13. Riak Air

16 2 3
                                    

"Hah?"

Mala mendecak, menarik Renja pelan menuju perpustakaan. "Lo penasaran kan sama gimana pertunjukkan Nakula?"

Gadis dengan rambut berwarna merah samar di ujung-ujungnya menarik bibir, selagi melanjutkan perkataannya, "yang kemaren sempet gue bilang waktu dia tampilin Macbeth, gue dapet dokumentasinya dari Regan yang anak dokumentasi dulu."

Tubuhnya bergerak menuju lantai dasar dengan penuh semangat. "Buat pertunjukkan nanti, kalo lo yang jadi volunteer kelas mau Ja?"

"Hah?"

Mala terkekeh ketika melihat Renja terkejut untuk kedua kalinya siang ini. "Lo kayaknya cocok buat main Macbeth."

Renja mengerjap. "Macbeth supposed to be a guy dan bukannya lo udah pernah nampilin itu?"

Mala mengendikkan bahu. "Dua tahun lalu dan Nakula udah pernah mainin itu, gue pikir satu-satunya orang yang cocok selain dia kayaknya bakal lo. He could be Lady Macbeth, changing roles."

Renja mengerucutkan bibir. "Bukannya yang keren dari Macbeth adalah posisi Lady Macbeth yang kuat? Shakespeare nulis itu di abad ke tujuh belas di saat perempuan posisinya selalu di bawah laki-laki?"

Mala langsung terkekeh. "Lo baca Macbeth?"

Renja menelan saliva, merutuki dirinya yang terkadang kelepasan berbicara jika menyangkut hal-hal semacam ini.

Absennya suara membuat Mala kembali tertawa. "Bagus deh, jadi gue punya temen yang bisa diajak ngobrol. Tentang Hamlet, King Lear, Othello, or even Little Mermaid."

Renja menghela napas, sepertinya kekhawatiran itu sia-sia. Dia melirik Mala, padahal selama ini gadis itu tidak pernah terlihat bersemangat membicarakan apa pun, berbaur menjadi satu seperti dirinya dahulu.

Mengikuti arus.

"Meski gue sempet kepikiran ini, Nakula as Macbeth and Rea as Lady Macbeth." Mala terkekeh ketika melihat reaksi ragu Renja. "Cuman gue takut dibunuh Rea jadi gue tawarin lo aja."

Renja mendengus, jadi dia tidak sebanding dengan Rea? Kemudian, memikirkan bagaimana seandainya hal itu dapat menjadi kenyataan. Nakula dan Rea di atas panggung yang sama, seperti sebuah lelucon. Setidaknya hingga dia menyaksikan sendiri Nakula di atas panggung dalam layar lebar di hadapannya.

Macbeth yang didorong oleh ambisi membunuh sang Raja setelah mendengar ramalan penyihir.

Dia menelan saliva, merasakan sekujur tubuhnya merinding ketika melihat tatapan mata itu. Ketika mereka bertatapan melalui layar di ruang audio visual perpustakaan, ketika Nakula meyakinkan sang pembunuh untuk membunuh Duncan, sosok yang selama ini menjadi rekannya ketika dipenuhi oleh rasa takut. Dibutakan oleh ambisi dan diselimuti rasa takut sebelum akhirnya meninggal.

Nakula seolah menjadi satu dengan peran itu, bagaimana tatapannya yang menajam selagi meyakinkan mereka bagaimana rasanya setelah menyingkirkan orang yang menjadi ancaman, menggunakan kalimat berulang untuk memastikan mereka mendengar, menuang lebih banyak api.

Permainan yang rapih dan sempurna, seolah lelaki itu pernah berada di posisi yang sama. Melakukan hal serupa.

Memukau.

Renja tahu seharusnya dia tidak mengagumi karakter Macbeth tetapi cara Nakula memainkan dan membuatnya hidup benar-benar luar biasa. Membuat karakter itu seperti diciptakan untuknya. Menghisap seluruh perhatian.

"Gimana?" Mala terkekeh. Merenggangkan tubuh setelah menyaksikan pertunjukkan itu, berapa kali pun dia melihatnya, penampilan Nakula saat itu memang luar biasa.

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang