Selamat membaca. Jangan lupa vote dan comment. Jadilah pembaca yang aktif.
.
.
.
Aiden terbangun dari tidurnya yang panjang. Sudah tiga hari, ia terbaring tak sadarkan diri di Rumah Sakit.
“Hei si…siapa ka…u?” tanya Aiden lemah
.
Ia melihat seorang gadis sedang sibuk mempersiapkan sarapan. Gadis itu terkejut, saat Aiden memanggilnya.“Kakak, sudah bangun? Aku panggil Dokter, dulu. Jangan banyak bergerak.”
Dengan sekuat tenaga, Aiden meraih tangan Rhein. Sorot matanya menajam, mengamati dari atas kepala sampai ujung kaki gadis itu. Rhein bergidik ngeri melihat tatapan, laki-laki di hadapannya.
“Aku bertanya padamu. Siapa kau?” tanya Aiden dengan sorot mata yang masih tajam.
“Sa…kit. Tidak bisakah kau bersikap lembut?” ucap Rhein sambil menahan sakit.
Aiden melihat Rhein yang kesakitan. Ia langsung melepas genggamannya. Rhein bisa bernapas lega.
“Yaaaaaaaak.” Aiden melonjak kaget.
“Apa kau tidak bisa bersikap lembut, sedikit?”
“Jangan mentang-mentang kau laki-laki bisa seenak jidatmu menindas perempuan.”
Sepertinya singa yang ada dalam diri Rhein terbangun. Aiden bersusah payah menelan salivanya. Ia menjadi lemah, tak berdaya di depan gadis ini. Rhein terus berbicara tanpa jeda, seperti kereta api yang meluncur dengan cepat.
Aiden gelagapan saat langkah gadis itu mendekatinya. Ada ketakutan yang mulai menyelimutinya. Seorang laki-laki yang dijuluki sebagai Dewa Kematian, mendadak berubah menjadi hello kitty.
“Kenapa? Mendadak bisu, kak?” tanya Rhein sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada.
“Siapa kau? Kenapa dari tadi kau memanggilku kakak? Aku bahkan tidak kenal siapa dirimu.” Balas Aiden ketus.
“Maklum saja, kau tidak mengenaliku, kak. Sudah lama kita tidak berjumpa.” Ucapnya sambil berjalan mendekati Aiden.
Rhein mencari posisi yang nyaman untuk duduk. Aiden sedikit menggeser posisi duduknya, menjauhi Rhein.
“Kau, jangan dekat-dekat denganku.”
“Kau alergi?”
Aiden hanya membalasnya dengan tatapan hambar. Rhein menghela napas panjang, sebelum mengawali kalimatnya.
“Rayden Miguelle Orlando. Aku ta—”
Dengan cepat, Aiden segera membungkam mulut Rhein. Hampir tidak ada jarak di antara. Aiden celingak-celinguk melihat sekeliling ruangan. Ia khawatir jika ada kamera pengawas di sana.
Rhein memberontak dan berhasil lepas.“Apa kau gila? Aku bisa mati jika kau membungkamku seperti itu.”
“Siapa kau? Aku tidak pernah membocorkan identitasku kepada siapapun.” Tanya Aiden tidak menanggapi omelan Rhein.
“Mudah saja. Aku bisa mengenalimu.”
“Kau—”
Ia hampir menggoreskan pisau ke leher Rhein. Tetapi, beruntungnya gadis itu langsung dapat menghindarinya. Ia mencoba menahan amarah Aiden, yang mulai tersulut.
“Eits. Tahan, kak. Biarkan aku berbicara, terlebih dahulu.”
Rhein masih berusaha menunjukkan ketenangan di wajahnya. Padahal, dalam hatinya sudah berdisko-ria. Ia tidak menyangka, kecepatan Aiden sungguh luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAME OVER (END) TAHAP REVISI
Teen FictionDILARANG MENJIPLAK! [18+] [Hal-hal sensitif, seperti adegan kekerasan, pelecehan seksual, dan kata-kata kasar, bertaburan dalam cerita ini. Bagi para pembaca dimohon untuk menanggapinya dengan bijak dan teliti] . . . . Keluarga adalah harta yang pal...