Matanya berhasil merekam ketegangan di mulut lelaki tua itu. Kecemasan nyaris tidak bisa disembunyikan darinya. Gerard dapat merasakan sesuatu yang lain pada lelaki tua dihadapanya, hampir mendekati ketakutan. Gerard bahkan tidak bisa merangkum semua hal yang ada pada dirinya. Terlalu banyak yang ia khawatirkan akhir-akhir ini.
Terakhir kali, ia melihatnya sedang membakar beberapa lembar surat. Ia tampak terkejut saat Gerard memergokinya. Niat baik ingin menghampirinya, Gerard hanya bisa melihat punggung yang berlalu pergi, juga tangan yang mengepal kekesalan. Tanpa kata, tapi tersirat makna.
Terlalu banyak orang yang harus dicurigai. Seperti pesan ibunya "Tutup mulutmu jika ingin tetap hidup, dengan begitu hidup akan lebih aman,"
"Apa Dark Rider membuatmu takut Tuanku?"
"Tidak ada yang lebih menakutkan dari melewati orang-orang mati dalam rimba," suara seraknya hampir meruntuhkan ambisinya.
"Sejauh apa kau percaya Dark Rider itu nyata?" Tanyanya penasaran.
Blackton berhasil membuat mimpi buruknya jadi nyata. Ia khawatir tidak bisa melewati kegelapan panjang yang penuh teror sendirian, pikir Gerard.
"Percaya atau tidak, nyatanya perang sedang dimulai. Dan kau Gerard, monster-monster itu sudah melihatmu"
Kuda yang sangat cepat, juga penunggang yang handal. Belati yang tajam dan beracun. Memorinya kembali memutar tayangan yang hampir membuatnya kehilangan nyawa.
Mereka berhasil memberinya hadiah, pikirnya teringat luka di perutnya.Mereka semua membawa pecut yang menyala bagai petir. Sulit dipercaya, entah berapa lama mayat-mayat berjalan itu terlatih, sulit untuk dikalahkan. Entah berapa banyak mereka. Ratusan, ribuan, jutaan, mungkin miliaran lebih.
Juga Darrell, tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa Tuannya terus mendesaknya untuk segera menemukannya.
Darrell Wendal, seorang anak yatim piatu yang berhasil tumbuh dewasa dikalangan kaum bangsawan. Ia di besarkan oleh Tuan Edgar juga Istrinya, mereka merawatnya dengan pemuh kasih sayang, seperti anak kandungnya. Liam dan Lidya sangat menjaga kehormatannya, mengingat Darrell lebih dewasa dari mereka.
"Aku tidak yakin seorang Balderic masih bisa mengibarkan bendera miliknya," baru kali ini Gerard mendengar keraguan dari ucapannya. "Debu-debu kehancuran sedang mencekikku saat ini,"
Puluhan tahun memang bukan waktu yang singkat baginya untuk bisa membangun singgasananya. Tentu saja, benteng-benteng yang menjulang tinggi hampir menembus awan bagai saksi bisu peradaban mewah Everlast. Puluhan bendera terpajang di tiap sudut juga kastil, menancapkan tiang-tiang bak pelindung. Berkibar layaknya burung phoenix yang terbang menembus cakrawala, sulit untuk digapai.
Burung Phoenix menyala bagai api, lambang sebuah klan yang paling disegani. Rumah bagi para Barderic, disinilah mereka.
"Terbangkan keberanianmu, tancapkan ambisimu," seperti itulah semboyan keluarga Balderic.
Sayang, seorang Darrell Wendal berhasil membuatnya cemas. 5 tahun tanpa kabar hampir membuatnya putus asa. Seperti induk yang kehilangan anaknya.
Belum lagi, ia harus kehilangan istrinya, Lady Agatha. Tepat 4 bulan yang lalu, Tuan Edgar menemukannya tergeletak tak bernyawa di depan meja riasnya. Agatha adalah sosok Ibu yang sangat lembut juga istri yang penurut.
Penghianatan, pikirnya cemas
Keriput di wajah Tuan Edgar bagai isyarat baginya untuk tidak gegabah mengambil keputusan, ia hanya bisa membenamkan harapannya pada ketakutan. Everlast akan lebih menakutkan di kegelapan yang panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rue
Historical FictionKetika aku terbangun, yang kudapati tubuhku tidak lagi diam di tempat yang sama. Aku tidak yakin aku berjalan sejauh ratusan mill dengan mata tertutup. Sleep walking? Tidak mungkin. Aku sedang menjelajahi waktu. Mesin waktu yang ku tumpanggi menepi...