ENAM

114 1 0
                                    

"Kau yang memanggilku," katanya membuatku heran.

Aku mendapati dirinya tersenyum menatapku. Gerard.

"Bagaimana kau bisa.." ku ulang kembali peryanyaanku padanya. Aku sedikit tidak percaya bahwa pria yang berada di depanku adalah Gerard.

"Bolehkah aku tinggal?"  Entah kenapa batinku merasa ia sedikit memaksa.

Ia menatapku. Dan aku terdiam untuk beberapa saat. Seperti kehabisan kata, sebuah anggukan berhasil membuatku menyetujuinya.

Sekali lagi aku masih tidak percaya ia disini, bersamaku dalam satu ruangan. Aku sudah gila, benar-benar gila dibuatnya.

Aku merasa janggal dengan pakaian yang ia kenakan. Tidak terlihat seperti pemuda pada umumnya. Apa Gerard sedang mengikuti pesta kostum?

Aku menggeleng menolak pemikiran singkatku. Kalau boleh jujur, Gerard terlihat lebih berkharisma malam ini. Pakaian yang ia kenakan mengingatkanku pada sebuah series film laga. Gerard seperti seorang ksatria zaman perang. Baju yang dikenakannya dibaluti rompi kulit yang sedikit mengkilat. Lengan dan bahunya dilingkari sepasang pelindung seperti besi ringan. Jika diperhatikan rompi yang ia kenakan terukir sebuah gambar seperti kepala serigala. Sebuah lencana dengan simbol juga menempel di dadanya. Semua detail yang dikenakannya sangat mirip dengan film yang pernah aku toton bersama kawanku.

"Sudah puas mengaguminya?" Seperti membaca pikiranku, pria itu semakin membuatku kikuk. "Aku mempunyai 7 setel, jika kau menyukainya aku bisa memakainya setiap hari,"

"Umm, Gerard bagaiamana dengan lukamu?" Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Perasaanku tidak enak. Apa ia akan mengajakku kembali? Tidak, batinku kembali menolak.

"Bisa kau bantu aku menjahitnya? Lukanya cukup dalam, aku ingin kau merawatku," ucap Gerard memecah lamunanku.

"Ta..tapi Gerard, aku tidak...," Belum sempat aku selesai bicara, ia melemparkan sebuah benang dan jarum jahit padaku.

"Masukan saja benangnya, lalu jahit perutku," perintahnya padaku sedikit memaksa "Kau bisa, tepati saja janjimu"

Dengan perasaan ragu, aku menyetujui keinginannya. Lagi pula aku sudah berjanji ingin merawatnya.

"Sebaiknya kau baringkan tubuhmu diatas kasur, sementara aku akan menyiapkan perlegkapan lainnya. Ini tidak akan lama" tawarku sopan padanya, yang langsung dijawab anggukan mantap olehnya.

"Umm.. Gerard, bisa kau ceritakan sesuatu padaku," pintaku padanya, sebari merapikan alat-alat yang akan aku gunakan untuk mengobati lukanya.

Perban, plester, gunting, cairan pembersih luka juga salep. Aku menyusunnya dengan rapi di atas kasur.

Perlahan aku mulai memasukan benang pada jarum. Aku agak kesulitan memasukannya. Lubangnya terlalu kecil, membuatku harus kembali menjilat benang yang ku pegang, supaya memudahkanku memasukannya dalam lubang jarum.

"Fokus Cora," katanya sedikit mengejek. Ia berusaha menyembunyikan tawanya. Matanya menyipit saat ia tahu aku memergokinya.

"Haruskah aku mendongeng untukmu Cora, dongeng apa yang ingin kau dengar dariku?" Pria itu mulai menawarkan diri.

"Semua hal yang terjadi padaku juga dirimu," pintaku padanya.

Aku mulai dengan membuka rompi yang dikenakannya. Bajunya dipenuhi bercak darah, terpaksa aku harus merobeknya. Jika tidak, aku kesulitan menjahit lukanya.

Aku tidak yakin Gerard membawa baju ganti.
Uggh, sangat buruk. Aku terkejut melihat luka di perutmya. Roti sobek di badan kekarnya tidak lagi menarik. Lukanya terus melebar, aku tidak yakin bisa menjahitnya.

RueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang