16. Goyah

10 2 0
                                    

Nakula melangkah pelan, menyusuri lorong sekolah yang mulai sepi. Satu hari telah berlalu dari kunjungan orang tuanya, satu hari setelah tugas yang diberikan oleh Ayahnya untuk dia kerjakan sebelum kembali tinggal di rumah itu.

Dia menipiskan bibir, entah mengapa langkah kakinya membawa dia menuju tempat ini. Menuju tempat yang pada saat ini, hanya diisi oleh seseorang. Maniknya dapat menangkap Rea yang tengah menari lalu melompat, membuatnya terlihat seperti burung di udara. Terbang dengan bebas.

Nakula bersandar pada dinding di belakang selagi memperhatikan, mempertanyakan alasan dari tindakan impulsifnya. Apa yang kira-kira membuat Rea begitu hidup dan menyita perhatiannya.

"Karena gue mengusik lo?"

Perlu Nakula akui, pada awalnya, Rea hanya membuatnya penasaran. Ketika gadis itu datang, memasuki ruang OSIS dengan penuh percaya diri meski tatapan-tatapan mata seluruh penghuni ruangan itu seolah ingin menelannya hidup-hidup. Keyakinan yang tidak mudah goyah.

Kemudian, ketika mereka tengah membereskan barang yang tersisa, berada di bagian arsip, ketika mereka mulai membicarakan gadis itu, mengatakan dengan enteng fakta yang tidak seharusnya dibeberkan begitu saja dengan mudah oleh mereka yang tidak mengalaminya.

Nakula pikir Rea akan mengamuk, karena sosok seperti Rea tidak mungkin menangis, memilih mengekspresikan perasaan dan pikirannya keluar. Tetapi, gadis itu hanya diam, tertawa pelan selagi mendengarkan seolah hal itu merupakan lelucon yang luar biasa dan pantas mendapat suatu penghargaan.

"Lo gak berniat marah?"

Mungkin itu semua bermula dari pertanyaannya.

"Kenapa? Gue gak peduli dengan apa yang ada di pikiran orang lain, ngomong dengan orang yang hanya mau didengar gak ada gunanya. Gue malah memenuhi keinginan mereka kalu marah."

Atau mungkin karena jawaban itu, karena dirinya tidak pernah memiliki kesempatan. Memiliki keberanian yang sebesar itu. Memiliki kesempatan yang sama.

"Lo belom balik?"

Suara itu membuatnya sedikit terperanjat, menggaruk tengkuk. "Lo sendiri?"

Rea mengendikkan bahu. Menatap Nakula selama beberapa saat sebelum bersuara, "lo udah nentuin bakal ngapain untuk festival nanti?"

Nakula tidak langsung menjawab. Menelan saliva lalu berucap pelan setelah beberapa saat, "lo mau denger gue main?"

Rea langsung mengerjap, tidak tahu harus merespon seperti apa meski pada akhirnya gadis itu mengangguk. Membiarkan Nakula memasuki ruangan itu dan duduk di atas kursi piano.

"Great Mass in C minor?" Rea tersenyum miring. "It's a music that Mozart wrote for her wife to sing, Constanze."

Nakula tidak bereaksi, tetap memainkan alunan musik itu pada tuts-tuts piano. Mencoba menenggelamkan dirinya dalam setiap melodi yang dia mainkan. Setelah selesai, lelaki itu perlahan membuka matanya, sedikit terkejut menyadari bahwa Rea masih berada di sana.

"Keliatannya lo butuh seseorang."

Rea bersandar pada dinding di samping kaca, melirik Nakula sekilas sebelum menatap matahari yang perlahan-lahan naik. Kembali pada posisinya. Rea tahu bahwa lelaki itu tidak akan pernah mengungkapkan apa pun yang ada di pikirannya.

Memilih diam dan perlahan menghancurkan dirinya sendiri.

Dia menghela napas, mempertanyakan bagaimana dua orang jenius yang dikenalnya itu selalu memilih bungkam hingga akhirnya kerusakan itu terlalu parah untuk diperbaiki.

"Gue gak bu-"

"-sejak awal, ini tempat gue," potong Rea sebelum lelaki itu dapat menyelesaikan kalimatnya. "Sendirian itu memang enak, tapi ada kalanya lo butuh seseorang untuk ngedengerin masalah lo. Pada dasarnya kita makhluk sosial, jadi gak usah munafik."

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang