18. Bintang yang Pudar

8 3 0
                                    

Renja mengacak rambutnya setengah frustasi, melirik ponsel yang berada di atas kasur dan menampakkan pesannya dengan Rea. Dalam hal seperti ini gadis itu sama sekali tidak membantu.

"Kayak mau pergi sama pacar aja," ejek Elegi yang tengah bermain game, menertawakan kakaknya pelan. "Memangnya mau kemana deh?"

Gadis itu menggigit bibir. Menunjukkan dua potong pakaian, gaun berwarna hitam simple lalu gaun yang kedua dengan warna serupa meski sedikit lebih pendek dan menciptakan lipatan natural pada bagian bawahnya.

Renja tidak pernah menggunakan gaun sebelumnya, merasa kerepotan ketika duduk.

"Gak cocok Kak."

Elegi memberikan tatapan mencemooh.

"Serius," dengus Renja. Melihat tatapan yakin Elegi membuatnya menghela napas panjang, mengembalikan keduanya ke dalam lemari lantas mengeluarkan satu jumpsuit yang menampakkan tulang selangkanya dengan sempurna.

Elegi mengangkat alis, meski kali ini tidak lagi berkomentar, membuat Renja terkekeh. Berarti pilihan yang satu ini tidak terlalu buruk.

Sebagai saudara, mereka memiliki kesepakatan khusus untuk tidak saling memuji.

Tidak lama setelahnya, gadis itu dapat mendengar suara mobil lalu ponselnya yang berdering. Membuat Renja dengan cepat menyelesaikan seluruh aktivitasnya, melepaskan jedai yang sengaja dia gunakan dari siang untuk membentuk gelombang alami pada rambut dan mengangkat telepon Aksa yang mengabari bahwa lelaki itu sudah sampai.

Langkahnya menuruni tangga terhenti ketika melihat Alana yang tengah bercengkerama dengan Aksa sambil tertawa, menggigit bibir sebelum bergerak turun, sedikit bersyukur saat ini yang berada di rumahnya adalah Alana bukan James yang akan menginterogasi lelaki itu hingga pagi.

"Ma."

Alana menoleh, melempari putri sulungnya dengan senyum tipis sebelum menepuk pelan kepala Renja. "Hati-hati, tolong jaga anak Tante ya, Sa."

"Siap, Tante," kekeh Aksa, menunduk sopan sebelum mengikuti Renja keluar dari rumah, perlahan memasuki mobil hitamnya. Lelaki itu melirik Renja yang mengenakan pakaian semi-formal dengan jumpsuit hitam yang melingkar sempurna. Menunjukkan tulang selangka Renja, hasil dari olahraga rutinnya selama ini. Gadis itu tidak pernah membayangkan tiba saat di mana dia dapat membanggakan kerja kerasnya, membuat bibir merah alami itu tertarik.

"Lo..., cocok pake itu," ujar Aksa akhirnya, setelah berjuang setengah mati mencoba mengutarakan pikirannya. Padahal selama ini dia dapat santai berbicara, tetapi mengapa jika menyangkut pujian yang seperti ini dia berubah menjadi pengecut?

Aksa dapat merasakan pipinya memanas ketika Renja balas menatapnya, dengan cepat mengalihkan perhatian dan menjalankan mobil.

"Thanks," kekeh Renja pelan. "Lo keliatan beda make baju formal." Gadis itu menatap Aksa dari kaca jendela yang mengenakan kemeja hitam yang sedikit kebesaran, dimasukkan sedikit asal dalam celana ripped jeans panjang, rambutnya kini ditata rapih ke belakang.

"Makin keren?"

Renja tertawa pelan. Bukankah selama ini lelaki di sisinya selalu tampak menakjubkan. "Iya," jawabnya diiringi senyum jahil, membuat Aksa mengulum bibir.

Lelaki itu mempertanyakan bagaimana Renja dapat tampak lebih santai dibandingkan dirinya dengan jantung yang dapat meledak di dalam sana.

Perjalanan selama satu jam lebih itu kemudian diiringi dengan lagu Red milik Taylor Swift, membuat Renja yang selalu menikmati lagu ini perlahan membuka jendela mobil ketika melihat jalan yang cukup sepi sementara angin berhembus kencang.

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang