17. Api yang Dingin

9 3 0
                                    

"Gimana kerja kelompok kemaren?"

Mala melemparkan senyum lebar pada Renja yang sedang mencari uang yang diselipkannya di dalam tas, memilih tidak menggunakan dompet karena terlalu merepotkan.

Padahal menurut Mala, Renja jadi terpaksa membuang-buang waktu dan tenaga hanya untuk mencari kepingan uang yang terserak dalam tas.

"Ya, begitu. Gue mau tema pidato kita soal pendidikan yang gak lagi efektif sementara Tama maunya kita berdebat tentang lingkungan." Renja menipiskan bibir. "Kayak apa perkembangan teknologi memberi pengaruh buruk pada lingkungan dan harus dihentikan atau sekalipun ada harus tetep berjalan karena ngedukung perkembangan manusia."

Mala langsung menganga, Renja terkadang terlalu serius.

"Deadline-nya masih dua minggu Renja," kekeh Mala.

"Lo harus tau kalo soal debat, anak ini paling semangat," ujar Rea yang berjalan menghampiri. "Dia bisa ngeriset semaleman penuh, harusnya lo ikut lomba." Rea kemudian tertawa pelan.

Renja hanya mendecak. Tidak menggubris Rea. "Mau ke kantin?"

Mala menggeleng, menunjukkan kotak bekalnya. "Gue bawa makanan, lo pada mau?"

Rea langsung menolak. "Makanan lo itu, gue bisa beli di kantin, mau nitip?"

Belakangan ini, Mala hanya menghabiskan waktu di dalam kelas, sedikit menjauhi keramaian secara tidak kentara.

"Kagak deh, gue mau lanjut baca aja," kekehnya sambil menunjukkan buku klasik berjudul pride and prejudice karya Jane Austen, kembali duduk di tempatnya dan menenggelamkan diri dalam buku fiksi tersebut membuat Rea dan Renja saling bertatapan sebelum beranjak dari dalam kelas.

Seperti biasa, ketika istirahat pertama kantin selalu penuh membuat Rea menghela napas. Perhatian yang diterimanya kali ini sepuluh kali lebih banyak ketimbang biasanya.

"Apa karena kemaren gue ngobrol sama Nakula di gerbang depan?"

Renja terkekeh. Apa yang dapat diharapkan dari bergaul dengan sosok paling populer di Danudara? Gadis itu menepuk pelan pundak Rea sambil berusaha menyingkirkan perasaan aneh dalam dirinya ketika menyadari dia juga mendapat sorotan yang serupa.

Semenjak kejadian dia menyiram dua kakak kelas itu, dia hanya mengunjungi kantin pada istirahat kedua. Bisa dikatakan, hari ini adalah perdananya bertandang ke tempat ini. Mencoba mengalahkan rasa takutnya itu.

"Lo mau beli apa Re?"

Rea merangkul Renja, bergerak menuju lokasi selain bakso. "Pasta?" Maniknya memandangi makanan Italia yang diletakkan dalam nampan besi.

"Ngikut lo aja deh, gue nyari tempat duduk dulu," ucapnya yang diangguki oleh Rea.

Renja mengedarkan pandangan, berusaha mencari tempat yang tersisa di antara kerumunan selagi memperhatikan langit-langit kantin, mencoba tidak memedulikan mata-mata yang memperhatikan gerak-geriknya seperti buronan. Membuat dia mengumpat pelan dalam hati.

Pilihannya kemudian jatuh pada kursi yang terletak di samping dinding, sedikit terlalu belakang dan tertutup. Tempat yang sempurna. Setidaknya, dia pikir begitu.

Alisnya terangkat ketika melihat dua orang gadis dengan rambut terikat tinggi, Katya Athara, ketua ekskul paduan suara. Gadis itu tampak melangkah mendekat dengan penuh kepercayaan diri, seakan tengah berada di atas podium, hendak menundukkan lawannya.

Meski, bedanya saat ini Renja bukanlah lawan yang sepadan. Gadis itu tidak dapat bernyanyi dengan baik, tidak dapat bernyanyi hanya dengan bermodalkan membaca notasi angka. Alasan yang membuat dia tidak menekuni musik lebih jauh sekalipun James senang membahasnya. Memilih menjadi penikmat.

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang