam ini.”
Shynea memperhatikan Jaxon yang beranjak kemudian duduk di pinggir ranjang. Dengan gerakkan cepat, lelaki itu melepas kedua botnya, kemudian menghempaskan tubuhnya dengan posisi nyaman. Melihat bagaimana Jaxon beringsut di ranjang dengan segenap aura maskulinnya membuat sudut bibir Shynea terangkat. Jaxon akan menjadi pemandangan yang indah untuk malam ini, tetapi Shynea menolak untuk itu. Sebelum rasa kagumnya akan ketampanan Jaxon semakin menjadi-jadi, Shynea memilih untuk berbalik dan segera beranjak menuju sofa di ujung ruangan. Namun ia belum semat melangkah ketika tangan keras Jaxon menghalau pergelangannya yang kecil dan lembut.
Shynea menyentakkan kepala dan segera berbalik untuk melihat bagaimana Jaxon menahannya.
“Jangan berpikir aku akan membiarkanmu tidur di sofa itu, harita. Aku sudah mengalaminya semalam dan hasilnya, rusukku terasa remuk dalam beberapa jam terakhir. Tidurlah disini!”
Jaxon menggeser tubuhnya dan menyisahkan tempat di ranjang itubagi Shynea. Ia sudah menduga kalau respon Shynea tidak akan baik. Semuanya sudah terbukti. Shynea hanya terdiam membatu daperhatikan Jaxon kemudian ranjang itu secara bergiliran. Dan untuk itu Jaxon angkat bicara.
“Tenanglah, harita. Aku bersumpah tidak akan melakukan hal yang kau pikirkan itu. Aku hanya ingin kau tidur nyaman malam ini.”
Pemikiran bahwa Jaxon adalah seorang pemerkosa telah meragukan Shynea. Namun semua itu segera sirna mengingat semua yang dikatakan rs. Weilyn padanya. Untuk alasan yang sama, Shynea memberanikan diri untuk naik ke ranjang dan menghempaskan tubuh di samping buronan itu. Ia sempat menjalin kontak mata dengannya sebelum Jaxon mencari posisi nyaman dengan berbalik memunggunginya lalu tertelap. Shynea menegang mendapati seorang pria asing yang saat itu tidur di sampingnya. Selama ini ia tidak pernah menjalanin kontak yang sedekat ini dengan seorang lelaki. Dan sebelumnya Shynea juga tidak pernah tenang jika dihadapi oleh dituasi yang sama. Namun kali ini berbeda. Entah mengapa ia tidak merasa kalau Jaxona dalah orang asing. Rasanya ia sudah mengenal dengan baik siapa Jaxon dan Shynea senag karena ia sama sekali tidak merasa keberatan Jaxon ada di dekatnya. Bahkan dalam satu ranjang yang sama sekalipun.
Suara napas Jaxon yang berat telah menyadarkan Shynea dari pemikirannya. Lelaki itu pasti sudah terlelap. Shynea bangkit dan menoleh untuk memastikannya. Ia melihat mata Jaxon terpenjam dari balik bahu pria itu. Senyum kecil tepancar di wajah Shynea sebelum akhirnya ia memutuskan untuk segera beristirahat.
Selama beberapa jam Shynea merasa sulit untuk dapat terlelap. Ia hanya mebolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi nyaman, Namun usaha itu sia-sia saja. Perutnya yang kerocongan menuntut untuk segera dipuaskan. Shynea baru teringat bahwa ia sama sekali belum mengisi perutnya sepanjang hari. Tetapi ia tidak bisa keluar untuk mencari makanan. Kunci ruangan ada pada Jaxon dan Shynea tidak sampai hati membangunkan buronan itu dari tidur nyenyaknya.
Begitu Shynea bergeser sekali lagi, Jaxon berguling. Perlahan ia mulai terjaga dari tidurnya. Mereka kembali menjalin kontak mata, sebelum akhirnya Jaxon bertanya,
“Ada masalah? Bukankah aku sudah bilang kau harus beristirahat?”
“Sudah kucoba, hanya aku lapar sekali.”
Jaxon memijat keningnya kemudian dengan berat hati ia menepiskan selimut nyaman itu dari tubuhnya kemudian bangkit dan beranjak menuju ambang pintu. Selagi Jaxon berkutat dengan kunci pintu, Shynea hanya terdiam memperhatikan lelaki itu.
“Apa yang kau lakukan?”
Pintu berhasil terbuka ketika Jaxon akan menjawab Shynea, ia berbalik dan memberi pesan pada wanita itu. “Tunggu saja disini harita, aku akan segara kembali.”
Pintu tertutup.
Shynea merangkul kedua lututnya di dada. Ia hanya bersandar di bantal empuk dan terdiam meresapi setiap jengkal rasa lapar yang mulai menggerogoti perut kurusnya. Selang beberapa menit suara kenop pintu berputar dan pintu terbuka. Jaxon datang dengan sebauh napan berisi sepiring makanan juga segelas air. Lelaki itu segera mengunci pintu di belakangnya kemudian bergegas untuk duduk di hadapan Shynea.
“Makanlah ini!” Jaxon menyodorkan nampan itu pada Shynea. “Dan jangan mengeluh lagi!” Ia menambahkan.
Senyum bahagia mengambang di wajah Shynea. Jxon hampir dibuat meleleh karenanya. Shynea adalah wanita yang menarik dan anggun. Hanya pria bodoh yang menolaknya. Tetapi saat ini, Jaxon berharap agar dirinya bisa sebodoh itu. Sayangnya tidak. Ia hanya bisa melihat Shynea dengan raut wajah netral. Shynea tidak boleh tahu betapa menariknya ia sampai-sampai akan membuat Jaxon terpengaruh. Namun Jaxon tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Maka ia memilih untuk menjauh dan menunggu sampai Shynea menghabiskan jatah makanannya. Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Shynea untuk menghabiskan masakan itu.
“Dari mana kau dapatkan masakan ini? Ini sungguh masakan lezat yang pernah aku coba.”
“Aku tidak akan menjawab dari mana aku mendapatkannya, tetapi terima kasih untuk pujian itu. Aku menghargainya.”
Terheran, Shynea menyipitkan kedua matanya. “Maksudmu, kau yang memasak makanan ini?”
“Aku tidak mau mengganggu tidur Mrs. Weilyn dan tentunya tidak ada pelayan lain disini.”
“Aku tidak menyangka kau juga berbakat dalam bidang ini. Siapa yang mengajarimu masak?”
“Aku belajar sendiri. Sejak kecil aku suka sekali dengan berbagai macam kuliner. Saat itu sekedar coba-coba aku mulai belajar memasak. Tidak sedikit yang mengatakan kalau masakanku enak.” Jaxon menarik nampan dan piring kosong dari tangan Shynea kemudian meletakkannya di atas meja. Ia mengitari ranjang dan kembali ke tempatnya selagi Shynea menghabiskan jus buatannya.
“Lucu sekali. Aku sama sekali tidak bisa memasak. Masakanku selalu gagal.”
“Itu karena kau tidak pernah punya waktu untuk mempelajarinya harita. Jangan heran, sejak kecil aku selalu punya waktu luang. Aku tidak pernah disibukkan oleh tugas sekolah karena aku tidak bersekolah dan sebagai gantinya aku belajar memasak.”
Shynea tertegun mengingat apa yang dikatakan Mrs. Weilyn. Wanita itu benar. Jaxon tidak lagi sekolah saat ayah tirinya memberhentikan ia dan mengirimnya ke tempat pelatihan. Sungguh mengenaskan rasanya kondisi yang dialami Jaxon ketika itu. Banyak sekali orang yang mengeluh untuk bersekolah, tetapi Jaxon justru menginginkannya. Kebanyakan dari orang tidak pernah mensyukuri apa yang telah dimilikinya.
Menghela napas pelan, Shynea meletakkan gelas itu di atas nampan, kemudian kembali bersandar pada sisi ranjang. Ia kembali memperhatikan Jaxon yang mulai menarik selimutnya kemudian menghempaskan tubuh untuk kembali tidur.
“Buronan?!” Shynea berseru lembut
“Apa?”
“Terima kasih untuk makannya.”
“Jangan berterima kasih harita. Itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku.” Jaxon kembali bergeser dan memposisikan tubuhnya senyaman mungkin.
“Aku tidak tahu kalau buronan juga mempedulikan soal tanggung jawab.”
“Itulah uniknya aku.”
“Apa ada hal lain dalam dirimu yang unik juga?”
“Sangat banyak.”
“Seperti?”
“Bisa memasak, dan menceritakan dongeng pengantar tidur untuk wanita cerewet yang ada di ranjangku serta mencoba mengganggu tidur malamku.”
Shynea terkekeh. Jaxon terkejut karenanya. Baru kali ini ia mendengar suara tawa itu. Ia baru teringat kalau sejauh ini Shynea tidak pernah mengunjukkan tawa indahnya. Untuk semua itu Jaxon merasa bahagia. Setidaknya ia telah membuat wanita itu merasa nyaman.
“Maaf.”
Shynea tidak mendengar respon lebih dari Jaxon tepat ketika ia kembali menyadari kalau lelaki itu telah terlelap.

Salvation From An EvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang