Upacara Senin pagi berjalan dengan khidmat. Kepala Sekolah memberikan wejangan tentang pentingnya kedisiplinan bagi para pelajar. Beliau juga menyampaikan kepada seluruh peserta tentang manfaat jika kita melakukan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
"Manfaat disiplin yang pertama adalah akan tumbuhnya rasa kepekaan terhadap orang lain. Jika kalian semua sudah terbiasa dengan disiplin, maka kalian juga akan mudah menyelami perasaan orang lain."
"Yang kedua adalah tumbuhnya kepedulian. Dengan disiplin secara tidak langsung juga akan membuat seseorang memiliki integritas. Mereka juga akan mudah memecahkan masalah dengan baik dan mudah.
"Selain itu masih banyak lagi manfaat disiplin bagi hidup kita, salah satunya menumbuhkan sikap percaya diri, teratur dan juga mandiri," imbuhnya. Ingatanku seketika melayang pada zaman nyantri dulu. Disiplin menjadi satu hal yang sulit kulakukan.
"Disiplin tidak bisa dibangun dalam semalam seperti Bandung Bondowoso yang bisa membuat seribu candi, tetapi disiplin itu harus dibiasakan. Dari pembiasaan itulah kalian akan menjadi pribadi yang lebih teratur, peka dengan keadaan dan pastinya menghadirkan hal-hal yang positif dalam diri kalian sendiri," pungkas Bapak Kepala Sekolah sebelum akhirnya menutupnya dengan salam.
Usai pembacaan doa, para siswa pun mulai berhambur menuju kelas masing-masing usai dibubarkan oleh pemimpin upacara.
"Pak Aliii, Ulfa lope lope katanya," teriak salah satu siswa dari jarak lumayan jauh saat aku dan para dewan guru lain sedang berjalan menuju kantor. Aku menggeleng pelan melihat tingkah remaja zaman sekarang.
Bibirku spontan menggumam istighfar kala mengingat tingkahku dulu saat seumuran dengan mereka. Tingkah konyol dan mengesalkan seringkali dilakukan.
Wajar saja jika dulu aku dianggap gak sopan saat melakukan hal tersebut, karena salah satu hal hal yang dinilai di mata orang lain adalah tingkah laku.
Masih teringat jelas di ingatan saat keusilanku menggoda Gus Dafa, ah, dia lagi, melupakannya memang tidak mudah. Apalagi suasana sekolah benar-benar membuat memoriku tentangnya seakan diputar kembali.
Saat itu ujian semester Diniyah sudah hampir tiba. Sudah menjadi agenda, sebelum ujian tulis dilaksanakan ujian praktek akan dilaksanakan terlebih dahulu. Selain setoran nadham, membaca kitab menjadi prasyarat untuk bisa mengikutinya.
"Buka halaman 43," perintah Gus Dafa. Dengan tangan sedikit gemetar kubuka halaman yang dipinta. Kitab kuning gundul yang berisi tentang ilmu Fiqih karangan Syaikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy tersebut harus kubaca secara lancar. Jika tidak, bisa saja aku tidak diluluskan nantinya.
"Ahkamunnikah wa maa yataallaqu bih." Spontan aku tersenyum dan menatap Gus Dafa sekilas.
"Kenapa harus bab ini yang saya baca, sih, Gus?" Bukan Aya namanya jika tidak protes dan cerewet. Gus Dafa tidak segera menjawab, tetapi mengembus napasnya dengan kasar.
"Jangan kebanyakan protes. Cepat dibaca sekalian terjemahnya!" serunya tanpa menatapku.
"Jangan galak-galak, to, Gus."
"Protes sekali lagi, tak suruh sekalian tarkibnya, loh, nanti," ancamnya membuatku berdecak kesal. Aku bakal mati kutu jika sudah berhubungan dengan tata bahasa. Bisa menulis makna pegon dengan baik di kitab kuning saja sudah lumayan.
"Gak boleh ngancam-ngancam santrinya gitu, Gus."
"Aya!" geramnya seraya menatapku tajam. Aku bisa menangkap wajahnya memerah. Entah karena malu apa kesal denganku. Aku menahan senyum kemudian segera membaca kitab di hadapanku.
"Ahkamu nikahi utawi piro-piro hukume nikah, wa maa lan barang, yata'allaqu kang gumantung opo maka, bihii kelawan nikah," bacaku dengan lancar.
"Kitan tentang pernikahan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan nikah."
Baris demi baris kubaca perlahan, Gus Dafa akan menggumam kala bacaan atau terjemahku kurang benar.
"Wannikahu lan utawi nikah, iku mustahaabbun disunahaken, liman maring wong, yahtaju kang butuh sopo man, ilaihi maring nikah." Aku masih melanjutkan bacaan tanpa dijeda oleh Gus Dafa.
"Dan nikah itu dihukumi sunah bagi orang yang sudah hajat pada hal tersebut." Aku berhenti tak melanjutkan bacaan. Mataku justru tertuju pada Gus Dafa yang terlihat serius menatap kitab di hadapannya. Sesaat kemudian dia mengangkat wajahnya dan menatapku.
"Saya belum bilang berhenti, kenapa berhenti?" tanyanya dengan mimik wajah penuh tanya.
"Jenengan gak pengin nikah, Gus?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku. Gus Dafa menegakkan tubuhnya seraya menghela napas.
"Ayatul Faizah, saya peringatkan. Ini ujian bukan guyonan. Pertanyaan itu tidak ada hubungannya dengan ujian ini," tegasnya. Aku mengangguk.
"Tapi, Gus. Pertanyaan itu sangat–" Dipukulnya kepalaku dengan pena yang dipegang.
"Ciee, Guse." Aku malah tersenyum bahagia. Sedangkan Gus Dafa terlihat semakin merah wajahnya karena marah. Dia pun memintaku untuk kembali ke bangku.
Bisik-bisik dari santri lain pun terdengar santer di telinga. Tatapan tak bersahabat dari Ida pun membuatku akhirnya hanya bisa tertawa cengengesan tanpa dosa.
Saat keluar kelas, Azizah menceramahiku panjang lebar hingga telingaku memanas. Cuitan bibir Ida pun turut menghampiri.
"Dasar gak punya sopan santun! Kirain sudah berubah, ternyata masih saja godain, Gus. Gak bakalan manfaat ilmumu kalau adab saja tidak benar."
Astaghfirullahaladhim. Aku mengusap wajah kasar mengingat kejadian tersebut. Benar-benar kenakalanku dulu diatas ambang wajar dari santri lain. Banyak para asatiz muda yang juga mengajar di kelas putri saat itu, tetapi memang keberanian dan kejahilanku hanya muncul saat berhadapan dengan Gus Dafa.
***
"Ay," sapa Salma saat aku masih menekuri laptop di mejaku. Dia menarik kursinya dan duduk di hadapanku.
"Kamu mau, nggak, kukenalin sama temannya mas bojo?" Aku mengernyit kemudian menekan tombol Ctrl+S sebelum menanggapi ucapan Salma.
Aku tersenyum seraya menatap sahabatku yang telah menikah dua tahun lalu dengan pria yang dikenalnya saat di kampus dulu.
"Sal, untuk saat ini aku masih ingin menikmati kesendirianku. Aku masih belajar menata hati." Tatapan iba dari Salma membuatku merasa terenyuh. Aku tahu tujuannya mengatakan hal tersebut bukan untuk mengasihani, tetapi agar aku bahagia.
"Mau sampai kapan? Umurmu akan terus bertambah, Ay. Pikirkan masa depanmu. Yang sudah berlalu biar berlalu. Seringkali kamu mengatakan pada anak-anak yang curhat 'qod madla maa madla', tapi kamu sendiri tak mampu melakukannya." Mengatakan memang tak sesulit menjalaninya.
Mudah saja aku mengatakan yang lalu biarlah berlalu, tetapi hati dan pikiranku tak bisa secepat itu melupakan.
"Melepas bukan melupakan, Sal. Tetapi belajar merelakan dan mengikhlaskan. Aku sedang belajar saat ini, Sal. Tolong bantu aku. Jangan jejali dulu diriku dengan pertanyaan seputar pernikahan atau yang berhubungan dengan itu," uraiku menghiba padanya. Salma menatapku sendu.
Dia yang paling tahu bagaimana derita hidupku. Sejak pernikahan Gus Dafa saat itu dialah yang memintaku untuk memutus semua akses informasi yang berhubungan dengan Gus Dafa. Dia pun tak pernah membahas sedikit pun tentang pria yang hingga saat ini ternyata masih saja tebersit dalam dada.
"Maafkan aku, Ay. Aku hanya ingin kamu juga merasakan bahagia meskipun bukan dengannya."Aku mengangguk. Tak terasa setitik air mata pun lolos membasahi pipi.
Ruang guru masih lengang. Jam pelajaran masih berlangsung. Semoga obrolanku dengan Salma tak ada yang mendengar karena selama ini semua guru menganggap aku belum menikah karena memiliki kriteria idaman yang tinggi bukan karena patah hati.
Kini aku masih dalam fase ingin menyendiri, menyelami rasa yang pernah ada dan menghapusnya perlahan hingga ke dasar hati.
Benar jika ada yang mengatakan, patah hati itu obatnya bukan pengganti, tetapi menyendiri, intropeksi dan mencintai diri sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Dafa (Sudah Terbit)
Teen FictionAyatul Faizah, gadis berumur 25 tahun yang sedang berjuang melupakan masa lalunya. Dia patah hati karena ditinggal pergi secara tiba-tiba saat tengah di puncak cintanya. namun, saat dia berusaha melupakan justru sosok masa lalunya hadir kembali