IT'S ENOUGH

44 7 2
                                    

Saat hati masih menyimpan namanya dan bibir masih merapalnya dalam doa, melupakan merupakan hal mustahil akan berjalan dengan normal.

Sekuat hati berusaha melupa, tetapi yang ada hati semakin cinta. Ini apa-apaan? Ditambah lagi kehadirannya kembali membuat kebimbangan semakin mendera.

Sedangkan sosok lelaki murah senyum di hadapanku ini semakin hari semakin gigih menunjukkan kesungguhannya. Ditambah gojlokan yang terlontar dari bibir para guru di kantor semakin membuat dia semangat mendekati.

Membuka hati untuk Pak Ali adalah salah satu hal yang telah tertulis dalam rencanaku. Tetapi itu kemarin sebelum bertemu dengan Gus Dafa. Haruskah kulanjutkan ataukah kuurungkan?

"Bu, saya masih menunggu jawaban jenengan perihal perasaan saya. Saya akan sabar menunggu," ucapnya di sela menikmati semangkok bakso. Pagi ini mendadak kami harus berangkat ke Kacabdin karena harus menyelesaikan beberapa hal terkait dengan pendataan siswa.

Kuhela napas sesaat seraya menyelesaikan kunyahanku sebelum menimpali pernyataan Pak Ali. Bakso berkuah pedas dengan isian banyak macam menjadi pilihan saat Pak Ali menawarkan untuk makan terlebih dahulu usai menyelesaikan urusan dan melaksanakan salat Zuhur.

"Maaf, ya, Pak, sampai detik ini saya belum bisa memberi jawaban pada jenengan. Butuh banyak pertimbangan untuk menjawabnya. Salah satunya perihal umur kita. Bagaimana tanggapan orang jika mereka tahu saya lebih tua?" Aku berusaha mengulur waktu untuk memantapkan hati agar benar-benar bisa menghapus tentang Gus Dafa.

Pak Ali menaruh sendoknya di mangkuk bakso yang isinya tinggal separuh. Dia menghela napasnya sesaat kemudian beralih menatapku.

"Bu, kita hanya selisih dua tahun. Itu pun tidak kentara. Anggap saja kita seumuran. Perkara omongan orang lain itu ya sesuka mereka, yang menjalani bukan mereka." Benar yang dia katakan.
Terkadang cara berpikir seorang pria memang tak dapat ditebak. Ada yang blak-blakan bicaranya, jujur dan tegas, ada pula yang sok cool tapi diam-diam menyimpan rasa. Ah, itu Gus Dafa.  Tetapi masalah besarnya ada pada diriku sendiri yang masih belum bisa menghapus nama Gus Dafa dari hati.

"Saya tahu, Bu. Jenengan sulit membuka hati untuk saya bukan karena tak suka, tetapi jenengan pernah terluka dan takut terulang kembali." Suapanku terhenti mendengarnya. Kuletakkan kembali sendok yang telah terisi potongan pentol bercampur bumbu.

"Jangan sok tahu, Pak. Setiap orang punya pertimbangan sendiri untuk menerima atau pun menolak," elakku menutupi. Dia mengangguk kemudian tersenyum.

Kami pun gegas menyelesaikan makanan agar sampai ke sekolah kembali tak terlalu kesorean. Masih butuh waktu lebih dari satu jam perjalanan yang harus kami tempuh setelah ini. Jarak Rogojampi ke Tegaldlimo masih lebih dari 30 kilometer.

Sepanjang perjalanan kembali ke sekolah, aku memilih banyak diam dan sibuk dengan ponsel di tangan. Mungkin Pak Ali juga memahami keadaanku. Dia memilih menyalakan musik dari audio mobil sekolah yang kami gunakan.

Lagu berlirik jawa yang dilantunkan penyanyi cantik asal Kediri membuatku semakin terdiam. Alunan musiknya menggema memenuhi  mobil. Kunikmati setiap bait yang dilantunkan meskipun kalimatnya begitu menyakitkan, menohok perasaan.

Sak tenane aku sayang
Jeroning atiku iki wegah kelangan
Tak ikhlasne kowe ngilang
Senajan biyen kowe wis tau tak sayang

Tresnoku kok sio-sio
Ninggal tatu nembus jroning dodo
Mugo kowe ora getun
Cekap semanten, matur nuwun

'Gus, andai dulu jenengan mengatakan sejujurnya, tidak akan seperti ini keadaannya.' Hatiku merintih lirih

Mataku memejam merasai semua yang pernah terjadi. Luka yang kubuat sendiri kini kembali menganga karena kehadirannya. Bukan, ini bukan luka, tetapi kecewa.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang