Aku melirik Alvaro yang duduk di hadapanku dengan pandangan was-was. Garpu, cek. Pisau, cek. Tusuk gigi, cek. Piring keramik, cek. Oke. Peralatan untuk melindungi diriku dari serangan tiba-tiba sudah lengkap. Semua benda-benda ini cukup mampu memberikan cedera ringan sementara untuk calon penyerangku. Antisipasi pertama mungkin aku bisa menyemprotkan sebotol saus sambal ke matanya kalau dia macam-macam. Hoahhmmm... Ugh. Jangan ngantuk Mello! Jangan lengah. Serangan bisa datang kapan saja.
Grep.
Aku cepat meraih botol saus saat tangan Alvaro bergerak.
Ugh. Oke. Dia cuma mengambil potongan timun di piring. Aku yang kelewat khawatir memang. Wajarlah. Kondisi siaga satu ini. Kalau tiba-tiba dia nyosor lagi kayak kemaren gimana? Uuughh. Nggak. Nggak. Nggak. Aku nggak mauuuu. Pokoknya enggak. Ini cuma nikah kontrak. Aku nggak mau ada kontak fisik lebih. Aku maunya jadi janda kembang. Terserah deh kembang apa. Kembang sepatu juga boleh. Pokoknya kembang! Dan lagi... Alvaro kan...dia itu...Dia gay. Engg...dia itu gay beneran bukan sih?
Aku mengamati mukanya lekat-lekat. Emmh, manly. Cowok banget. Alisnya bagus, matanya tajam, hidungnya pas, kulitnya nggak putih-putih amat, tapi bersih. Ya iyalah artis. Kalau nggak ganteng ya nggak laku. Ah, tapi dia mah enak. Tinggal ngelanjutin usaha keluarga aja duitnya udah ngalir kayak keran bocor ke kantong. Nggak perlu banting tulang kayak aku.
"Sshhh,"
Dia meringis waktu menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Disudut bibirnya ada bekas luka yang tertutup plester kecil. Hah! Sukurin kamu! Itu kalau macam-macam sama Mello.
"Berhentilah memandangiku begitu, kau kelihatan seperti wanita mesum,"
Aku tersentak kaget. Iiisshh... dia ini... aku melengos dan kembali menikmati nasi goreng di piringku.
"Kau tidak bisa memasak makanan lain ya? Kenapa setiap pagi selalu nasi goreng? Lidahku bosan. Rasanya ingin muntah,"
Apa dia bilang? Bosan? Muntah? Ya ampuunnn...Itu piring kenapa jadi licin begitu kalau bosan? Aku mencibir. Masih untung aku rela masak subuh-subuh begini buat dia. Lagian kalau nggak suka kenapa nggak pesen di luar? Restoran banyak. Lagian kan dia baru pulang syuting subuh tadi, masa tidak mampir buat beli makanan sih. Dasar. Ngerepotin. Banget.
"Kalau bosen kenapa di habisin," gerutuku sambil menunduk. Malas lama-lama ngeliat mukanya. Nyebelin.
"Karena kau yang buat," dia menyahut singkat.
Ya iyalah aku yang buat. Siapa lagi emang? Kucing songong itu? Meh!
"Nanti siang kau ikut aku ke lokasi ya. Tidak ada kuliah kan?"
Ke lokasi? Ada Fabio dong?
"Mau!" aku mengangguk cepat, tepat, dan semangat. Uyeee!
"Jangan tersenyum selebar itu, mukamu bisa terbelah dua," dia berkata dengan nada menyebalkan seperti biasa, "Cih, tidak jadi. Kau tidak usah ikut. Tunggu di rumah saja," sambungan kalimtanya ini membuatku menusukkan garpu dalam-dalam ke nugget tidak berdosa di piringku.
"Kok gitu sih? Kamu tu nggak suka banget ya kalau aku bahagia, ha?" aku bersungut tidak rela. Apaan...nawarin terus membatalkan seenaknya. Dia ini tipe-tipe pemberi harapan palsu yang patut di waspadai.
"Bahagianya bukan karena aku, jadi untuk apa aku peduli. Cih," lagi-lagi dia berujar kejam. Tidak peduli? Iyalah. Alvaro ini. Kapan memangnya dia peduli pada orang lain? Probabilitasnya sama kayak Patung Liberty pindah ke Jakarta. Nggak mungkin. Mustahil. Ya kali kalau Patungnya bisa jalan sendiri gitu.
Teeett...teett...
Hm? Bel? Pagi-pagi begini? Aku melirik Alvaro dengan ekor mataku. Dia masih sibuk dengan nasi goreng yang katanya membosankan itu. Dih, boro-boro mau ngeliat siapa yang datang, peduli aja kagak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramello Kiss-O
RomanceNamanya Mello, panggil saja begitu. Dia cinta mati pada minuman Caramel Macchiato dan uang. Bagaimana kalau ada orang yang menawarkan uang yang banyak dan voucher minum Caramel Macchiato untuk seumur hidup? Syaratnya hanya perlu menjadi istri pura-p...