PERANG DINGIN (2)

43 5 2
                                    

Aku tersentak saat Salma menyenggol lenganku. Astaghfirullah, ternyata tadi aku melamun. Terlanjur senyum-senyum sendiri ternyata cuma khayalan tingkat tinggi.

"Salat malam sudah rajin, taat peraturan sudah mulai dijalankan, tapi kenapa jiwa halumu kalau mendengar nama Gus Dafa gak ilang-ilang, Ay?" Aku mendengkus kesal mendengar teguran Salma saat kami beranjak keluar kelas usai jam pelajaran.

Sore ini aku menyiapkan amunisi untuk berhadapan dengan Gus Dafa. Aku harus bisa konsentrasi. Jangan sampai terjadi sesuatu yang memalukan kembali. Apalagi seperti khayalanku tadi.

Sesuai dengan perintah Ustaz Hamdan, usai kegiatan ngaji bada Ashar aku bersiap menuju ndalem setelah menaruh kitab. Salma sempat mengingatkan agar aku tidak ceroboh saat bertemu Gus Dafa sebelum aku keluar kamar menuju ndalem. Tanpa sadar bibirku menggumam lagu arab yang diputar Gus Dafa saat aku menjalani hukuman. Meskipun aku tak begitu paham dengan artinya, tetapi irama lagunya menyayat hati.

Law kan da hob ya waili mino
law kan da zanbi matoub aano
Law kan naseebi aaeesh fey gerah
Hayaeesh fey gerah

Saat baru sampai di pintu samping ndalem aku bertemu Mbak Ana yang terlihat tergesa.

"Alhamdulillah. Baru saja mau ke kamarnya sampean, Mbak. Sudah ditunggu Guse di gazebo," ucapnya seraya mengelus dada. Dia terlihat lega usai mengatakannya.

"Makasih ya, Mbak Ana." Aku menjawab dengan senyum penuh semangat.

"Sik, Sik. Mbak Aya ada sesuatu sama Guse, to?" tanya Mbak Ana terdengar kepo sebelum aku sempat melangkah masuk. Aku tergelak.

"Belum, Mbak. Masih rencana," jawabku ngaco. Mbak Ana mengernyit. Dia terlihat bingung dengan ucapanku. Aku mengulum senyum. Kemudian kutepuk pundaknya.

"Ojo dipikir, Mbak. Wis aku tak masuk dulu." Gegas aku meninggalkan Mbak Ana yang masih kebingungan.

Langkahku mulai berat saat jantung ini berdegup lebih cepat. Selalu saja seperti ini jika akan bertemu dengan Gus Dafa. Semoga bibirku nanti bisa lebih terkontrol saat berhadapan dengannya.

Dari jarak 30 meter, aku melihat Gus Dafa sedang duduk bersandar seraya menggumamkan sebuah lagu. Secangkir kopi di meja turut serta menemani. Sesaat mataku terpaku dan terlena dengan suguhan yang menentramkan mata dan hati.

"Ngapain masih berdiri di situ?" tegur Gus Dafa membuyarkan lamunan sesaatku. Aku pun akhirnya melangkah menuju tempatnya dengan dada berdebar-debar. Rasanya seperti mau dilamar, eh, aku belum tahu, sih, bagaimana rasanya dilamar.

Gus Dafa memintaku untuk duduk di di seberang mejanya kemudian mengulurkan lembaran kertas yang kuterka teks pidato yang harus kupelajari.

"Pelajari dulu, kalau ada kesulitan tanyakan." Aku mengangguk. Sejenak aku membaca lembaran berbahasa Arab sebanyak empat lembar tersebut dengan teliti.

"Coba dibaca."

"Sekarang, Gus?" Gus Dafa mengangguk tanpa menatapku. Selalu saja begitu. Jangan-jangan dia takut terpesona denganku.

Aku berdeham sebelum memulai membaca kalimat demi kalimat yang tertera di teks. Dengan ilmu yang sudah diajarkan oleh Ustaz Hamdan beberapa waktu lalu dan beberapa contoh pidato yang kupelajari lewat YouTube, kupraktekkan dihadapan Gus Dafa meskipun sedikit grogi.

"Jangan dipotong pas bagian kalimat itu, Ay. Itu nanti merubah makna," sela Gus Dafa saat pertengahan aku membaca. Beliau memberi contoh cara membaca dan intonasi yang benar.

"Tapi kalau dibuat seperti itu nanti jadi kurang nganu, Gus." Aku masih kukuh dengan pendapatku sendiri.

Gus Dafa terdengar menggeram kesal. Aku tersenyum geli melihat ekspresinya. Ternyata tidak mengurangi kadar ketampanannya. Eh, astaghfirullah. Kenapa otakku kemana-mana?

Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang