Lustly Love, Lovely Lust

33.5K 860 131
                                    

Aku duduk tenang di sofaku dan sesekali meringis nyeri saat dokter memeriksa kakiku. Lecetnya tidak seberapa, tapi bengkak dan memarnya cukup untuk membuatku terpincang-pincang berjalan.

"Akhh!" aku berseru sedikit keras saat sentuhan tangan dokter muda ini menyentuh titik memar di pergelangan kakiku. Untuk orang yang punya basic bela diri dan terbiasa dengan memar-benjol-bonyok saat latihan, seperti aku, rasa sakit ini sudah di luar batas yang bisa kutahan. Nyeri minta ampun!

"Sebenarnya kau ini mau mengobatinya atau mau balas dendam, Dys?" celetuk Alvaro. Aku dan dokter yang di panggil 'Dys' oleh Alvaro tadi mengarahkan pandangan pada Alvaro yang sejak tadi tidak bersuara, sibuk dengan laptop yang terbuka di depannya. Sekarang pun masih sama. Matanya masih terpaku pada layar laptop.

"Maksudmu?" ku dengar Gladys, dokter yang juga teman SMA dan kuliahku, bertanya dengan mata menyipit pada Alvaro.

Alvaro mengangkat wajahnya, tersenyum ramah, "Tidak ada maksud apa-apa," sahut Alvaro. Kurasa dia ingat kalau sekarang dia harus bertingkah baik seperti imej-nya sebagai public figure.

"Lalu kenapa kau bicara seperti tadi?" Gladys masih tidak terima pernyataan Alvaro barusan.

"Tidak ada. Aku hanya terbawa naskah yang kubaca. Kau marah? Maaf...aku tidak tau kalau kau bisa tersinggung karena kalimat barusan...," wajah menyesal Alvaro sungguh meyakinkan hingga wajah Gladys yang sempat menegang menjadi tenang kembali. Aku menggeleng samar, menyadari kalau dia hanya berpura-pura menyesal. Ekspresi pura-puranya cukup bisa terlihat dimataku.

"Ada peregangan pada ligamen dan juga ada fraktur di tulang, makanya nyeri," Gladys berujar sambil tangannya melilit pergelangan kakiku menggunakan perban elastis dengan hati-hati.

"Thanks," aku berucap pelan setelah perban itu melilit semprna dan rapi di kakiku. Gladys tersenyum.

"Anytime," sahutnya ringan, "Kurasa kau juga perlu antibiotic supaya tidak infeksi, lecetnya...." katanya lagi. Aku menggeleng. Kuarasa makin lama system imunku semakin menurun. Mudah sekali sakit. Bukannya beberapa waktu lalu aku juga sempat deman? Sekarang aku sudah mulai tidak enak badan lagi. Ah.

"Tidak perlu, Dys... Cuma luka kecil," tolakku halus. Gladys mengangguk-angguk mengiyakan. Dia merapikan beberapa peralatannya yang berserakan dia dekatku lalu berdiri.

"Aku pergi ya, ada shift di rumah sakit," pamitnya, "Bye Al, Bi...,"

"Biar kuantar," Alvaro berdiri mengiringi Gladys keluar dari apartement-ku. Dia sedang jadi anak manis. Tidak sampai beberapa menit, dia sudah kembali dengan seringaian di wajahnya. Matanya menyipit seperti sedang menginterogasiku.

"Dia lumayan," cetusnya. Aku mengangkat alisku menanggapi, tidak terlalu tertarik dengan bahasan ini. Selain karena kakiku masih berdenyut ngilu, juga karena aku memang tidak tertarik untuk tertarik pada hal yang ingin di bicarakan Alvaro. Bukan hal yang bisa menarik minatku.

"Tapi aku tau kau tidak tertarik sedikitpun padanya," ujar Alvaro lagi.

"Hmm, itu kau tau. Tutup mulutmu kalau begitu," kataku dengan nada datar dan senyum tipis kusunggingkan. Kudengar Alvaro mendengus. Ia kembali duduk ke sofa dan menutup layar laptopnya.

"Kau terus-terusan berkata 'jangan jatuh cinta padaku dan semacamnya' itu pada Mello. Padahal kau sendiri sudah jatuh cinta padanya kan? Kau termakan ucapanmu sendiri," Alvaro berujar. Dia lagi-lagi menunjukkan seringai sinis yang di depan publik atau media sama sekali tidak terlihat.

"Begitukah?" aku menyahuti. Mencoba untuk tidak terlalu larut pada kemungkinan yang makin lama justru terasa makin pasti. Begini saja sudah cukup membuatku limbung.

Caramello Kiss-OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang