bab 14

2.8K 173 0
                                    

Sebelum kembali, Shynea memutuskan untuk mendatangi seseorang lebih dulu. Ia telah menrencanakan semua ini jauh-jauh hari. Shynea segaja tidak mengatakannya pada Jaxon karena tahu apapun yang direncanakannya, lelaki itu pasti tidak akan menyetujui. Mobilnya terhenti tepat di depan gedung tinggi milik seorang pengusaha. Langkah Shynea memasuki gedung terlihat manatp. Ia terhenti di depan meja penerima tamu.
“Permisi, ada yang bisa ku bantu?”
“Yeah. Aku ingin bertemu dengan Mr. Damorety.”
“Mengadakan janji?”
“Tidak. Tapi ini sangat penting.” desak Shyena
“Kalau begitu dengan siapa aku bicara?”
“Shynea.”

Jaxon telah memastikan earpiece nya berfungsi. Malam ini Jaxon bersama Raveen telah tiba di belakang rumah yang bertempat di  Scooteline. Tidak hanya besar, petugas yang berjaga di sekitarnya tidak berjumlah sedikit. Jaxon mulai ragu akan keberhasilan rencana mereka, namun tekadnya sudah bulat. Ia tidak mungkin mundur setelah berhasil maju selangkah. Ia dan Raveen hanya perlu berhati-hati. Malam kian larut menunjukkan pukul 23.45, namun penjagaan disekiar belum mengendur. Roman benar-benar tidak bicara sembarangan soal ancamannya. Ia tidak akan pernah membiarkan emasnya dicuri begitu saja. Terutama karena emas itu adalah jaminan bagi kariernya. Tapi sesaat lagi, Jaxon akan segera mengambil alih emas yang selama ini dijadikan Roman sebagai tawanan. Emas yang menyebut dirinya sebegai puteri Thalia.
Jaxon mengutuk earpiece nya “Kau sudah siap?”
“Aku sudah ada di tempat.” Sebuah suara yang ia kenali sebagai Raveen masuk tidak lama setelah Jaxon bertanya. Saat ini ia Raveen telah bergaja di pintu belakang rumah, sementara Jaxon akan bersiap untuk memanjat tebing samping untuk sampai di balkon utama. Tali yang berhasil ia sematkan pada sisi jendela sudah terikat kencang di pinggang rampingnya. Tali itu akan membantu Jaxon memanjat tebing.
“Kalau begitu kita lakukan sekarang. Amati keadaan sekitar, aku akan naik.”
“Ya, berhati-hatilah” jawab Raveen dengan penuh keyakinan.
Jaxon tidak ragu-ragu untuk memulai aksinya. Mengerahkan seruh tenaga yang ada, Jaxon memanjat tebing yang menuju balkon utama. Ia baru sampai seperempat jalan ketika suara Raveen kembali.
“Jaxon! Ada seseorang yang datang dari arah timur. Aku pikir dia salah seorang penjaga.”
Menundukkan wajahnya ke arah yang dimaksud Raveen, Jaxon mengunpat kasar. “Sialan. Dia hanya beberapa meter. Matikan lampu pengawas agar dia tidak melihatku!” pinta Jaxon. Bersamaan dengan itu dalam hitungan detik sisi kanan tebing sudah diselubungi oleh kegelapan. Jaxon bergeming di tempatnya seperti patung. Ia terus memperhatikan gerak-gerik si penjaga sampai pria itu ebnar-benar menghilang di tengah kegelapan.
“Sudah aman.”
Mendengar bisikan Raveen melalui earpiece nya, Jaxon melanjutkan perjalanan. Ia hanya membutuhkan waktu tujuh menit untuk sampai di atas balkon. Begitu sampai disana, Jaxon segera memasang lensa di sekitar kamera pengintai agar jejaknya benar-benar tidak terlihat. Ia menjaga langkahnya bergulir tanpa menimbulkan kebisingan sewaktu menyelinap masuk melalui jendela yang terbelalak.
Ruangan tanpak sunyi dan senyap. Cahaya temaram yang tersingkap dari balik ruangan menuntun langkahnya. Aneh sekali, pikirnya. Roman tidak menugaskan bawahannya untuk berjaga di dalam dan membiarkan setiap pintu di ruangan terbelalak. Tetapi itu sebuah keuntungan. Jaxon bisa menyelinap lebih mudah. Langkahnya yang waspada terhenti tepat di depan ruangan yang ia kenali sebagai ruang tawanan. Puteri Thalia pasti ada disana. Tapi Jaxon harus hati-hati. Siapa tahu ada seorang penjaga di dalam. Maka dengan waspada, ia memutuskan untuk mengintip di balik ambang pintu yang sedikit terbuka.
Ruangan itu nampak gelap. Hanya diterangi oleh cahaya temaram dari sinar rembulan  yang tersingkap di balik tirai jendela. Merasa ada keganjalan, Jaxon memutuskan untuk melangkah memasuki ruangan lebih jauh. Ia baru bisa melihat dengan jelas beberapa barang tergeletak sembarang di lantai kayu yang erotis. Boneka-boneka juga mainan anak. Seprai kasur sudah tidak tertata rapi. Beberapa bingkai foto jatuh berarakan dan... Jaxon melihat sebuah kalung dengan inisial A tergeletak di bawahnya. Ia merundukkan tubuhnya dan meraih kalung tersebut. Kalung yang jelas-jelas dikenalinya sebagai kalung pemberian Thalia pada bayinya 6 tahun silam.
Apa yang terjadi?
Jaxon tidak bisa mengklaim kemungkinan bahwa telah terjadi hal yang buruk disini. Roman pasti melakukan sesuatu pada Amanda. Semuanya sudah sangat jelas, ruangan ini begitu berantakan, seakan menandakan bahwa baru saja terjadi tindak pemberontakan. Sisi dalam diri Jaxon enggan memahaminya, namun sisi yang lain meronta-ronta menuntut pennjelasan. Ia belum sempat mendapat jawaban atas semua pemikirannya ketika suara yang familier masuk kembali melalui earpice.
“Kau sudah sampai disana?”
Tidak ada jawaban.
“Jaxon!” Raveen terdengar frustasi. “Apa yang terjadi?”
Tatapan Jaxon tak terarah. Pikirannya sudah dipusingkan dengan segala prasangka sampai ia hampir tidak merespon Raveen. Tapi beberapa detik setelahnya, Jaxon sadar.
“Ruangan ini kosong.” Jawab Jaxon. Suaranya lebih rendah dari bisikan. “Kita terlambat.”
Selama beberapa detik Jaxon menunggu Raveen memberi respon, namun tidak ada suara yang masuk setelah semenit penuh. Ia menduga Raveen sudah memahaminya. Tidak lama setelah ia berkutat dengan pemikiran buruk itu, ponselnya berdering.
“Jaxon disini.” Jaxon menempelkan ponsel ke telinganya yang bebas dari earpiece. Tidak lama, ia mendengar suara familer dari seberang.
“Aku sudah menunggu untuk menguhubungimu selama dua minggu.” Itu suara Roman. Setiap otot di tubuh Jaxon menegang. Gelombang adrenalin yang dahsyat terpacu. “Bagaimana kabarmu, Saudaraku?”
Merasakan amarah mencuat dalam setiap sel di otaknya, Jaxon angkat bicara. “Lupakan! Katakan apa maumu!” Nada suara Jaxon terdengar arogan.
Roman tergelak. Jika Jaxon ditanya tentang siapa orang yang bisa membuat setan dalam dirinya berkecamuk, maka jawaban yang paling tepat adalah Roman. Apa yang dilakukan Roman terhadap Amanda membuat Jaxon semakin panas. Jaxon bertanya-tanya apa Roman benar-benar tahu rencananya soal penculikan ini sampai ia membawa Amanda pergi sebelum Jaxon tiba. Namun pertanyaan itu segera terjawab.
“Kau buru-buru sekali, buronan. Sebenarnya aku ingin sekali berbagi cerita denganmu. Tapi sepertinya kau tidak pernah tertarik, jadi aku memutuskan untuk mulai ke topik inti.”
“Demi Tuhan, brengsek! Apa yang kau mau?!”
“Pria yang tidak sabaran!” Roman berdecak masam. “Sebenarnya, aku ingin meminta sesuatu darimu.”
“Apa?”
“Jadi kau benar-benar tidak tahu, ya?”
“Tahu apa?!” suara geraman.
“Baiklah. Karena aku berbaik hati, aku akan mengatakannya. Saat ini aku sedang bersenang-senang dengan keluarga kecilmu, Jaxon.”
Setiap otot pada tubuh Jaxon menegang. Amarahnya akan segera meledak. Apa yang dipikirkannya akan nasib Amanda buyar dalam seketika. Roman telah berhasil meluluh lantahkan ketenangannya. Sekarang Jaxon murka.
“Apa yang kau lakukan pada mereka?” Nada suara Jaxon lebih terdengar seperti ancaman ketimbang pertanyaan. Hal serupa telah membuat tawa Roman lepas. Lagi. Sialan, Jaxon akan memastikan untuk mengeksekusi Roman setelah ini.
“Sedikit bersenang-senang.” Jawab Roman dengan santai. “Sebenarnya aku kecewa karena wanita-wanita ini benar-benar tidak tertarik pada permainanku. Bisa kau bujuk dia?”
“Pergilah ke neraka, Roman!”
“Wah, aku takut sekali.” Roman terkekeh. “Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Tidak sampai kau melakukan sesuatu untuk wanita-wanita ini.”
“Apa yang harus ku lakukan?” Sekalipun terbakar oleh api amarah, Jaxon masih mengontrol emosinya. Panik tidak akan banyak membantu. Terlebih ini menyangkut masalah Sandra dan Mrs. Weilyn dan mungkin saja Gery-mengingat lelaki itu tidak dapat dihubungi. Mungkin Roman juga menahan Gery. Sekarang Roman benar-benar membuat Jaxon gila.
“Kau akan membunuh seseorang dan yang ku pertaruhkan adalah nyawa keluarga kecilmu ini.”
Jaxon mengacak rambutnya dengan frustasi. Firasat buruknya terwujud. Roman pasti menginginkan ia melakukan sesuatu yang pastinya tidak berarti baik. Sekarang Jaxon membenci fakta bahwa ia terlahir dengan nurani. Jika saja Jaxon bersikap acuh, mungkin itu akan mempermudah. Namun ia sudah cukup gila dengan nuraninya sampai-sampai tidak akan pernah tega bila membiarkan orang-orang yang berarti baginya ada dalam bahaya. Yang saat ini dipertaruhkan Roman adalah nyawa Sandra. Bukan hanya ibunya, tapi juga Mrs. Weilyn, Gery dan Amanda. Namun seperti yang telah dipahami Jaxon, Roman bukan tipe orang yang mudah. Nyawa di bayar dengan nyawa. Pilihan pertama, kalau Jaxon mau membunuh orang yang dimaksud, maka keluarganya akan kembali dengan selamat. Pilihan kedua, seandainya tidak, mereka akan mati. Jelas Jaxon akan memilih pilihan pertama. Tapi-Jaxon bukan seorang pembunuh.
“Katakan siapa yang harus ku bunuh?” Setelah beberapa detik terjadi kesunyian yang menegangkan, Jaxon angkat bicara. Namun seperti yang ia duga, tidak mudah mendapat setiap jawaban yang pasti dari Roman.
“Kalau aku bicara, kau mungkin akan menolak. Atau mungkin mencari cara. Aku tahu otak licikmu, Saudaraku. Sebaiknya kau jangan banyak bertanya. Kalau kau ingin mereka selamat, datang saja pada pertemuan dewan. Disana aku akan memberimu intruksi selanjutnya. Ingat! Nyawa mereka ada di tanganmu. Mereka akan selamat seandainya kau tidak memberantakkan rencanaku.”
Hubungan telepon terputus.
Jaxon menghanturkan umpatan kasar. Ia sudah berada di ambang batas kewarasannya saat ini. Jika ia tidak mempedulikan akal sehatnya lagi, mungkin beberapa barang di ruangan akan segera berterbangan. Mengetuk earpiece nya, Jaxon bicara pada Raveen.
“Kau mendengarnya.”
“Ya.” Suara Raveen. “Itu kedengaran licik. Dia memaksamu untuk membunuh.”
“Aku tidak tahu. Berengsek! Aku tidak bisa membunuh nyawa tidak berdosa.”
Raveen berdeham. “Ku pikir kau buronan paling berbahaya.”
“Terserah apa katamu.” Jawab Jaxon dengan acuh. Ia tidak mau membagikan masalahnya lagi pada siapapun. Cukup Shynea yang mengenalnya. Jaxon sudah muak untuk berelas kasih di hadapan orang lain hanya untuk mendapat pengertian.
“Sebenarnya,” Raveen melanjutkan pembicaraan. “Kalau kau tidak keberatan aku bisa melakukannya untukmu. Ini sudah menjadi pekerjaanku.”
“Apa?” Jaxon mengeryitkan dahi penuh prasangka. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia benar-benar memahami apa yang di maksudkan Raveen. Meski berharap itu dapat terjadi, Jaxon menolak. “Tidak. Kau tidak akan membunuhnya. Roman pasti melihatmu. Dia akan mengawasiku dari jauh. Nyawa keluargaku ada di tanganku. Harus aku yang melakukannya.”
“Tapi kau bilang kau tidak bisa...”
“Persetan. Aku harus melakukannya.”
“Ku sarankan agar kau memikirkan semua ini baik-baik. Jangan mengambil keputusan terlalu cepat. Pikiranmu sedang kacau. Kita hanya butuh waktu untuk menjernihkan pikiran dan mulai menyusun rencana. Tidak tahu apa rencana itu akan berhasil atau tidak, setidaknya kita akan mencoba.”
“Kau benar saat mengatakan bahwa kau cukup membantu.” aku Jaxon dengan suara netral.
“Senang bisa membantumu, buronan.”

Salvation From An EvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang