Selamat membaca. Jangan lupa vote dan comment. Jadilah pembaca aktif.
Skip aja kalau gk berani.
Banyak saos merah, soalnya😁.
.
.
Malam yang dipeluk keheningan, tiba-tiba terusik oleh suara-suara yang memekik telinga. Teriakan seorang wanita, menciptakan kegaduhan. Di lantai satu, menjadi sangat ramai.
Rhein setengah terbangun, mendengarnya. Kakinya meluncur bebas mencari sandal tidurnya. Matanya menyipit, saat salah satu sandalnya tidah berhasil ditemukan. Ia mendengus kesal, saklar lampunya tidak menyala.
"Mati lampu?" batin Rhein.
"Sebenarnya, siapa yang mengganggu tidurku di pulau kapuk?"
Rhein berjalan dalam kegelapan. Ia mendekati sumber suara, yang sempat membuat perjalanan tidurnya terganggu. Langkah kakinya terhenti, saat manik matanya melihat genangan darah memenuhi lantai dapur. Ada cahaya senter, yang meneranginya. Ia menangkup bibirnya dengan kedua telapak tangannya. Seluruh tubuhnya mendadak kaku. Pemandangan yang mengerikan, terekam dengan jelas di memorinya.
Irina tergeletak lemah tak berdaya. Ia sekarat. Tubuhnya penuh dengan luka sayatan. Darah segar, mengalir dari kepalanya. Kesadaran Irina, hampir menghilang. Sorot matanya, memergoki Rhein yang sedang bersembunyi di bawah meja makan. Ia seakan memberikan isyarat untuk pergi dari sana.
Air mata Rhein, lolos begitu saja. Tatapan sendunya tidak bisa disembunyikan. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia ingin menolong Irina, tetapi ketakutan semakin menguasai dirinya.
Laki-laki yang bertubuh besar terus menyiksa Irina. Ia tidak akan berhenti, sebelum mendapat jawaban yang diinginkan. Irina menahan sakit yang luar biasa untuk menyelamatkan sahabatnya. Ia tidak ingin mereka menangkap Rhein.
Irina berpikir, jika mengorbankan dirinya dapat menyelamatkan orang lain. Namun, keputusannya tidak tepat. Ia tetap akan dibunuh oleh mereka, meskipun sudah mendapatkan yang diinginkan.
Rhein mulai menunjukkan amarahnya. Ia memberanikan diri untuk melawan mereka. Ia berhati-hati dalam mengambil langkahnya. Pelan-pelan, ia keluar dari persembunyiannya. Ia berhasil mengambil pisau yang terdapat di atas meja makan. Belum sempat, ia mengayunkan pisaunya ke arah penjahat yang menyakiti Irina. Kepalanya sudah lebih dulu dihantam benda tumpul dari arah belakang.
Irina menjerit melihat Rhein terkapar di lantai. Kepalanya sudah berlumuran darah. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha meraih tangan Irina. Ia ingin menyampaikan padanya, jika ia baik-baik saja. Irina tidak perlu mengkhawatirkannya.
Salah satu penjahat yang membawa lampu sorot, beralih menyoroti Rhein. Mereka tertawa puas, karena sudah menemukan yang mereka cari.
Irina menahan tangisnya. "No...na..."
"Aku tidak apa-apa, Irina. Kau jangan khawatir." Ucap Rhein, menenangkannya.
Salah satu penjahat menghampirinya dan menginjak telapak tangan Irina. Gadis itu, menjerit kesakitan.
"Hentikan. Jangan lakukan itu padanya!" Rhein meneriaki laki-laki bertubuh besar yang menyiksa Irina.
Laki-laki itu, beralih mendekati Rhein. Ia mencengkeram dagu Rhein.
"Lalu, apakah aku harus melakukan sesuatu padamu?" Rhein membuang muka kasar dan meludahinya.
"Sialan. Dasar gadis kurang ajar."
KAMU SEDANG MEMBACA
GAME OVER (END) TAHAP REVISI
Teen FictionDILARANG MENJIPLAK! [18+] [Hal-hal sensitif, seperti adegan kekerasan, pelecehan seksual, dan kata-kata kasar, bertaburan dalam cerita ini. Bagi para pembaca dimohon untuk menanggapinya dengan bijak dan teliti] . . . . Keluarga adalah harta yang pal...