REUNI HATI

45 8 1
                                    

Rindu yang telah terpendam selama ini rasanya melebur kala kudapati dia ada di depan mata. Dia yang telah lama kusimpan namanya dalam bait-bait doa di hening malamku. Dia yang namanya sempat terganti dengan yang lain meskipun dia selalu bertahta di hati. Aku tahu itu berdosa, tetapi bagaimanapun tak dapat kupungkiri, jika getaran rasa ini masih sama hingga detik ini. Untuknya yang diam-diam kupuja, Ayatul Faizah.

Dulu matanya selalu berbinar kala bertemu denganku, tetapi kini tak lagi sama. Sorot matanya meredup kala menatapku. Seakan ada sebuah rasa yang tak dapat kuselami di manik mata coklatnya. Aku pasti telah membuat dia merasa sakit begitu dalam.

Aku tahu, dia telah menyimpan rasanya padaku sejak dulu meskipun awalnya mungkin hanya sebuah gurauan, tetapi aku sendiri juga tidak munafik jika tertarik padanya sejak pertama mendengar gumamannya waktu itu.

Sifat cerobohnya, ceplas ceplosnya seringkali menganggu tidur malamku. Diam-diam aku memimpikannya, kemudian malam demi malam kusebut namanya dalam keheningan.

"Aya, apa kabarmu, Nduk?" Kalimat itu akhirnya yang sanggup kukatakan untuk menyapanya. Empat tahun tak pernah berjumpa dengannya membuat gumpalan rindu di hati ini begitu menggunung.

Nduk, ya, aku menyematkan panggilan itu mulai saat ini dan seterusnya. Aku tidak peduli dia menyukainya atau pun tidak. Bagiku, panggilan itu amat kusakralkan. Tak semua orang kupanggil dengan sebutan itu, bahkan pada Amel.

"Ay," panggilku kembali saat takada sahutan darinya.

Dulu saat aku memanggilnya 'Ay' dia akan selalu membalas pesanku dengan kalimat yang membuat bibir ini tak berhenti untuk tersenyum.

'Ay itu Aya apa Ayang, Gus?'

Aya, Aya, aku benar-benar rindu suaramu, rindu kecerobohanmu. Aku benar-benar merindukanmu. Namun, saat kini dua sudah ada di depan mata kalimat yang telah kurangkai sejak lama  tak mampu kuungkapkan. Andai tak ada batasan inginnya kurengkuh dia dalam pelukan. Astaghfirullah.

Sosoknya yang dulu masih begitu polos tanpa polesan, kini sudah menjelma menjadi gadis dewasa yang begitu menyejukkan mata. Aku tak lepas menatapnya. Dia terlihat amat gugup. Padahal aku ingin sekali mendengar godaannya seperti dulu.

"Alhamdulillah, saya baik, Gus. Jenengan pripun? Ning Amalia pundi?" Dia mengulas senyum tipisnya kemudian menunduk. Aku tak segera menjawabnya, tetapi mataku tak lepas menatapnya.

"Nduk," panggilku bersamaan dengannya. Dia tersenyum. Aku pun berisyarat agar dia lebih dulu yang berbicara.

"Gus, ngapunten saya mau —" Aku mengangguk sebelum dia selesai berucap. Dia pun melangkah melewatiku. Aku tidak ingin menyiakan kesempatan ini, sebelum langkahnya menjauh dariku, kuberanikan diri untuk mengatakan padanya.

"Jika diizinkan, aku ingin bicara banyak hal denganmu usai acara nanti." Dia berhenti dan bergeming. Hatiku cemas menunggu jawab darinya. Tetapi, tak lama kemudian dia menoleh dengan tersenyum tipis seraya mengangguk.

Sebelum aku sempat mengatakan terima kasih, dia sudah berlalu dari hadapanku. Kurapal hamdalah berulang lirih. Tak terasa senyumku terkembang kala masuk ke ndalem.

"Le, kok ngguya ngguyu dewe iku, loh!" tegur Abah membuat wajahku memanas.

"Loh, kok malah abang wajahe?" Aku menggaruk keningku, bingung mencari jawaban yang tepat.

"Mboten nopo-nopo, Bah, niku wau, mmm ...." Astaghfirullah kenapa susah sekali mencari jawaban untuk pertanyaan mudahnya Abah?

Abah menepuk pundakku seraya berpesan agar aku segera bersiap jika nanti harus menemaninya ke rumah salah satu santrinya yang akan melangsungkan akad nikah bada Zuhur.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang