bab 5

4.8K 224 11
                                    

Jadi, Thalia itu puterinya?" Shynea menelengkan kepala menatap Jaxon yang tengah mengambil alih kemudi.
"Ya." Tidak ada kesan sinis dalam nada suara Jaxon yang membuat Shynea berpikir kalau mungkin lelaki itu tidak keberatan dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh yang akan ia ajukan setelah ini.
"Jadi,,, apa yang terjadi pada Thalia? Bagaimana dia bisa mati? Dan...berapa usianya saat itu?"
Dengan acuh tak acuh, Jaxon mengangkat bahu. "Dia dibunuh oleh seseorang tiga bulan setelah hari kelahirannya. Tepatnya saat dia berusia 24 tahun."
Informasi yang baru saja diberikan Jaxon telah memblokir semua pernyataan baik yang Shynea kutip dalam dugaannya. Thalia meninggal dengan cara tidak wajar. Dibunuh. Mirisnya, wanita itu baru saja menjadi seorang ibu. Setega itukah orang yang membunuh Thalia? Apa kesalahan yang diperbuat Thalia hingga ia dibunuh? Apa kesalahannya bergitu besar? Namun, sebesar apapun kesalahannya, Thalia tidak pantas menerima perlakuan kejam dari pembunuh itu. Terutama karena realita yang mengatakan kalau Thalia baru saja menjadi seorang ibu. Puteri ataupun puteranya akan sangat sedih begitu menerima semua ini. Seperti yang Shynea pedomankan dalam hidupnya selama ini, bahwa kekejaman hanya akan membuat lubang kecil yang bila terus digali akan menjerumuskan banyak orang. Segala tindakan yang diselesaikan dengan cara kekejaman hanya akan berbuah tangis dan penderitaan.
Sejauh ini Shynea belum pernah melihat hal-hal terkeji seperti pembunuhan brantai di depan mata kepalanya sendiri. Jangankan untuk melihat semua itu, membayangkannya saja ia sudah hampir meringis. Tapi...hei, siapa pembunuh kejam itu? Siapa orang yang dengan teganya membunuh Thalia dan membuat bayinya telah kehilangan seorang ibu? Beberapa pertanyaan bergelimang dalam benak Shynea. Hal serupa yang telah membuat rasa penasarannya semakin tergungah dan dengan antusias yang berbeda, ia berpaling pada Jaxon.
"Siapa pembunuh yang tega melakukan hal keji itu pada Thalia?"
Jaxon jelas tergelak di sofa kemudinya begitu mendengar retorik Shynea. Apa yang dipikirkan wanita itu sampai bertanya siapa orang yang telah membunuh Thalia? Namun rasa penasaran Shynea mulai terasa wajar. Sudah sangat jelas bagi Jaxon kalau Shynea bukan penjahat biadab seperti dirinya, dan akan menjadi sebuah keterkejutan bagi wanita itu bila mendegar aksi brutal seperti pembunuhan. Mungkin sudah menjadi kesalahannya menyeret seorang wanita lembut dan anti kriminal dalam kehidupan brutal ini. Jaxon telah dibuat menyesal atas tindakannya sendiri. Tapi pada dasarnya, ia sama sekali tidak merasa terusik dengan keberadaan Shynea. Entah mengapa wanita ini mampu menimbulkan kesan yang sulit untuk ditebak dan dimengerti oleh Jaxon.
Berdeham keras, Jaxon menjawab. "Lucu sekali, manis. Kau bertanya siapa orang yang bertindak keji dengan cara membunuh pada seorang pembunuh. Apa secepat itu kau melupakan statusku?"
Shynea hampir tidak sepenuhnya percaya akan apa yang dikatakan Jaxon. Suara Jaxon memang terdengar begitu meyakinkan, namun tatapannya sarat akan kebohongan. Apa yang sebenarnya dikatakan lelaki itu suatu fakta konyol atau kebohongan besar?. Selama sesaat Shynea berpihak pada dugaan buruknya.
"Apa kau bermaksud mengatakan kalau kaulah pembunuh itu?"
Dalam beberapa detik setelahnya, terjadi kekosongan. Shynea masih mengulas tatapan sengit pada Jaxon sementara lelaki itu tertegun memusatkan perhatian pada jalanan. Shynea telah membuat tenggorokan Jaxon tersekat. Sejauh ini, belum ada seseorang yang mempertanyakan hal serupa di hadapan Jaxon. Dan sekarang, Shynea lah yang akan menjadi orang pertama untuk pertanyaan itu. Apa yang harus ia akui lagi? Bukankah semuanya sudah jelas? Photo Jaxon terpampang di surat kabar selama berulang kali dengan berita yang menyatakan kalau ia tidak lebih dari seorang buronan kejam. Tidak lebih dari seorang pembunuh, perampas keperawanan seseorang dan pencuri andal. Apa Shynea masih perlu mempertanyakan hal sesederhana itu?
Jaxon tidak pernah memilih atas kekelamannya ini. Tentunya ia tidak akan memilih jalan kelam jika saja tidak ada alasan tertentu. Dan sekarang, Jaxon sudah muak dengan semua permainan ini. Ia sudah muak dipojokkan, dijadikan kambing hitam, dan yang lebih parahnya lagi dipaksa untuk memberi kesaksian palsu dengan ancaman nyawa seseorang yang teramat ia cintai. Ia pikir, Shynea tidak perlu menjadi orang selanjutnya yang mendengar kebohongan itu. Kebohongan yang selalu terucap dalam bibirnya, sampai ia benar-benar muak. Sejauh ini orang-orang berbohong demi melindungi dirinya. Namun Jaxon tidak. Ia berbohong untuk melindungi orang lain. Demi kebahagiaan, tawa dan secercah harapan orang lain. Bayangkan saja.
"Kau pikir siapa lagi yang bisa melakukan hal sekeji itu, harita?"
Sekarang Shynea benar-benar ingin muntah. Bagaimana mungkin Jaxon bertindak sekeji itu kalau pada akhirnya ia juga yang kewalahan untuk mengembalikan Thalia ke dunia ini? Sungguh, buronan macam apa Jaxon? Pada satu detik dia bersikap begitu lembut dan pada detik berikutnya, mengakui dosa terbesar yang membuat hati seseorang pilu menuntut pembalasan setimpal.
"Kenapa kau membunuh Thalia kalau pada akhirnya kau menginginkan dia untuk hidup kembali?"
Karena pada akhirnya aku yang akan selalu kalah. Jaxon ingin berkata demikian, namun keadaan menentangnya. Ia sudah cukup dihunjami oleh duka dan kesukaran. Dalam dunia sekeras ini, Jaxon sudah terlalu terbiasa dengan segala penderitaan, hingga pada akhirnya, penderitaan akan terasa akrab layaknya sahabat. Selalu ada dalam setiap napas. Sudah cukup! Ini sudah keterlaluan. Kalau ia bicara lagi Shynea akan tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Lebih baik ia diam. Lagi pula Jaxon sudah lelah berbohong Setidaknya untuk sekarang. Persetan dengan semua kemunafikan ini.
"Kau terlalu banyak bertanya, harita. Tugasmu hanyalah menyamar sebagai Thalia. Bukan menginterogasiku dan mengorek informasi lebih banyak."
Rasa penasaran akan pertanyaan itu memang begitu besar, namun siapa yang berani mendesak pembunuh brantai seperti Jaxon? Shynea menghela napas pendek yang diduga Jaxon sebagai tanda pasrah. Bersamaan dengan itu sudut bibir Jaxon terangkat.
Jaxon menambah kecepatan laju mobil secara tiba-tiba hingga membuat tubuh Shynea tersentak.
Mendengus kesal, Shynea menyikut lengan Jaxon. "Aduh...! Setidaknya, bisakah kau mengemudi dengan benar?"
"Maaf, harita. Kalau aku tidak cepat, monitor-monitor pemantau sialan itu akan menangkap plat mobil ini." Entah untuk alsan apa, Jaxon senang karena ia bisa mengalihkan topik perbincangan.
"Bukankah itu bagus?"
"Untukmu, ya, bagiku, tidak." Jaxon menegaskan. Matanya terpusat pada spion dalam mobil, memastikan kalau tidak ada polisi yang berkeliaran di jalan.
"Apa seperti ini rasanya jadi buronan? Selalu diincar seperti mangsa?"
Sambil melepas kaca matanya, Jaxon mengalihkan pandangan kemudian melayangkan cengiran masam. Shynea hampir tidak bisa bernapas dalam beberapa detik merasakan aura maskulin yang terpancar di wajah buronan kejam ini. Cambang yang tumbuh di rahang Jaxon telah menipis, membuatnya terlihat lebih bersih, dan... tampan. Kalau diperhatikan lebih baik lagi, Jaxon memiliki mata obsidan yang ekspresif. Setiap garis wajahnya tegas seakan tubuh sekekar itu terpahat laksana baja. Hidungnya panjang dan mancung. Alis matanya tebal dan Shynea belum pernah melihat bibir yang terpahat seindah itu.
Terlepas dari ketampanan Jaxon, Shynea berdeham merundukkan wajah sampai mendengar kembali aksen familier Jaxon. "Begitulah untungnya jadi predator, harita. Menjadi mangsa lebih sulit dari ketimbang menjadi predator. Sekali saja mangsa bertindak bodoh, maka jalur bagi predator untuk memperangkap mangsa akan semakin luas."
Shynea meringis begitu mendengarnya. Ia tidak bisa membangkan bagaimana keseharian Jaxon selama ini. Merasakan terawasi untuk sekali saja Shynea sudah muak, lalu bagaimana dengan Jaxon yang hampir setiap detiknya harus berjaga lantaran diawasi oleh kamera pengintai. Pastilah hidupnya seperti di neraka. Atau lebih buruk lagi. Untuk membayangkannya saja sudah membuat Shynea frustasi, dan Shynea tidak dapat memikirkan hal yang jauh lebih baik lagi jika hal itu benar-benar terjadi.
"Dan sejauh ini kau bertahan dengan cara yang sama?" tanya Shynea.
"Begitulah, harita. Hidup ini terlalu kejam untuk dihadapi sehingga aku lebih memilih untuk bersembunyi."
"Kau seorang penjahat, bagaimana kau bisa bersembunyi? Bukankah bersembunyi hanya berlaku bagi pecundang?"
Jaxon tertawa terbahak-bahak mendengarnya sampai ia akan menyerempet sebuah truk jika saja tidak menahan kendali mobil. "Jangan sebut aku pecundang, harita. Tanyakan saja, kenapa aku bersembunyi. Kita sama-sama tahu kalau seorang pencuri, pemerkosa dan pembunuh berantai tidak pernah bersembunyi untuk alasan apapun. Mereka mencari mangsa."
Menyipitkan mata, Shynea menatap Jaxon sambil memperlihatkan kerutan di dahinya yang menyimpan begitu banyak pertanyaan. "Apa maksudmu?"
Tergelak, Jaxon menatap Shynea. "Kau tidak sebodoh itu, harita."
Shynea mendengus kesal. Ia melayangkan pelototan sengit atas perlakuan Jaxon. "Tidak ada yang lucu, buronan! Dan berhentilah memanggilku harita."
"Kau tidak memberi aku pilihan." Jaxon menjaga nada suaranya tetap datar hingga Shynea tidak bisa membedakan apa ia tengah bicara serius atau hanya bergurau.
Tak terasa perjalanan jauh yang tempuh berlalu dalam waktu singkat. Sekarang mobil telah memasuki halaman sebuah rumah besar yang dijaga ketat oleh beberapa sipir di ambang pintu. Dengan garakan lamban, Jaxon melepas sabuk pengaman yang sebelumnya ia lilitkan di tubuh Shynea. Setalh itu ia menekan tombol pemindai di mobil untuk membuka pesan. Shynea mendengar suara asing yang masuk melalui alat penghubung elektronik itu.
"Semuanya aman, Jay. Kemana aku harus membawa wanita ini?"
Sebelum merespon, Jaxon menyempatkan diri untuk menatap Shynea. Pancaran di mata hazelnya mengartikan ancaman tentunya. Kalau sudah menyangkut masalah Vanessa, Shynea harus tegas. Persetan dengan pelototan sengit Shynea, Jaxon menekan tombol dan meninggalkan pesan suara.
"Bawa dia ke ruang utama. Pastikan semua peralatan kedokteran yang dibutuhkan tersedia. Jangan lupa, hubungi Geilyn segera."
"Pesan diterima."
Komunikasi terputus. Usai memastikan Jaxon memberi fasilitas yang nyaman bagi Vanessa, Shynea dapat bernapas lega. Ia segera turun dari mobil dan mengekor Jaxon menuju ambang pintu. Dua orang sipir menahan mereka disana. Tubuh besar si sipir masih menutupi pintu sampai Jaxon angkat bicara.
"Dia sudah mendapat izin. Kalau kalian ragu, lakukanlah sesuatu, aku akan menunggu."
Kedua sipir bertubuh besar saling bertukar pandangan sebelum akhirnya kembali pada Jaxon dan bergeser untuk memberi jalan.
Semudah itukah?
Beberapa pertanyaan bermunculan dalam benak Shynea, terutama rumah siapa yang tengah ia kunjungi? Kenapa Jaxon harus meminta izin atas Shynea? Mungkinkah pemilik rumah sebesar ini adalah atasan Jaxon? Apa benar Jaxon seorang kaki tangan? Tetapi status buronan berbahaya yang disandang Jaxon meragukannya. Bagaimana mungkin buronan seperti Jaxon punya atasan. Lagi pula, Jaxon juga pernah mengatakan kalau dia hidup untuk dirinya sendiri. Mustahil jika Jaxon bekerja untuk seseorang.
Perkutuk dengan semua dugaannya, Shynea beranjak membuntuti Jaxon. Ia tersekat melihat bagaimana penampilan dalam rumahnya begitu berbeda dengan apa yang menjadi dugaan Shynea. Meski megah, siapa yang akan menyangka kalau rumah ini sesenyap neraka? Tidak ada cahaya, tidak ada suara tawa, tidak ada sambutan manis keluarga. Hanya ada kegelapan yang diselimuti sunyi. Beberapa lukisan dinding terpampang disana. Hanya sedikit barang antik yang tertata. Kursi dan meja di ruang depan sudah terlihat berdebu. Bahkan terlihat seperti hiasan antik yang ada hanya untuk memenuhi undangan.
Jaxon menuntunnya memasuki lorong gelap yang dipenuhi oleh photo usang. Di sisi kiri, terpampang photo seorang wanita yang tengah duduk disamping wanita kecil yang bisa diduga sebagai anaknya. Dari garis dan kerutan di wajahnya, Shynea menduga kalau wanita itu berusia awal tiga puluhan. Sementara wanita kecil yang bersamanya mungkin berusia sekitar 8 tahun. Senyum bahagia terpancar di wajah mereka. Shynea mengira kalau mungkin mereka adalah keluarga Jaxon. Namun status yang disandang Jaxon sebagai buronan meragukannya. Apa mungkin pembunuh berdarah dingin yang terkenal getir dan tak kenal ampun memiliki keluarga sehangat ini?
Muak, Shynea kembali membuntuti Jaxon. Untuk kali kedua ia terhenti pada sebuah photo yang melukiskan wanita yang sama dengan usia yang diduga lebih tua beberapa tahun sedang duduk dikursi roda dibantu oleh alat infus dan dalam kondisi kaki di perban. Wanita kecil itu juga telah beranjak remaja. Dalam photonya, ia terlihat sedang berupaya merawat sang ibu. Shynea tidak lagi melihat senyum bahagia yang terpancar dalam raut wajah mereka. Yang terlihat hanya bentuk kebencian terpendam atas penghinaan yang tak kunjung terhenti. Bulu kuduk Shynea mulai meremang. Ia menoleh ketika menyadari langkahnya yang terhenti juga telah membuat Jaxon terhenti jauh beberapa langkah disana. Ia menatap kedalaman mata obsidan Jaxon dalam diam.
Shynea lebih terkejut lagi ketika perlahan Jaxon berpaling untuk menghampirinya. Ia bergeming sampai lelaki itu berdiri di sampingnya.
"Siapa mereka?" Shynea angkat bicara. "Wanita yang ada di photo itu?" Ia menambahkan.
Shynea memperhatikan pandangan Jaxon yang gelap ketika tertuju pada photo yang sama. Tidak ada suatu yang nyata selain dendam dan kebencian yang terpendam. Hanya ada kebencian dalam tatapan gelap Jaxon. Shynea dapat melihatnya dengan jelas. Kerutan pada dahi Jaxon mengatakannya dengan jelas. Dan tatapan dingin itu, membuat Shynea bergidik. Seakan tatapannya dapat membekukan seluruh mata air di dunia.
"Kenapa kau begitu ingin tahu, harita?"
Shynea menelengkan kepala sambil mengangkat kedua bahu dengan acuh tak acuh. "Aku hanya ingin tahu. Apa wanita itu yang kau maksud Thalia?"
"Ya." Jawab Jaxon, tegas.
"Dan... wanita lain itu... Sandra?"
"Ya."
"Apa yang terjadi padanya? Dia lumpuh?"
"Menurutmu kenapa dia memakai kursi roda?"
Shynea menyipitkan kedua mata. Pandangannya menyelidik Jaxon dengan intensitas yang besar. Bagaimana mungkin ia bisa mengira kalau buronan ini adalah penyebab kehancuran sebuah keluarga, dan juga pembunuh seorang puteri tak bersalah. Beberapa pernyataan mungkin dapat Shynea hubungkan mengingat betapa tidak masuk akalnya tindakan Jaxon membunuh Thalia. Mungkin saja Jaxon adalah suami dari Thalia. Semua itu akan jauh lebih bisa dimengerti oleh Shynea. Jaxon mengatakan kalau Thalia dibunuh tiga bulan setelah hari kelahirannya. Itu berarti, anak yang dilahirkan Thalia adalah anak Jaxon. Astaga! Apa yang kau pikirkan? Jaxon jelas memilih untuk membungkam atas semua kenyataan tentang latar belakangnya. Buronan seperti apa yang tidak khawatir akan rahasia-rahasianya jika dibuka di hadapan orang asing seperti Shynea. Jelas Shynea akan segera melaporkannya pada polisi dan Jaxon akan segera ditangkap. Habis perkara.
Untuk sekarang, Shynea tidak akan banyak bertanya tentang siapa Thalia sebenarnya dan apa yang terjadi pada Sandra. Terutama mengapa Jaxon memintanya untuk melakukan penyamaran ini. Shynea telah berjanji pada dirinya sendiri akan menyelidiki semua itu nanti. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Sandra dan memainkan perannya. Itu artinya tidak akan butuh waktu lama untuk mengerti semua yang terjadi. Siapa Jaxon sebenarnya, dan apa latar belakang buronan itu.
"Menurutmu, mengapa aku tidak mau mengatakannya, buronan?"
Jaxon berpaling. Wajahnya melembut. Kerutan pada dahinya hilang dan aura maskulin yang terpampang di sekujur tubuhnya membuat bulu kuduk Shynea meremang. Shynea merasakan segelintir sensasi aneh yang merasuki tubuhnya sewaktu Jaxon meraih lembut jari-jemari kecil Shynea dan menariknya untuk beranjak.
"Menurutku, apapun itu, akan berarti buruk. Cepat harita! Sudah kubilang, jangan banyak bertanya. Semakin sedikit yang kau tahu, akan semakin baik."

Salvation From An EvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang