bab 7

3.3K 213 0
                                    

Sinar matahari menembus masuk melalui tirai jendela yang tebelalak. Shynea disilaukan oleh sinarnya. Niatan untuk kembali tidur sirna begitu ia teringat akan tugas yang harus dikerjakan. Begitu Shynea meraba ranjang dengan satu tangannya, ia tak kunjung menemukan sosok tubuh besar yang semalam tidur bersamanya.
Dimana Jaxon?
“Disini, harita!”
Pandangan Shynea sontak teralih pada sosok tubuh kekar yang tengan berdiri di ujung ruangan sambil memunggunginya. Astaga. Jika saja Shynea sudah sadar sepenuhnya, mungkin ia akan segera merona melihat tubuh Jaxon yang setengah telanjang. Lelaki itu hanya mengenakan jinsnya sementara tubuhnya yang kekar dan berotot dibiarkan terbuka.
Tenggorokan Shynea seakan tersekat merasakan bagaimana kondisi yang tengah melingkupinya saat itu. Ia belum pernah melihat lelaki dengan tubuh telanjang di hadapannya. Mungkin sesekali dengan Spance. Tetapi lelaki itu adiknya, bukan orang asing seperti Jaxon. Dan apa yang dipikirkan Shynea? Tubuh Jaxon terlihat seperti patung yang dipahat dengan lilin murni. Bergitu kekar dan indah. Ada luka goresan yang melintang disepanjang punggung Jaxon dan diduga Shynea sebagai luka akibat kebiadapan ayah tiri Jaxon.
Jaxon yang malang.
Tidak hanya luka goresan, pada pinggul rampingnya juga terdapat luka bakar dan sekali lagi Shynea tahu kalau luka itu akibat dari pengorbanan Jaxon sewaktu menyelamatkan kedua puteri Gery. Semua terasa semakin jelas sekarang. Jaxon berbalik kemudian menyebrangi ruangan untuk mengambil pakaiannya. Ia beruntung karena Shynea bangun lebih lama setelah ia memakai celana.
“Maaf. Aku tidak punya tempat lain untuk berganti pakaian.” Jaxon mengenakan kemejanya selagi Shynea terdiam membatu. Ia terheran selang beberapa detik kekosongan itu menghias suasana. Dengan kerutan pada dahi, Jaxon memberanikan diri untuk menoleh pada Shynea.
“Apa yang kau khawatirkan? Kenapa kau diam saja? Ada masalah?”
Shynea berdeham. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tempat lain. “Aku hanya tidak biasa.”
“Kalau begitu sebaiknya kau mulai belajar untuk terbiasa. Kondisi kita akan seperti ini untuk beberapa hari. Sekarang mandilah! Aku sudah siapkan air hangat untukmu.”
Mereka bergeming.
“Aku akan tunggu di luar.”
Shynea baru beranjak dari ranjang ketika Jaxon sudah menutup rapat pintu di belakangnya dan pergi menjauh dari ruangan itu. Baguslah. Setidaknya Shynea tidak perlu repot-repot untuk mengusir lelaki itu keluar.

Shynea tidak perlu repot-repot membujuk Sandra untuk makan. Apa yang dimintanya segera Sandra lakukan, temasuk menghabiskan makanan dengan cepat. Sementara Shynea tengah menjalankan tugasnya untuk merawat Sandra, Jaxon sibuk berbicara dengan seseorang melalui telelink-nya. Shynea dibuat penasaran atas seluruh sarkasme yang dihanturkan Jaxon. Dirinya berntanya-tanya apa yang membuat lelaki itu sampai marah. Ia tidak mau bergerak sebelum sebuah suara debuman keras terdengar dari luar halaman rumah. Shynea juga Sandra disambar oleh keresahan. Suara itu nyaris memekakan telinga. Ia segera mengitari ruangan menuju jendela untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Nyatanya tidak. Beberapa mobil polisi mulai mengepung halaman rumah. Apa yang terjadi?
Tentunya tidaklah berarti baik.
Shynea segera kembali untuk mendekap dan menenagkan Sandra yang terdiam ketakutan. Tak lama kehadiran Mrs. Weilyn segera menenangkan ketegangan yang dialaminya. Disusul oleh kehadiran Jaxon yang datang dengan tergesa-gesa.
“Apa yang terjadi?” Shynea menoleh pada Jaxon yang berdiri dengan tenang di ambang pintu.
“Para polisi sudah meretas identitasku. Mereka akan segera menangkapku. Aku harus pergi dari sini secepatnya.” Nada suara Jaxon hampir tidak terdengar berat. Shynea bahkan bingung bagaimana lelaki itu bisa bersikap netral dalam suasana segmenting ini.
“Kemana kau akan membawa Sandra?”
“Aku tidak akan membahayakannya.” Jaxon memutuskan. Ia menoleh pada Mrs. Weilyn yang sudah berdiri di samping ibunya. “Madam, bisa kau jaga dia untukku?”
Mrs. Weilyn tidak berucap selama beberapa detik. Ia hanya mempertimbangkan keraguannya. Cepat atau lambat, Jaxon akan tertangkap. Dan sekeras apapun usahanya untuk mencegah kepergian lelaki itu, pada akhirnya Jaxon akan pergi juga. Tidak mau terlalu banyak membuang waktu, Mrs. Weilyn memilih untuk mengangguk kemudian mendekat dan mendekap Jaxon dengan erat. Air matanya merebak. Ia memelai lembut rambut keemasan Jaxon kemudian berpesan,
“Jaga dirimu, nak. Aku akan menjaganya untukku. Berjanjilah kau akan kembali.”
“Aku berjanji.” Jaxon melepas dekapannya. “Dengar! Mengakulah di depan para polisi itu kalau kalian hanyalah korban penculikanku. Mereka akan melindungi kalian.”
“Tetapi kami tidak ingin kau menaggung…” Mrs. Weilyn belum sempat menuntaskan kaliamatnya saat Jaxon menyela dengan lantang.
“Aku mohon, lakukanlah. Percayalah, aku buronan dengan banya tuduhan. Satu tuduhan lagi tidak akan berpengaruh besar. Aku akan pergi.”
Begitu Jaxon hendak melangkah keluar dari ambang pintu, Shynea menyusulnya sampai ke lorong kemudian menahan pergelangan tangan lelaki itu hingga mereka saling berhadapan.
“Hei buronan!” Shynea terhenti.
“Apa yang kau lakukan? Kau tentunya menginginkan kebebasanmu, bukan? Polisi itu akan datang dan kau akan bebas.”
Tatapan Jaxon sekeras baja sampai-sampai meluluhkan Shynea untuk berucap. “Ya, tentu saja. Tetapi jangan bermimpi. Kau yang menyeret aku dalam masalah ini, itu berarti aku sudah jadi bagian dari masalah yang harus kau selesaikan. Ingat kau masih memiliki hutang untuk mempertemukanku dengan adikku. Kalau kau berani kabur, aku tidak akan segan-segan menyeretmu pada polisi-polisi itu. Aku harus ikut bersamamu.”
Jaxon terdiam dalam beberapa saat. Kekeraskepalaan Shynea telah meruntuhkan benteng pertahanannya. Shynea benar. Ia tidak bisa meninggalkan wanita itu disini dan membiarkan nasibnya buruk karena tidak bisa mempertemukannya dengan sang adik. Terutama karena Jaxon sudah terbiasa dengan Shynea, maka ia tidak akan keberatan kalau harus membawa wanita itu bersamanya.
“Kau sungguh keras kepala. Jangan salahkan aku seandainya kau menajdi incaran polisi selanjutnya.”
Mereka terus berlari menghindari serangan para polisi dengan beberapa senjata mematikan itu. Beberapa polisi sudah berhasil mendobrak masuk ke ruangan dan mendapati Jaxon bersama Shynea disana. Tak mau tinggal diam, Jaxon segera merenggut lengan Shynea kemudian menariknya untuk berlari secepat mungkin melewati lorong-lorong. Sebelum itu, Jaxon tehenti begitu salah seorang polisi menjegadnya di lorong utama. Dengan sigap ia melepas Shynea kemudian menghadapi polisi itu dengan tangan kosong. Dengan kecepatan yang patut diacungi jempol, Jaxon meraih lengan polisi tersebut, kemudian memuntirnya kebelakang dan segera menyikut bahunya hingga polisi itu ambruk. Ia menepis senjata dari tangan sang polisi lalu kembali pada Shynea. Sebelum Jaxon melanjutkan langkahnya, seorang polisi lain sudah menahan lengan Shynea lebih dulu sambil menodongkan senjata kearahnya.
Seperti yang ia lakukan sebelumnya, Jaxon segera mencengkram pergelangan tangan sang polisi yang menahan Shynea dengan kasar, kemudian menendang tumitnya hingga polisi itu ambruk dengan debuman keras. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya, Jaxon segera meraik Shynea untuk meninggalkan lorong. Namun, ia belum sempat menghilang sewaktu polisi lain di ujung lorong dengan sigap melepas pelatuknya dan ke arah Jaxon. Jaxon hampir tidak sempat berbalik untuk melindungi Shynea. Al-hasil, bahunya menerima tembakan itu. Rasa sakit dengan cepat menghunjam tubuhnya. Jantungnya seakan disayat oleh sebuah belati perak. Hanya saja ini versi yang lebih ringan. Setets darah jatuh dan tergenang di lantai. Namun tembakan itu tidak kunjung menjatuhkan Jaxon. Ia cepat meraih sebuah kaleng berisi gas mematikan di balik jaketnya kemudian melemparkan benda itu tepat ke arah sang polisi.
Kabut tebal membuyarkan pengelihatannya, dan sekali lagi kesempatan yang dimiliki Jaxon untuk melarikan diri. Jaxon kembali merenggut tangan Shynea dan membawanya berlari menuju pintu rahasia di halaman belakang rumah. Dengan cepat ia dan Shynea memasuki ruangan kedap suara itu. Tidak ada cahaya yang menembus masuk. Beruntung Jaxon sudah meninggalkan senter jauh-jauh hari. Ia terus berjalanan menuntun Shynea yang membuntutinya sambil mengarahkan sumber cahaya pada seisi ruangan gelap nan sempit itu. Suara kericuhan tembakan polisi dari halaman depan sekain terdengar jelas. Jaxon hanya dapat berharap agar tuhan melindungi ibu juga pelayan pribadinya itu. Hal teakhir yang diinginkannya saat itu hanyalah mati di ruangan sempit ini.
“Disini gelap sekali.” Shynea menyapukan pandangannya pada sekitar ruangan. Sesuatu yang mendesis di bawah lantai membuatnya mencibir muak. “Dan pastinya banyak hewan-hewan liar.”
Tanpa menolehkan wajahnya pada Shynea, Jaxon menjawab. “Hanya ini satu-satunya jalan keluar yang bisa kuandalkan.”
“Kemana lorongnya mengarah.”
“Perkotaan.” Jawab Jaxon, singkat.
“Berapa lama waktunya?”
“Kurang lebih sekitar sepuluh menit.”
“Lorong yang cukup panjang, ya?”
“Tentu saja. Aku yang membangunnya sendiri sekedar berjaga-jaga jika sewaktu-waktu aku dikepung.”
“Hebat sekali.”
“Terima kasih.” Mereka melewati lorong yang senyap itu dengan cepat, sampai menemukan sebuah cahaya yang berjarak beberapa meter darinya. Meletakkan senter, Jaxon kembali menarik Shynea menuju cahaya di ujung ruangan. Ia mendobrak pintu kayu yang terkunci hingga hancur, lalu bergegas keluar dari sana. Sampai di tengah keramaian kota, Jaxon menyapukan pandangannya ke sekitar. Ia beranjak untuk menghentikan sebuah angkutan kota kemudian membiarkan Shynea masuk lebih dulu. Setelah memastikan keadaannya aman, Jaxon segera mengetik sebuah alamat yang akan dituju menggunakan sandi yang sebelumnya ia dapat dari Hauk. Tentunya menggunakan identitas lelaki itu. Jaxon sudah tidak bisa lagi menggunakan identitas maupun sandinya. Ia hanya akan mengundang masalah jika menggunakan nama itu.
Usai menyelesaikan transaksi yang diambil dari rekening pribadinya, Jaxon menekan tombol perintah untuk jalan. Mobilpun melintas ke jalan raya. Perjalanan yang di tempuhnya akan sangat jauh. Dalam beberapa menit, Jaxon hanya mencoba menahan untuk tidak meringis karena rasa sakit yang ditimbulkan oleh tembakkan itu dan membuat sekujur tubuhnya bergelenyar. Ia hampir mengejang, namun dirinya akan berwanti-wanti.
Jangan dihadapan wanita ini, Sobat. Jangan dihdapannya!
Jaxon berharap Shynea tidak sadar akan lukanya. Setidaknya sampai perjalanan usai. Nyatanya tidak. Darah sialan it uterus mengalir dan menimbulkan bercak merah pada kemeja putihnya. Meski tertutup oleh jaket kulit tebal, tetapi darahnya tetap saja terlihat di area pinggul yang terbebas dari oengawasan jaketnya.
Sialan.
Dengan gerakan cepat, Jaxon menutup kemeja dengan lengannya begitu Shynea melihat pinggulnya.
“Kau berdarah.”
“Hanya luka yang terbuka.” Jaxon menegaskan. Berharap agar setidaknya ekspresi yang ia munculkan dapat membantu. Dan betapa terkutuknya luka itu karena membuatnya tidak bisa lagi menahan ringisan sakit serta membuat Shynea tahu yang sebenarnya.
“Tidak. Kau pasti tertembak.”
Begitu Shynea mengerahkan kedua tangannya untuk membantu, dengan cepat Jaxon menepisnya. Lelaki itu malayangkan tatapan segetir dan sekeras baja hingga lagi-lagi membuat Shynea harus beringsut menjauh.
“Jangan! Jangan sentuh!” Nada suara Jaxon tedengar getir. “Aku sudah biasa dengan luka seperti ini. Tidak perlu menghawatirkan aku.”
“Tapi kau…”
“Sudah ku bilang aku sudah biasa. Cepat atau lambat lukanya akan hilang.”
Kesal karena sikap dingin Jaxon, Shynea menjauh. Ia menatap lelaki itu dengan tak kalas sinisnya kemudian tak segan-segan menghanturkan sarkasme. “Terserah apa maumu buronan. Setidaknya aku sudah mencoba membantu. Jangan salahkan aku kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
“Aku akan diam.”
Muak, Shynea membuang tatapannya. Ia bersedekap dengan wajah tertekuk dan tidak berkata apapun selama beberapa menit. Pandangannya tearah keluar melalui kaca mobil. Diluar kota terlihat begitu ramai. Shynea bertanya-tanya kemana Jaxon akan memabwanya pergi. Jalanan itu terlalu asing baginya. Jauh dari rumah terutama jauh dari lingkungannya. Jaxon pastilah punya banyak tempat persembunyian dalam hal ini. Sejauh ini ia selalu menjadi incaran dan hebatnya ia selalu bisa lolos dari kejaran para polisi itu.
Pastilah Jaxon sudah berbakat dalam hal ini. Itulah kenapa sampai saat ini dia tidak terlihat panik.
“Kemana kita akan pergi?”
Jaxon terkejut mendapati sebuah suara setelah sepersekian menit tejadi kekosongan diantara mereka. Meski begitu ia mencoba bersikap netral.
“Ke tempat yang aman tentunya. Dan jauh dari pengawasan polisi.”
“Seperti rumahmu?”
“Aku hanya memiliki satu rumah dan saat ini rumah itu sudah dikepung oleh polisi.”
“Lalu kemana kita akan pergi?”
Jaxon menyandarkan punggungnya pada sofa kendaraan. Ia memejamkan mata sambil bersedekap. “Ke apartemen milik seorang teman. Setidaknya kita aman disana.”

Salvation From An EvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang