7.7k
"Ah-"
San terduduk di jalan, melihat punggung Yunho yang menjauh darinya hingga menghilang ketika ia berbelok menuju jalan ke rumahnya. Walau sinar dari petasan yang masih meledak-ledak di langit, siluet punggung itu pun kabur karena air matanya. Berkali-kali San mencoba untuk memanggil Yunho, tapi suaranya terlalu lemah, terlalu tersembunyi di balik rasa pedihnya sekarang.
Pada akhirnya, Yunho meninggalkannya.
Dan itu akibat San yang telah mengacaukan semuanya.
Ia tidak tahu lagi apa yang menggambarkan perasaannya kini. Sakit. Tertampar. Putus asa. Kalah. Menyerah. Bersalah. Takut. Semua itu, semuanya berkumpul dan memberatkan dirinya. Rasanya perutnya terlilit, jantungnya berdegup sangat kencang hingga ia tidak bisa mendengar apa-apa. Setiap kali ia membuka mulutnya untuk terisak, rasanya ia kembali tercekik.
Hancur.
Ia melingkarkan lengan pada tubuhnya sendiri karena saat ini ia betul-betul membutuhkan pegangan. Jika kukunya meninggalkan bekas pun ia tidak mempedulikannya. Balasan Yunho pada pernyataan perasaannya tadi betul-betul memukulnya jatuh. Seperti ia sudah tidak ada harapan lagi untuk kembali padanya, bahkan untuk menjelaskan segala kesalahpahaman sejak awal.
Kenapa mulutnya tidak bisa terbuka saja dari tadi?
Kenapa ia tidak langsung mengelak, menyela Yunho, dan berkata sejujurnya?
Kenapa ia dengan mudahnya, bodohnya, mengungkapkan perasaan di waktu yang amat salah?
San tidak tahu berapa lama ia meringkuk menangis, membiarkan air matanya jatuh di atas jalan. Yang San tahu, begitu tidak ada lagi bunga api di langit, badannya otomatis membawanya ke rumah Yeosang.
San ingat Yeosang berkata bahwa orang tuanya akan pergi sehingga tidak sempat mengunjungi festival. Jadi rumahnya pasti kosong dan ia tidak perlu khawatir karena tidak ada orang tua Yeosang yang akan melihat kondisinya yang sangat menyedihkan ini.
San mengetuk pintu rumah Yeosang tepat ketika sang pemilik rumahnya membuka pintu. Tidak sampai satu detik mata mereka terkunci, San berkata terus terang.
"Aku bikin Yunho nangis."
Yeosang terperanjat begitu melihat San dengan pipinya yang basah dan matanya memerah.
"Dia minta penjelasan, aku bilang besok bakal aku jelasin. Dia gak terima, dia bilang aku bikin dia sakit hati."
Alis Yeosang bertaut, berusaha mencerna apa yang baru saja dia dengar, walau jelas terlihat ia masih sangat terkejut dan sedikit cemas mendapati San di depan pintunya seperti itu.
"Dia bilang, dia sama aku, hiks, udahan," mengucapkannya lagi membuat tangisannya kembali. "Yeosang, aku harus gimana? Huhuhu," tangisnya melirih di akhir, pandangannya terhalang air mata menatap teman di hadapannya.
Bagaimana apabila Yunho jadi membencinya?
Ia mencondongkan badannya ke depan untuk memeluk Yeosang, sangat membutuhkan tempat untuk menangis karena saat ini ia tidak tahan lagi. Tangisannya kali ini datang dengan kencang, seperti semua emosi yang terbendung sejak pertama kali ia melihat wajah Yunho yang tersakiti di kebun depan rumahnya kembali. Ia menangis, sesekali mengeluarkan erangan sedih yang lebih kencang dibanding tadi.
San menumpahkan semua emosinya pada bahu Yeosang. Tangannya mencengkeram kuat belakang baju Yeosang, sebuah bentuk pertahanan agar ia tidak jatuh. Badannya sangat lemas karena saat ini yang ada di kepalanya hanyalah Yunho.
Beruntung, Yeosang meminjamkan badannya untuk tempat San menangis. Ia balas melingkarkan lengannya mengelilingi tubuh San, sesekali mengusap punggungnya untuk menenangkannya. San juga beberapa kali mendengar ucapan, "gak apa-apa, San, kalian gak kenapa-napa," darinya, yang normalnya akan sangat San hargai jika saja isi kepalanya tidak terlalu memaki-maki dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My town is coming alive ; yunsan
FanfictionSan kembali ke rumahnya pada liburan musim panas dan dihadapkan dengan suatu tensi romansa di antara teman-teman masa kecilnya. Walau begitu, sedikit suka sama teman itu wajar kan, ya? Begitu sih San kira awalnya. (Tapi dunia suka bercanda, apalagi...