APOLOGY

62 8 5
                                    

"Nduk, tunggu!" teriaknya mencegahku pergi. Aku tetap berjalan tanpa menolehnya kembali. Aku tidak mau, rasa kecewa yang masih mendera bertambah lagi.

"Aya ... Nduk." Ditariknya lenganku hingga tubuhku berputar dan menubruk dada bidangnya. Aku mencoba mendorongnya agar bisa menghindar, tetapi justru menenggelamkanku dalam pelukan eratnya. Telingaku bisa mendengar jelas detak jantungnya begitu cepat.

"Aku mohon, jangan pergi dariku, Nduk," bisiknya lirih. Mataku memanas. Otakku menolak, tetapi ragaku tak bisa bergerak, justru terbuai dalam rasa nyaman. Aku pun masih merasa takut kehilangan.

"Astaghfirullah!" pekikku.

Kuusap wajah kasar saat menyadari jika kejadian sesaat lalu hanya mimpi belaka. Kusingkap selimut yang masih menutupi tubuh dan gegas beranjak ke kamar mandi. Kulihat waktu masih menunjuk pada angka 3. Masih ada waktu untuk mengadu pada Sang Maha Kuasa.

Mendirikan salat malam menjadi kebiasaan yang tak bisa kulepas sejak keluar dari pesantren dulu. Banyaknya manfaat dan hikmah membuat hati dan pikiranku terbuka hingga akhirnya tanpa diminta aku terbiasa melakukannya.

Hidup jauh dari orangtua meskipun masih dalam satu kota, membuatku dulu harus waspada, mengingat lingkungan tempat tinggalku saat kuliah dulu sangat rawan pergaulan bebas.

Ibu dan bapak tak pernah berhenti mewanti-wanti agar aku selalu berhati-hati. Begitu pun Gus Dafa, ah, selalu saja nama itu masih muncul di benak ini.

Meskipun dulu dia mengatakan jika setiap kalimat yang dilontarkan padaku adalah nasihat seorang guru kepada santrinya, tetapi bagiku itu merupakan bentuk perhatiannya. Sepercaya diri itu aku dulu. Namun semua harus berakhir kecewa. Ah, nasibku.

Selepas mendirikan salat malam, kusempatkan untuk mendaras Al Qur'an sembari menanti waktu Subuh tiba. Tak lupa kukhusukan Fatihah untuk orang-orang yang kusayangi usai tawasul kepada Nabi dan para sahabat serta para wali.

Sejenak aku termenung, mengingat mimpi yang beberapa saat lalu terjadi.
Apakah itu pertanda jika aku harus segera bertemu dengannya dan mendengar penjelasan agar hati ini benar-benar bisa melepasnya dengan legawa?

"Jika memang itu jalannya, aku akan mencoba. Bismillah, semoga segera tuntas rasa ini, agar tak ada lagi rasa tak nyaman dalam hati."

***

Hati dan pikiranku lebih lega usai membuat keputusan. Ya, aku akan menyampaikan hal ini pada Salma jika sudah siap bertemu dengan Gus Dafa. Memang benar, aku butuh jeda untuk menyelami rasa agar benar-benar tak lagi merasa kecewa.

"Gimana, Ay?" tanya Salma saat aku baru saja menaruh tas di meja. Suasana kantor masih lumayan sepi. Pak Ali pun juga belum nampak di meja kerjanya. Hai, ada apa dengan diriku? Sejak kapan aku memperhatikan meja kerja lelaki brondong itu? Astaghfirullah. Aku menggeleng pelan merutuki otakku yang berpikir tidak jelas.

"Heh! Malah geleng-geleng! Ditanyain gimana, kapan siap?" ulang Salma dengan bibir mengerucut lucu.

"Terserah, aku manut saja. Insyaallah aku sudah siap bertemu dengannya," jawabku optimis.

Kami pun kembali melanjutkan perbincangan seraya menunggu waktu bel berbunyi. Satu per satu para guru mulai berdatangan.

"Bu," sapa Pak Ali seraya berjalan mendekat ke meja. Obrolanku dengan Salma pun terjeda. Dia menyodorkan kunci motorku di hadapanku. Spontan aku menunduk merutuki diri yang mendadak jadi pelupa.

"Jenengan boleh lupa kunci sepeda, tetapi jangan lupa dengan jawaban untuk saya," ujarnya seraya tersenyum kemudian melenggang menuju meja kerjanya yang terletak di pojok ruang guru. Spontan Salma menepuk pipiku.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang