08. Lorong Kosong

11 2 0
                                    

"Ja, mau balik?"

Aksa mengangkat wajah, memperhatikan langit yang mulai menggelap. Membuatnya menatap awan yang mulai menghalangi cahaya dengan perasaan gamang.

"Ayo," ucap Renja yang ikut mengangkat wajahnya, menyaksikan matahari yang perlahan menghilang di balik awan. Meski dirinya sendiri tidak keberatan dengan hujan, menikmati air yang membasahi tubuh, memberikannya sensasi dingin yang menyegarkan.

Gadis itu menyaksikan Aksa menyimpan kembali bolanya, kemudian ikut membuang sampah minuman mereka sebelum beranjak dan meninggalkan lapangan.

"Lo balik aja, Kak." Renja kembali menatap langit yang semakin gelap, menurut perhitungannya hujan dapat turun dalam kurun waktu lima menit. Lelaki itu akan sempat kembali, setidaknya, tanpa basah kuyup.

Aksa menggeleng. "Gak papa, gue anter lo sampe deket rumah aja."

Dalam beberapa hal, Aksa sama keras kepalanya.

Renja menggigit bibir, dia dapat melihat belokan yang mengarah pada rumahnya bersama tetesan air yang turun rintik-rintik. Membuat dia mengangkat tangan sambil menoleh. "Rumah gue di jalan belokan ketiga, mending lo ngikut gue Kak," ucapannya itu membuat Aksa melebarkan mata.

Terkejut.

Dia hendak membalas, tetapi Renja lebih cepat, menarik pelan lelaki itu sebelum akhirnya berlari ketika hujan turun semakin deras. Renja mengumpat pelan ketika menyadari pagar yang terkunci. Membuatnya merogoh saku celana cepat.

Elegi tentu saja menguncinya. Saat ini gadis itu hanya seorang diri di rumah.

Setelah bergelut selama beberapa saat, akhirnya Renja mampu membuka pagar, mendorong Aksa masuk ke dalam rumah, dia kembali mengunci pagar. "Masuk aja Kak," ucapnya ketika menyadari Aksa yang masih menunggunya di bawah hujan.

Aksa mengulum bibir, sedikit mendecak. "Masa gue masuk duluan dari pemilik rumahnya."

Kini, giliran Renja yang mendecak. "Masuk aja, di rumah gue gak ada orang." Dia menipiskan bibir tatkala menyadari perkataannya sendiri lalu dengan cepat meralatnya. "Cuman ada Elegi. Dia gak bakal ambil pusing."

Aksa tidak membalas, mengekori Renja membuka pintu, membuka sepatunya dan perlahan masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu. Pandangannya langsung terjatuh pada sebuah lukisan berukuran sedang abstrak yang didominasi warna abu dan hitam. Dia dapat mencium aroma segar, mengingatkannya dengan buah lemon begitu melangkah masuk.

Lukisan itu tampak sempurna dengan seluruh rumah yang berwarna abu-abu dan putih dengan lantai kayu, meski beberapa peralatan dalam rumah memiliki sentuhan cokelat senada dengan lantai, memberinya nuansa hangat yang ganjil.

Di atas rak dan meja, dia dapat melihat beberapa foto dalam pigura, seluruhnya adalah foto perjalanan keluarga Renja baik di dalam kota maupun luar. Beriringan dengan benda yang merepresentasikan tempat itu. Replika batu Candi Borobudur dan Candi Prambanan di sisi figura yang menampakkan pemandangan Jawa, menara Eiffel di sisi figura kota Paris, dan patung Liberty di ujung lain.

"Handuk?" tanya Renja dengan tubuh yang masih basah sambil menyodorkan satu handuk putih yang masih baru. "Lo mau mandi, Kak? Gue ambilin baju sebentar."

Aksa menahan tangan Renja lalu menggeleng. "Mending lo yang keringin badan dulu," ujarnya, hendak meletakkan handuk di tangan pada kepala Renja sebelum tangan Renja yang lebih cepat—seolah sudah mengetahui apa yang akan dia lakukan menahannya.

"Pake aja, gue mandi abis ini." Renja melirik rumahnya. Bersyukur bahwa situasi dan keadaan rumah mereka dalam kondisi baik. "Lo boleh duduk," Renja menggigit bibir, "atau nonton tv juga gak masalah, terserah sih."

Rekan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang