Surprise?!

30K 919 56
                                    

Meskipun sudah terbangun dari tidur, mataku masih terpejam. Aku menghitung dalam hati, 1…2…3… Mimpi. Aku berharap kalau peristiwa yang terjadi belakangan ini hanya mimpi saja. Mmm, mungkin lebih ku spesifikkan, peristiwa dalam 24 jam terakhir ini. Aku membuka mata dan, aaah…kecewa. Ada sebentuk makhluk hidup yang terlelap di sebelahku dan itu menegaskan kalau hal yang belakangan terjadi bukanlah mimpi.

Aku berdecak kesal. Kesal pada wanita-wanita di sekitarku yang kelewat aktif dan imajinatif. Yang pertama dan utama tentu saja Oma. Dimana lagi bisa kutemukan nenek tua yang kreatifitasnya bisa semenakjubkan Omaku ini? Mengatur sebuah acara pernikahan hanya dalam hitungan jam? Astaga sekali kekuasaannya, juga kegilaannya tentu saja. Aku semakin yakin kalau dulu dia termakan kisah Cinderella dan terobsesi untuk menjadi ibu peri. Dia ibu perinya, dan…makhluk yang tidur di sampingku ini Cinderella. Ah, jangan Cinderella ah, terlalu keren. Upik Abu saja, toh sama saja kan.

“Apa kebaya sedang populer sekali sampai-sampai bisa di gunakan di segala situasi?” aku bergumam frustasi. Kemarin aku ternganga melihat Oma yang dengan santainya memancing di kolam renang outdoor dengan kebaya modernnya dan sanggul a la putri keraton, dan sekarang… makhluk dengan kadar kewarasan yang juga mengkhawatirkan ini sedang tidur nyenyak dalam balutan kebaya berwarna broken white. Kebaya rancangan Anne Avantie pula! Aku kasihan pada kebaya ini. Malang sekali nasibnya sampai-sampai hanya menjadi baju tidur seorang seperti Mello. Kalau kebaya itu bisa bicara mungkin dia sudah menjerit-jerit tidak rela.

“Woy, bangun,” aku mendorong bahu Mello. Dia nyaman sekali tidur bergelung dan menempel-nempel begitu padaku. Aku yang tidak nyaman. Tangan kirinya dengan seenak perut melingkar di pinggangku dan kepalanya tertumpu di bahuku. Pantas saja kebas. Awas dia, ku tebas lehernya kalau sampai tanganku mati rasa karena darahnya tidak mengalir dengan lancar.

“Mello…woy…bangun woy…” kudorong-dorong keningnya menjauh.

“Mmmhhhh,” dia menggeliat dan kugunakan kesempatan ini untuk menyelamatkan tubuhku dari jamahannya. Ah, sial! Dia malah semakin mengeratkan pelukannya di pinggangku.

“Woyyy!” aku menepuk keningnya dengan tanganku, “Kalau kau masih menempel padaku, tapak sandalku yang mampir di kepalamu!”

Matanya terlihat mengerjap dan membuka perlahan. Sedetik…dua detik…tiga detik… matanya mulai fokus dan…

“Aaa…mmmmmpphhhh…” teriakannya teredam.

Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, jadi sebelum dia berteriak keras, aku lebih dulu membekap mukanya dengan bantal.

“Ammmmmmpphhh…mmmpphhhh….mmmpphhh….” Mello meronta-ronta dengan suara teredam bantal tebal yang ku bekapkan ke wajahnya. tangannya menggapai-gapai dan kakinya menendang-nendang hingga selimutnya bergeser turun. Aku bisa melihat pahanya yang tidak tertutup. Di bawah kebayanya, dia hanya mengenakan rok tipis yang hanya menutupi, em, tidak sampai separuh dari pahanya kurasa. Halah, ini pasti jadi masalah lagi nanti. Sepertinya aku perlu menyiapkan obat bius sekalian supaya dia tidak teriak-teriak.

“Terus aja terussss…semakin lama kau berisik, semakin lama juga bantal ini menyumpalmu. Kau sudah pesan tempat pemakaman?”

“Mmmmphhh…mmmppphhh,” dia masih saja meronta dan menjerit meski teredam sempurna oleh bantal yang makin kutekankan ke mukanya. Aku mengartikan ‘mmmpph’-nya itu sebagai ‘belum’.

“Ya sudah kalau begitu, biar aku yang pesankan nanti,” aku berujar acuh tak acuh. Perlahan, gerakannya mulai berhenti dan berangsur tenang.

“Sudah bisa aku lepas?” aku bertanya.

“Mmmpphhh mmmphh…” dia menyahut. Apapun yang dia katakan dengan ‘mmmphh’ itu, aku menganggapnya sebagai ‘iya’.

Mukanya sudah merah saat aku mengangkat bantal dari mukanya. Nafasnya ngos-ngosan. Aku menyeringai sinis.

Caramello Kiss-OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang