Why so serious? Karena ini aku. Dan aku bukan penganut prinsip ‘take it easy’ apalagi ‘why so serious’.
Fabio
Aku menutup beberapa tab sekaligus pada pada layar tablet di tanganku dengan senyum puas. Beritanya sudah beredar luas di kalangan wartawan. Tadi aku juga sempat melihat di tayangan infotainment foto-foto saat Alvaro menggendong Mello ke mobil. Beberapa petikan foto saja cukup untuk membungkam gossip miring tentang issue gay itu. Terima kasih banyak untuk popularitas dan imej cowok baik-baik yang sudah di bangun Alvaro. Terima kasih juga untuk Mello, tentunya.
Ngomong-ngomong soal Mello, kenapa cepat sekali dia mengemasi barang-barangnya di kost? Aku bisa melihat Mello tersaruk-saruk menyeret sebuah tas besar dan sebuah kardus mie instant. Sepertinya aku harus cepat membantunya sebelum dia jat…
Brukk.
Terlambat. Aku menepuk keningku frustasi. Entah untuk keberapa kalinya dalam minggu ini dia tersungkur. Ah, Mello. Apa tubuhnya itu tidak di anugrahi system koordinasi yang baik? Setelah meletakkan tablet ke atas jok mobil, aku bergegas menghampiri gadis yang sedang mengelus-elus lutut dan sikunya itu. Beberapa pakaiannya berserakan keluar dari tas yang terbuka saat dia jatuh tadi.
“Coba kulihat lututnya,” aku berjongkok di samping Mello yang sedang duduk di tanah. Iya, dia duduk begitu saja di atas tanah seakan tempat yang ia duduki itu di lapisi karpet Kashmir yang lembut. Apa dia tidak berpikir kalau posisi duduknya ini membahayakan? Aku bisa melihat beberapa onggokan kotoran ayam di beberapa permukaan tempat ini. Semoga saja saat ini Mello tidak duduk di atas salah satunya.
“Enggak luka kok, Bi. Cuma gores dikit doang ini,” ringisnya seraya menepuk-nepuk lutut, “Gara-gara gundukan polisi tidur ini ni. Aduh…berantakan ni baju-bajuku,” tangannya cepat-cepat mengemasi beberapa helai pakaian yang terserak keluar dari tasnya.
“Gundukannya baru ya sampai-sampai bisa tersandung begitu?” aku ikut membantu memasukkan pakaiannya kembali ke dalam tas.
“Sudah cukup lama juga. Aku pernah beberapa kali tersandung disitu kok Bi,”
Gerakanku terhenti. Sudah lama? Sudah beberapa kali jatuh di tempat yang sama? Dan sekarang jatuh lagi? Aku harap maklum saja kalau seandainya itu gundukan baru, bisa saja Mello tidak tau jadi dia tersandung, tapi ini… Astagaaa. Untung saja bukan Alvaro yang menemaninya sekarang. Kalau Roo ada disini, bisa kupastikan anak itu akan menertawai Mello habis-habisan. Peristiwa Mello terjengkang di Beauty Center milik Hessel saja sudah cukup untuk membuat Roo mengulang-ulang tertawa setiap kali melihat Mello. Belum lagi Mello yang terjatuh dari mobil saat hendak turun. Lalu juga ujung gaunnya yang terselip di pintu mobil hingga dia menjerit-jerit histeris. Hhhaaah, baru beberapa hari saja sudah sebanyak ini kecerobohan yang dia lakukan. Aku jadi was-was, takut dia membahayakan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, Mello tanggung jawabku sekarang.
“Mello…aku memang sudah berjanji akan menjagamu, tapi kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Jangan membuatku khawatir ya,” aku menepuk pelan puncak kepalanya dan sedikit mengacak rambut Mello.
“Duh Gusti, jantungku,” aku mendengar desis tertahan dari gadis yang tingginya sedikit melewati bahuku. Dia tertunduk dalam dengan sebelah tangan memegang dada. Untuk beberapa saat aku cemas memikirkan kemungkinan dia memiliki penyakit jantung atau semacamnya. Tapi melihat semburat merah yang menjalari pipi Mello, aku menarik kesimpulan lagi. Dia pemalu dan polos. Dia tertarik padaku?
Aku tersenyum kecil lalu meraih tangannya, membuka pintu mobil dan menyuruhnya masuk sementara aku juga bergerak masuk ke kursi kemudi.
Beberapa menit dalam perjalanan, Mello hanya diam tanpa suara. Aku bisa merasakan ia berkali-kali melirikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramello Kiss-O
RomanceNamanya Mello, panggil saja begitu. Dia cinta mati pada minuman Caramel Macchiato dan uang. Bagaimana kalau ada orang yang menawarkan uang yang banyak dan voucher minum Caramel Macchiato untuk seumur hidup? Syaratnya hanya perlu menjadi istri pura-p...