Aku memelototi layar televisi yang menayangkan salah satu adegan di salah satu film Alvaro yang merupakan salah satu film favoritku juga. Adegan ciuman Alvaro sama lawan mainnya. Aduh. Kok aku yang deg-degan ya. Padahal pas Alvaro yang nyium aku, aku malah gak berdebar sama sekali. Kaget iya. Apaan main paksa begitu. Nggak romantis secuilpun.
“Apa kau tidak bosan melihat wajahku di TV begitu?”
Aku mengangkat wajahku dengan malas dan mendapati Alvaro sudah pulang dan sedang menyeringai sinis padaku. Tumben cepet pulangnya. Masih sore ini. Alamat tidak tenang hidupku kalau dia sudah menyeringai kayak setan begitu.
“Aku lagi sibuk, Roo. Cari kegiatan lain sana. Jangan ganggu aku,” kataku sembari kembali memperhatikan layar TV. Mmmh, masih ada satu adegan ciuman lagi kalau nggak salah di film ini. Aku memang cuma mau lihat adegan ciumannya doang. Buat perbandingan gitu. Percepat ah. Remote mana remote…
Belum sempat tanganku menyentuh remote, Roo sudah menjamah benda tidak berdosa itu dan membuat gambar di TV menghilang.
“Eeeeiiy…aku lagi nonton ini! Kenapa dimatikaaaan…,” protesku tidak terima. Ergh! Dasar kutu!
“Kau itu kenapa sih? Ini kan film lama. Hey,kau cuma melihat kissing scene-nya ya?” tanyanya. Dia mendaratkan bokongnya di tempat tidur dan mengelus kucing pemalasnya itu.
“Kok tau?” aku balik bertanya. Mencoba menggapai remote TV yang sekarang tergeletak di dekat kakinya.
“Memangnya apalagi yang bisa otak mesummu itu pikirkan. Kau membayangkan aku menciummu lagi? Bukannya kemarin sudah? Belum cukup?”
Aku tuli…aku tuli…aku tuli… Duh Gustiiiii, ni orang mulutnya beneran bikin aku pengeeeeen banget jadi pembunuh. Bisa kali ya dia di iris-iris dulu sebelum dibikin mati.
“Mello…kau belum pernah ciuman ya sebelumnya?” lagi-lagi dia bertanya. Aku tidak menoleh sedikitpun. Alih-alih menjawab, aku lebih memilih menghidupkan kembali TV dengan remote di tanganku.
“Yah, kalau dipikir-pikir pasti tidak ada ya yang mau menciummu. Kau harus berterima kasih padaku, Mello. Aku berbaik hati memberikan pengalaman ciuman padamu,”
Makin banyak kalimat yang keluar dari mulutnya, makin keras juga usahaku untuk menahan diri dan tidak mengambil parang untuk menebas lehernya.
“Aku pernah punya pacar, Roo. Pernah ciuman juga,” kataku singkat. Memangnya dia pikir aku tidak laku gitu? Kejam ah.
“Oh ya? Berapa puluh tahun yang lalu? Orang tolol mana yang jadi pacarmu?”
Demi rujak paling asem yang pernah mampir ke mulutku. Kata-kata Alvaro ini jauh lebih asem. Orang tolol dia bilang? Argh! Minat nontonku langsung menguap.
“Pas SMA. Aku pacaran sama wakil ketua OSIS,” sahutku singkat. Aku berdiri dan mengambil diktat kuliah di atas meja samping tempat. Mencoba mengalihkan konsentrasiku. Kali aja kata-kata Alvaro nanti bisa bikin aku pengen mati gitu.
“Wakil ketua OSIS ya. Lumayan,” aku mendengarnya bergumam, “ Lalu kenapa dia meninggalkanmu? Dia sadar kalau dia sudah khilaf memacarimu?” sambungnya sambil menatapku setengah hati.
Aku menghela nafas dalam-dalam, “Karena aku cuma jadi bahan taruhan antara dia dan teman-temannya. Puas? Mau ngatain aku lagi?” kataku sebal.
Dia menggeleng, “Kasihan. Kisah cintamu pun semenyedihkan ini. Hidupmu pasti berat,” dia berujar.
“Iya. Memang. Makanya, jangan menggangguku terus. Kamu bikin hidupku main suram tau,” aku menyahut dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Besok ada quiz, mendingan aku belajar dulu deh. Nggak lucu kalau nanti lembar jawabanku isinya umpatan untuk Alvaro. Aku juga ogah kalau dapat nilai jelek. Siluman ini pasti berbahagia menghinaku seenak udelnya. Udel? Puser dong yah. Duh! Jangan sampai dia pamer badan lagi. Aku meliriknya yang sekarang ngeloyor ke kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramello Kiss-O
RomanceNamanya Mello, panggil saja begitu. Dia cinta mati pada minuman Caramel Macchiato dan uang. Bagaimana kalau ada orang yang menawarkan uang yang banyak dan voucher minum Caramel Macchiato untuk seumur hidup? Syaratnya hanya perlu menjadi istri pura-p...