05. Terbakar

11 2 0
                                    

Rea membuka tirai yang menutupi ruang khusus tari itu, membiarkan cahaya alami menyinari ruangan alih-alih lampu. Menyukai bagaimana bentuk yang tercipta di atas lantai. 

Cantik. Misterius.

Bayang benda akibat matahari sedikit banyak merubah suasana tempat itu.

Rea perlahan mengikat rambutnya, menyalakan musik, hendak melakukan pemanasan seperti biasa, tetapi suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya, membuat gadis itu kembali duduk tegak. Menantikan siapa yang berkunjung di saat seperti ini.

Manik hitamnya kemudian menangkap sesosok lelaki jangkung yang ditemuinya pagi tadi di kantin, melangkah masuk dengan santai.

Tindakan yang begitu impulsif- jika menyangkut orang lain- tetapi Rea harusnya lebih dari tahu bahwa apa pun yang dilakukan oleh Nakula sudah diperhitungkan dengan baik, membuat seluruh perasaannya yang semula dia pikir telah sirna, tenggelam dalam sudut otaknya, kembali naik ke permukaan. "Sial," gumamnya.

Mendengar umpatan itu, Nakula hanya mengangkat alis, bergerak menuju piano besar yang berada di sudut ruangan. Menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. "Gak masalah kan kalo gue pinjem ruangannya buat main piano?"

"Masalah."

Nakula bahkan tidak bereaksi ketika mendengar balasan yang terlalu cepat itu. Hal yang semakin menyulut emosi Rea. Membuat Rea menarik napas panjang, berusaha tidak terpengaruh. "Sekarang lo bahkan udah gak berusaha untuk terlihat baik ya." Rea menyandarkan tubuh pada kaca di belakangnya. Berusaha mengubah strateginya. Mengikuti permainan Nakula.

"Jangan berharap terlalu tinggi," balas Nakula yang membuat Rea mendecak. Menahan diri untuk tidak bangkit dan menghajar Nakula.

Mengapa lelaki yang disebut sebagai sosok paling rasional ini tampak gila?

"Kak, lo tersinggung?" Rea menarik satu sudut bibirnya, sengaja mengubah nada bicaranya pada kata panggilan di awal, memancing Nakula. "Pada kenyataannya, gak ada gunanya bersikap baik hanya untuk diterima kalo akhirnya lo cuman bakal jadi orang munafik yang ngomongin mereka di belakang."

Nakula tidak bersuara, memperhatikan tuts piano di hadapannya tanpa ekspresi. Tenggelam dalam pikirannya.

"Gue cuman berpikir kalo hubungan yang dijalin akan lebih berharga ketika didasari oleh ketulusan."

Hanya kalimat terakhir Rea yang berhasil membuat Nakula mengangkat wajah, tersenyum samar sekilas membiarkan kedua obsidian itu bertabrakkan dengan milik Rea.

Seolah mengatakan hal tersebut adalah omong kosong.

Sebuah fantasi untuk mereka yang tertidur.

Dongeng untuk anak kecil yang tidak mengetahui apa pun.

Gadis itu menelan saliva, terpaku untuk beberapa saat, tatapan yang membara itu mengingatkannya dengan hewan liar yang tersesat di tengah hutan, kehilangan arah, sebelum akhirnya tumbuh menjadi predator yang kehilangan akal agar mampu bertahan hidup di tengah absurditas dunia. Rea dapat merasakan dirinya terbakar dalam tatapan itu seandainya Nakula tidak segera memutuskan. Melanjutkan permainannya. Membuat dia kehilangan kata-kata.

Rea mengeraskan rahang, dia pernah melihat hal serupa, melihat kegilaan yang sama beberapa tahun lalu meski seiringnya waktu berjalan, api itu mulai sirna sebelum mampu membakar pemiliknya.

Benar, segala sesuatunya datang dengan pengorbanan. Terutama mereka yang tampak bersinar di atas panggung seperti Nakula maupun Renja yang tampak gemilang di balik layar.

Jika dia mengorbankan hatinya dan Renja mengorbankan dirinya, apa yang dikorbankan oleh Nakula?

Pemikiran itu cukup untuk membuat Rea menahan napas.

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang