TUJUH

114 1 0
                                    

Angin lembah dari timur berhasil menyibak rambut tembaganya, selembut jemari Ibunya dan seharum Rosemary. Burung-burung berkicau mengikuti langkah kakinya bagai irama yang saling menyatu. Fajar yang ditunggunya kini membawanya pada rona merah yang siap memuntahkan cahayanya. Seperti meneguk kehangatan, ia berhasil melompati kegelapan. Hangatnya mentari berusaha memeluk jubah hitamnya. Wajahnya kini tak lagi muram tergantikan tawa, berharap ia tidak mengusik singa yang masih meringkuk.

Pelarianya semalam berhasil membawanya masuk ke dalam hutan. Kegelapan tidak lagi mengejarnya, jemari Gerard sudah tidak bisa lagi menghitungnya, entah berapa banyak mahluk yang ia temui semalaman. Para bedebah berkuda itu terus saja mengejarnya, entah apa yang mereka inginkan darinya.

"Dark rider," seperti itu kami menyebutnya. Saat matahari tenggelam, mereka bersiap merenggut kebahagiaan, orang-orang seketika lenyap saat mencoba melawan. Panah bahkan pedangpun belum berhasil membuat Dark rider lengah. Semuanya selalu menjadi misteri, kami masih mencari senjata untuk membunuhnya.

Kini langkah Gerard mulai lunglai, ia berjalan cukup jauh. Kantung air yang dibawanya juga hampir habis. Sial, sepertinya bukan air mineral yang ia minum. Anggur yang lolos ke tenggorokannya berhasil membuatnya mengantuk perlahan. Lega rasanya bisa meregangkan tubuh sejenak. Beristirahat beberapa jam mungkin cara terbaik mengumpulkan tenaganya yang mulai terkuras. Sebuah pohon berhasil membuatnya tertidur.

Semenjak perseteruan dengan sepupunya, Gerard memilih anggur untuk meluapkan kekesalannya. Memang benar anggur yang dipilihnya bukanlah anggur kualitas terbaik, setidaknya bisa jadi solusi untuk tidak menghabisi Sean dengan emosi. Sean terus saja memperdebatkan gelar yang berhasil Gerard dapatkan dari Tuan Edgar. Tuan Ed menobatkan dirinya sebagai ksatria dari utara, setelah berbagai tes dan kesetiaanya menjaga Tuan Ed dalam berbagai pertempuran yang berhasil dilaluinya. Akhirnya sebuah pangkat membuatnya merasa dihormati.

Sean merasa, seharusnya ia yang berhak mendapatkanya. Ternyata puluhan cara merebut hati Tuan Ed, tidak membuat Sean mendapatkan keinginannya.

"Demi tujuh neraka, aku akan menghabisimu sampai Tuhan tidak mengenali wajahmu," seperti itulah terakhir Sean mengancamnya dengan dihadiahi pukulan yang berhasil mematahkan hidung Gerard.

Gerard selalu tersenyum mengingat kalimat itu. Masih satu saudara saja Sean sudah berani memusuhinya. Sean hanya takut tersaingi, membuatnya gelap mata. Kadang musuh terbesar adalah keluargamu sendiri.

***

Seekor anjing berhasil menuntunya keluar dari hutan. Gerard bersyukur, ia bisa kembali sebelum petang. Meskipun beberapa jilatan berhasil membasahi wajahnya. Shagi anak anjing peliharaannya begitu menghawatirkan majikannya.

"Kau menemukanku Shagi, anak pintar," tanganya dengan lembut mengelus-elus pucak kepala Shagi, kemudian menciumnya.

Uk...uk.. uk Shagi merasa nyaman, akhirnya Gerard kembali bersamanya. Anjing itu terus saja menggisik-gisikan  kepalanya pada Gerard.

"Ayo, masuk Shagi, kau mau mendengarkan ceritaku? Ada banyak hal yang aku temui di hutan" ajaknya, ia mulai membuka pintu rumahnya.

Rumah yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil untuknya. Sebuah pagar dari bambu berhasil membenteng halaman rumahnya. Semenjak ibunya tinggal di Everlast, Gerard merasa kesepian. Nasib baik baginya, sesekali ia bisa menemui Ibunya, Tuan Ed selalu membuka gerbang jika Gerard ingin menemuinya.

Sementara Ayahnya, ia belum kembali sejak pertempurannya di selatan. Selama ia belum menemukan jasadnya, Gerard berharap ayahnya masih hidup.

Kalkun panggang tidak membuatnya beranjak dari kursi. Gerard terus saja memikirkan Gadis polos yang berhasil ia seret masuk keduninya. Gerard tahu resiko yang harus dihadapi jika ia bermain-main dengan seekor rubah. Benar, Gerard mempertaruhkan nyawanya. Tidak lain, ia hanya ingin melindunginya. Sebelum orang-orang licik itu mencuci otak Cora, seharusnya Gerard bisa menuntunnya sampai Cora memahami tentang dirinya.

"Aku menemukannya di balik telinga kanannya," sebari menyeruput minumannya Gerard mulai bercerita pada Shagi anak anjing kesayangannya . "Tanda berbentuk petir yang masih samar, mungkin Cora belum menyadarinya,"

Malam ini Gerard masih terjaga, ia kembali menyalakan lilin yang tiba-tiba padam. Malam yang dingin, bahkan Shagi enggan terbangun. Anak anjingnya meringkuk dibalik selimutnya sedari tadi.

Apa yang harus ia lakukan? mimpinya tadi siang lagi-lagi menambah daftar tugasnya. Belum lagi tugas-tugas Tuan Ed yang membebani pikirannya. Gerard hanya bisa menghela napas, asap putih mengepul di mulutnya, sangat dingin. Mulutnya hampir membeku.

Sebaikya ia bergabung dengan Shagi, besok Gerard harus ke Everlast melapor pada Tuan Edgar. Gerard menambahkan kayu pada tungkunya, setidaknya bisa menghangatkan tubuhnya untuk malam ini.

***

Para petarung sudah siap dengan pedang juga tamengnya. Hari ini adalah pertandingan yang paling ditunggu di Everlast. Orang-orang bebaju besi bersiap dipinggir lapangan. Hari yang cerah untuk sebuah kemenangan.

"Menurut kabar, jika salah satu petarung menang. Tuan Ed bersedia mensejahterakan keluarganya. Puluhan batang emas, bahkan Tuan Ed sudah menyiapkannya," bisik-bisik seorang wanita terdengar diatas tribun.

Gerard hanya bisa tersenyum. Andai saja luka diperutnya membaik, ia ingin mengikuti pertandingannya, berharap mendapatkan hadadiahnya.

"Pengecut," katanya menyerigai. Gerard sudah hapal siapa suara itu. Sean, ia terus saja memojokkannya.

Seperti biasa Gerard selalu terlihat tenang, perkataan Sean sama sekali tidak membuatnya bangkit dari kursi tribun.
Rasa kesalnya terobati saat seorang gadis lewat didepannya. Ia tersenyum padanya, rona di wajahnya berhasil meluluhkan hatinya. Lidya, putri ke 2 dari Tuan Edgar.

Gerard diam-diam mengintip Lidya dibalik bulu matanya. Pria mana yang tidak mengagumi keelokkan gadis seperti Lidya. Semua pria pasti berbondong-bondong merebut hatinya. Seperti Sean yang selalu mencuri-curi pandang pada Lidya.

Gaun coklat yang dikenakannya memberi kesan glamor pada diriya. Rambutnya yang panjang, berhasil ia kepang dengan hiasan kupu-kupu di kepalanya. Sangat manis.
Dewa batin Gerard tidak kuat untuk segera membalas senyumannya.

Teet, seseorang diatas panggung meniup terompet. Pertanda pertandingan dimulai.
2 petarung bersiap di kedua sudut.
Daniel bersiap, seru seorang wasit memulai pertandingan. Dylan bersiap..

Pertandingan berlangsung begitu panas. Suara dentingan pedang yang beradu membentuk sebuah nada. Satu persatu lawan tumbang,
Dylan kembali mengacungkan senjatanya, pertandingan pertama dimenangkan oleh Dylan.

Wasit kembali memanggil para peserta. Sampai menemukan pemenang selanjutnya.
Suara terompet kembali terdengar, kini terompet ditiup dua kali. Pertandingan berakhir dengan seorang pemenang.

"Sean Reed," akhirnya juri mengumumkan pemenangnya. Hari ini Sean menjadi juaranya, sorak sorai penonton berhasil membuat Sean besar kepala.

"Malam ini kita berpesta," teriaknya, disambut antusias penonton.

Kedua tangan Sean diangkatnya, tangan kanannya masih memegang pedang kebanggaannya, sedangkan tangan kirinya masih memegang tameng. pertanda ia berhasil membabat habis lawannya. Kami para penonton bertepuk tangan mengeluh-eluhkan namanya.

"Sean... Sean... Sean,"

"Sean hebat," kata Lidya yang duduk tidak jauh disamping Gerard. "Tapi Gerard lebih segalanya dari Sean," seperti sebuah harapan, perkataan Lidya berhasil membuat Gerard kikuk.

Pertandingan selesai, para penonton berhamburan meninggalkan tribun. Hanya tersisa Gerard dan Tuan Ed. Sementara Lidya berlalu pergi diantar para pengawalnya.

Tuan Ed mengajaknya ke teras belakang rumahnya. Seperti biasa Gerard harus melapor pada Tuan Ed.

Segelas minuman berwarna merah mengawali perbincangan kami. Sangat lezat, Tuan Ed selalu punya minuman yang terbaik.

"Apa yang kau temukan di Blackton kemarin," tanyanya membuka obrolan.

"Hanya mayat hidup yang berkendara semalaman," balas Gerard apa adanya.

"Hanya itu yang ingin aku tanyakan padamu. Aku berharap kau mendapatkan petunjuk lain," pungkasnya

RueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang