10. Timbunan Kosong

12 3 0
                                    


Asmaloka Lengkara.

Sejak kecil, gadis itu hanya perlu tertawa dan tersenyum maka dengan sendirinya perhatian itu datang. Seolah, kurva di wajah mungil itu memiliki magnet untuk menarik khalayak.

Tidak peduli di manapun Mala berada, di manapun kakinya berpijak, afeksi akan selalu diberikan untuknya. Seperti matahari yang dikelilingi planet-planet, seperti inti atom yang dikelilingi oleh elektron-elektron. Hukum alam.

Bertahun-tahun berada pada lingkaran itu membuat Mala perlahan terbiasa dan belajar untuk menikmatinya. Belajar untuk beradaptasi meski sesekali terasa tidak nyaman. Meski, terkadang dia harus mengorbankan beberapa hal dan perlahan, atensi itu berubah seperti memakan buah simalakama. Mengekangnya. Mendistorsi kenyataan.

Mala menganggap perhatian itu adalah segalanya. Sebuah tolak ukur untuk kebahagiaannya. Tidak peduli apa pun tujuan mereka mendekat. Toh, selama kebahagian miliknya itu tidak melukai siapa pun. Dia tidak pernah mencoba menyingkirkan orang-orang yang berada di panggung yang sama dengannya.

Mala bahkan mengajak mereka yang berdiri di sudut ruangan dengan kepala tertunduk untuk mendekat, menggandeng lengan mereka agar berada di bawah pendar yang sama. Sehingga, ketika akhirnya muncul seseorang yang mempertanyakan ketulusannya. Ketika seseorang meragukan hatinya, Mala tidak dapat menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.

"Gue gak butuh perhatian lo Mal."

Mala hanya mencoba saat itu, berusaha menarik Rea yang selalu diasingkan. Bukankah rasanya menyakitkan hanya menjadi pengamat?

"Lo itu anak baru, nikmatin aja apa yang udah ada tanpa perlu nyeret-nyeret gue."

Mala hanya ingin kelasnya menjadi harmonis. Tetapi, mengapa Rea menyerangnya dengan kata-kata yang menyakitkan.

"Gue gak butuh sesuatu yang palsu. Lo nikmatin aja itu semua. Gak usah munafik dengan pura-pura baik. Gue lebih nyaman sendiri."

"Gue gak berniat cari perhatian Re. Pantes lo dijauhin. Lo memang..., sampah. Lo cuman berlagak kuat, berlagak gak butuh orang lain."

Mala tahu kata-katanya sedikit berlebihan, tetapi saat itu dia hanya berusia sepuluh tahun dan Mala pikir Rea tidak seharusnya menuduh niat tulusnya sekejam itu.

Mala pikir Rea akan selamanya seorang diri. Seperti yang dia katakan.

Lalu, satu tahun kemudian, Renja datang dan entah bagaimana Rea yang selama enam tahun berdiri kokoh di sudut ruangan akhirnya duduk bersama seseorang. Mulai menunjukkan ekspresinya, berulang kali membuka mulut untuk Renja ketika gadis itu disudutkan oleh Rebeca.

Dan, setelahnya Mala tidak lagi peduli bahkan untuk memperbaiki hubungan mereka.

Dia pikir hubungan itu tidak akan pernah membaik, Rea akan selalu membencinya sementara dia yang menyimpan kepingan memori buruk itu di bagian terdalam sudut otaknya mulai melupakan kenangan itu perlahan hingga semesta menamparnya tepat di wajah dengan kenyataan.

Rea benar.

Dia terlalu bodoh.

"Lo itu baik sekaligus naif Mal, lo gak butuh orang kayak mereka yang cuman bisa manfaatin orang lain. Kebahagiaan yang lo rasain itu palsu."

Mala mendesah, tetapi, sudah terlalu jauh baginya untuk mundur. Mengambil langkah memutar. Tidak ada pilihan lain selain tetap bertahan di jalur itu.

"Bukannya orang yang cuman bisa cari perhatian pantes sendirian?"

Mala mengepalkan tangan, dia tahu suara itu milik Rebeca.

"Setelah kedoknya kebuka, pindah dan cari mangsa baru?"

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang