TKPK 💙 2

7 7 6
                                    

Disinilah Chiara sekarang, duduk bersandar pada punggung sofa dirumah pamannya menunggu kakak sepupunya ganti baju. Chiara sendiri sudah tidak menggunakan seragam sekolah, dia memakai kaos oblong berwarna putih yang dia simpan dirumah pamannya sewaktu menginap. Setelah menyelesaikan hukuman yang Bu Rona berikan akibat dari rambut Chiara dan dua temannya—Yura dan Tasya. Bu Rona yang berprofesi sebagai guru BP itu menyuruh mereka untuk membersihkan perpustakaan juga ruang guru.

Tadi setelah selesai membersihkan perpustakaan, Chiara sempat berpesan kepada dua temannya agar mengganti warna rambut mereka atas perintah pamannya. Sebenarnya, Chiara sendiri enggan untuk mengubah warna rambutnya, menurut Chiara rambutnya yang sekarang lebih bagus daripada berwarna hitam.

“Halo sepupu!” Suara seseorang yang baru saja menuruni tangga membuat Chiara mengangkat kepalanya.

“Masih belum kapok juga ternyata, gak sekalian aja lo warnai rambut lo kayak rainbow cake?” Chiara memutar bola matanya. Jika dia meladeni laki-laki itu, pasti dia akan kalah karena mulut laki-laki itu lebih cerewet melebihi Oky.

“Sebandel-bandelnya gue dulu, gue aja gak berani warnai rambut ke sekolah. Karena gue masih tau aturan.”

“Lanjut, kak! Lanjut!”

Laki-laki itu hanya terkekeh, dia tahu jika gadis yang berada dihadapannya sekarang kesal dengan dirinya. Namun, dia sengaja membuat gadis itu marah, sudah lama rasanya tidak melihat Chiara kesal karena kejahilannya.

“Kalo gue lanjut, ntar lo nangis lagi, dari dulu lo kan cengeng.”

“Zidan, papa suruh kamu antar Chia ke salon, bukan nyuruh kamu ledekin dia. Sana cepat.” Laki-laki berusia dua puluh dua tahun itu menatap papanya cengengesan.

“Iya, pah. Zidan kangen aja udah tiga tahun gak ketemu sama Ara, bawaannya pengen banget jailin bocil satu ini.”

Chiara melotot mendengar ucapan Zidan. Chiara kira setelah hampir empat tahun kuliah di Australia kakak sepupunya akan sedikit waras. Namun sama saja, menurut Chiara Zidan lebih gila dari sebelumnya.

“Bocil, bocil! Gue bukan bocil tau!”

“Apa kalo bukan bocil? Debay?” tanya Zidan.

Chiara mengerutkan keningnya. “Dedek bayi maksud lo?” Zidan mengangguk membenarkan ucapan Chiara membuat mata Chiara melotot.

"Enak aja! Gue udah gede, udah bisa makan sendiri, pinter, baik hati dan tidak sombong!”

Hardianto geleng-geleng kepala melihat tingkah putranya yang selalu saja ribut dengan sepupunya sendiri. Laki-laki paruh baya itu kemudian mendudukkan dirinya disofa, menyaksikan keributan antara Chiara dan Zidan.

“Uncle, harusnya kak Zidan gak usah dijemput pulang, nyeselin gini orangnya.” ucap Chiara menatap pamannya.

Hardianto hanya tersenyum dengan tangan yang bersedekap dada. Dia membiarkan Zidan melepas rindunya dengan Chiara. Laki-laki paruh baya itu sangat tahu, Zidan menyayangi Chiara lebih dari apapun. Bahkan putra tunggalnya itu rela melakukan apa saja demi kebahagiaan juga keselamatan Chiara.

“Dih, lo kira gue bocil kalo papanya gak jemput gak bisa pulang?”

“Ya lo kan emang bocil, badan aja gede tapi kelakuan minus!” dengus Chiara.

“Lagian nih ya, gue juga heran sama Tasya, bisa-bisanya dia suka sama cowok absurd kayak lo.”

“Wah parah, minta digorok nih anak.” Baru saja Zidan hendak menghampiri Chiara papanya mengentikan langkah laki-laki itu.

"Kak, udah sana keburu malam.” kata Herdianto.

“Hehe, iya pah.”

“Adik kesayangan, ayo berangkat!” Chiara menaikan sebelah alisnya kemudian terkekeh geli mendengar panggilan yang laki-laki itu gunakan.

Terkadang Kita Perlu KecewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang