02. Terbang Bebas

10 2 0
                                    

"Lho, tumben dateng Sa," sapaan dari Kenanga yang duduk di belakang meja membuat Aksa tersenyum masam.

Puan dengan rambut berwarna merah tua itu menopang wajah tirusnya di atas meja, mengalihkan perhatian dari buku-buku yang sebelumnya tengah dia kerjakan. "Lagi kenapa nih?" tanya Kenanga sambil tersenyum jahil.

Lelaki jangkung itu menatap malas Kenanga, membuat lawan bicara tertawa pelan. Berusaha mengendalikan suaranya walau terasa sia-sia ketika ucapan Aksa membuatnya kembali tertawa.

"Ditolak nih jadinya?"

Kenanga mengibaskan tangan yang memegang pulpen. "Kalo tujuan lo dateng buat bikin ulah."

Aksa meletakkan buku dalam genggaman ke atas meja. "Gue udah tobat kok, Kak" kekehnya sambil mengulas senyum kecil. Merutuki diri yang sempat berbuat bodoh. "Sekalian mau nyumbang ini sebagai bentuk permintaan maaf."

Kedua manik Kenanga melebar begitu melihat sampul dari buku tersebut. Menatap lelaki bertubuh atletis itu sekali lagi. "Wah, gila. Lo yakin mau kasih ini?"

"Gue punya lagi di rumah," balasnya santai.

"Makasih loh, Sa."

Dia melirik jam yang tergantung di dinding. Meletakkan buku tersebut ke dalam tumpukan. "Tujuan lo ke sini sekarang bukan tidur 'kan?" Menggunakan tangannya, Kenanga membentuk gestur mengusir, membuat Aksa segera menyingkir dari meja sebelum mendengar ocehan lain dapat diloloskan.

Kedua kaki jenjang Aksa bergerak cepat menuju lokasi favoritnya selama beberapa tahun belakangan. Tempat yang terlindung dari kebisingan, tampak terisolasi dari sekitar sekaligus tempat yang mempertemukannya dengan seseorang.

Senyumnya merekah ketika menyadari tidak ada yang berubah dari tempat ini, bahkan pemandangan di depannya masih sama. Seolah selama ini waktu tidak bergerak, hanya dia yang berusaha seorang diri.

Pandangannya kemudian teralihkan oleh sebuah pot di bawah jendela. Pot berisi bunga Ivy itu terletak persis di bawah lokasi jatuhnya sinar matahari. Dengan cekatan, dia bergerak maju, mengangkat dan memindahkan tanaman malang itu menuju lokasi yang intensitas cahayanya jauh lebih berkurang.

Begitu melihat hasil kerjanya Aksa tersenyum tipis, membersihkan tangan dari beberapa tanah yang menempel.

Entah sejak kapan kebiasaan ini dimulai. Tangan dan kakinya yang bergerak secara spontan setiap melihat tanaman-tanaman yang sekarat, mereka seperti magnet yang menarik perhatiannya tanpa Aksa sendiri ketahui penyebabnya.

Mungkin sebagian besar akibat suara Natasha yang selalu berkumandang di rumah untuk memaki kakeknya. Pria tua itu memang pandai berbisnis hingga memiliki segudang harta, tetapi ketika diminta untuk membedakan bunga chrysanthemum dan daisy otaknya berhenti bekerja.

Seperti dirinya jika bertemu soal kimia.

Aksa menipiskan bibir. Tidak. Dia tahu dengan baik, tidak ada dari mereka yang membuatnya seperti ini. Mereka hanya sekadar kedok untuk menutupi realita. Menghalangi diri dari kenyataan.

Tanaman sekarat itu hanya mengingatkan Aksa dengan dirinya dahulu, ketika dunia terasa berbalik dan menyerang dia yang tidak mengerti apa-apa. Terjebak. Sebatang kara sambil berharap keajaiban datang secara tiba-tiba di tengah keputusasaan, meski dunia tidak pernah seindah fantasi dan harapan itu sirna perlahan-lahan.

Dia menipiskan bibir, hendak menemui Kenanga untuk memberikan sedikit masukan tentang tanaman-tanaman tersebut sebelum telinganya menangkap langkah kaki ringan yang mendekat. Perlahan, dari balik rak dia dapat melihat figur yang tampak familiar. Gadis berwajah tirus itu tampak berbeda dalam balutan seragam sekolah dengan rambut yang tergerai rapih, dari luar Renja tampak siap menerjang badai apa pun yang menghampiri.

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang