idk whether people still remember this fic or not but please enjoy!
7.7k
Semuanya berawal dari celetukan iseng lelaki kecil itu saat sedang bertamu ke kamar Mingi, sepulang dari suatu hari di tahun kedua mereka di sekolah menengah.
"Pasti orang ini merasa keren punya julukan manusia tercepat di dunia," ujar Wooyoung yang berbaring, ponselnya tepat berada di atas wajahnya. Mingi ngeri kalau-kalau ponsel itu terjatuh mengenai wajahnya.
Tapi Mingi pun membalas celetukan itu dengan sama bercandanya. "Nanti ada nama aku yang ngeganti nama dia, lihat aja," begitu balasnya sambil terkekeh.
Wooyoung mendecak. "Kamu udah keren, tapi masih kalah keren. Coba tingkatin lagi dong kemampuan lari kamu," katanya yang tiba-tiba serius sambil beranjak duduk menghadapinya. Mingi mengangkat kedua alisnya, bingung.
"Caranya?"
"Ikut lomba terus, latihan terus, gak tahu. Rasanya sia-sia kaki panjang kamu itu kalau gak dipakai buat lari."
Waktu itu masih belum ada perasaan itu yang tumbuh di hatinya. Mingi masih bisa selapang hati menjawabnya dengan, "Aku maunya lari sama kamu," sambil bercanda.
"Gak mau! Kalah terus aku, gak pernah menang dari kamu," gerutu Wooyoung, cemberut. Mingi tergelak lagi. "Capek tahu, aku ngelihat punggung kamu terus tapi gak pernah kesusul."
"Tapi kamu tuh lebih gesit dari aku. Kalau ada lari rintangan, kayanya kamu yang lebih unggul," balas Mingi mencoba menyetarakan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
"Gak, gak. Kaki kamu panjang jadi gampang ngelompatin semuanya juga," balas Wooyoung kembali, tidak ingin kalah argumen darinya.
"Kamu dari tadi ngomongin kakiku terus. Kamu naksir sama kaki aku?"
Satu pukulan dan satu lemparan bantal kemudian, Wooyoung mendadak mengangkat topik yang agak serius padanya. "Aku gak yakin bakal masuk ke jurusan yang butuh mikir banyak. Otakku gak sampai."
Mingi, kini berbaring berdempetan di sebelah Wooyoung di kasur ukuran single miliknya, mengalihkan perhatiannya dari komik yang sedang dibacanya. Wooyoung memandang langit-langit kamar, tangannya bertelungkup di atas dadanya, seperti sedang berangan-angan.
Mingi pun juga merasakan hal yang sama seperti Wooyoung. "Sama," balasnya pelan. Nilainya tidak begitu buruk, tapi juga bukan yang masuk standar anak universitas seperti Yunho dan San, maupun yang tidak masuk akal bagusnya seperti milik Yeosang.
"Iya kan!" Wooyoung berseru begitu mendengar Mingi juga berpikiran yang sama dengannya, balas menatapnya. "Maksud aku, selama ini nilaiku aman karena kita sering banget belajar bareng. Tapi anggapannya kalau kita semua berbeda jurusan, aku bakal kena sial karena bener-bener sendiri."
Mingi terdiam setuju. Selain itu juga, Mingi masih belum bisa membayangkan suatu saat di mana mereka berlima tidak berangkat ke sekolah bersama-sama lagi.
"Aku pengen ngelakuin yang... gak diem doang di meja. Belum tahu apa. Kalau masuk ke akademi masak kaya Bunda kelihatannya oke...," lanjut Wooyoung berpikir, sebelum terpotong oleh Mingi yang mendadak teringat salah satu ekstrakulikuler yang pernah mereka ambil bersama saat sekolah dasar.
"Akademi tari." Mingi mengucapkannya seperti ia baru saja dapat pencerahan. Wooyoung terkesiap mendengar usulan darinya. "Kamu bisa jadi penari. Dulu kita kan ekskul tari. Kamu dari sekarang masuk akademi tari biar bisa masuk ke universitas seni!" ujarnya bersemangat. "Nanti kalau kamu udah terkenal bisa nari bareng artis, keren sih!"
Wooyoung masih menganga sambil memandangnya, seperti sama-sama juga baru mendapat pencerahan. Ia kemudian menyengir. "Terus aku bisa bilang ke orang-orang kalau kamu itu temenku. Atlit lari yang namanya Song Mingi itu temenku," katanya membuat Mingi juga ikut berandai-andai.
KAMU SEDANG MEMBACA
My town is coming alive ; yunsan
أدب الهواةSan kembali ke rumahnya pada liburan musim panas dan dihadapkan dengan suatu tensi romansa di antara teman-teman masa kecilnya. Walau begitu, sedikit suka sama teman itu wajar kan, ya? Begitu sih San kira awalnya. (Tapi dunia suka bercanda, apalagi...