TEKA-TEKI

46 3 6
                                    

_Aku memang tangguh, namun saat rindu ini kambuh, aku rapuh. Hanya doa-doa kecil yang bisa aku lakukan untuk menguatkan hati yang perlahan mulai lumpuh_ (Idrishann)

Tangis yang sempat tertahan akhirnya luruh tak dapat terbendung bersamaan dengan langkah kaki. Sesak di dada tak bisa lagi menahan. Kalimat Gus Dafa saat mengucapkan kata maaf justru semakin membuat hatiku hancur. Benteng pertahanan yang sudah kubangun nyatanya harus runtuh kembali.

Kenapa baru sekarang dia mengatakan semuanya? Kenapa tidak sejak dulu agar aku juga bisa ikut andil memperjuangkan perasaanku?

"Ay, kamu baik-baik saja, kan?" Pertanyaan Salma tak kutanggapi saat kutemukan dia duduk di saung yang tak jauh dari pintu keluar warung. Aku hanya ingin menangis dan menangis menyesali pertemuan hari ini. Salahku memberi dia kesempatan untuk bicara. Salahku sok kuat saat bicara di hadapannya.

Faktanya aku tidak sanggup mendengar semua kenyataan yang sejak lama hanya tertahan dalam pikiran. Semua kata yang sempat kurangkai hanya sampai di tenggorokan.

Dugaanku tentang perasaannya dulu berarti benar, harusnya kini aku bahagia mendengarnya, tetapi kenapa justru rasa sakitnya tak tertahan?

Kalau memang dia mencintaiku, kenapa dia tega meninggalkan diri ini menikah dengan perempuan lain tanpa pamit? Ah, aku lupa jika dia mungkin menganggapku tak punya hati. Lalu, salahkah aku jika akhirnya harus pergi dengan membawa luka sendiri tanpa dia tahu?

Memoriku masih menyimpan kenangan tentang hari itu. Hari di mana sebuah undangan berwarna maroon bertebaran di grup alumni. Dada bergemuruh seakan duniaku runtuh.

Ahmad khudzaifa & Amalia Hikmah

Dua nama itu terlihat serasi tertulis pada undangan. Aku terduduk lemas kala membacanya. Mimpi dan harapan yang telah kubangun seakan hancur, luluh lantak seketika. Bayangan setelah wisuda akan bersanding dengan Gus Dafa akhirnya tak pernah menjadi nyata.

Saat itu, kegiatan PPL masih berlangsung. Kekalutan hatiku berdampak buruk pada aktifitas praktek mengajar. Berkali-kali teguran kudapatkan dari guru pamong saat salah menyampaikan materi.

Hingga seminggu berlalu foto pernikahan mereka berdua masih bertebaran di media sosial para alumni. Senyum bahagia terpancar jelas dari mempelai dan keluarga. Aku hanya mampu menatap nanar rona bahagia di wajah mereka. Aku sempat linglung dan rasanya tak ada gairah untuk hidup. Entah rasa yang meliputiku saat itu obsesi atau memang cinta.

Mengenalnya memberiku banyak perubahan. Tanpa paksaan aku mau mempelajari banyak hal, terlebih tentang ilmu agama. Dua buku yang dia berikan waktu itu memberiku banyak pengetahuan yang belum kudapatkan saat tinggal di pesantren dulu.

Tak sungkan aku menjadi banyak bertanya pada Gus Dafa jika ada hal yang tak kupahami, meskipun sebenarnya hanya untuk basa-basi agar bisa mengobrol dengannya lewat barisan pesan.

"Gus, kenapa kita dianjurkan untuk banyak membaca Fatihah?" Satu pertanyaan itu muncul keesokan harinya usai Gus Dafa menganjurkanku untuk mengkhususkan Fatihah, dan juga surat An-Nur waktu itu.

"Fatihah itu banyak manfaatnya, Ay. Selain itu, Fatihah juga merupakan surat yang keramat."

"Maksudnya?"

"Jadi saat ayat ini diturunkan iblis merasa amat kesakitan karena syok mendengar ayat tersebut. Sakitnya si iblis ini hingga mengundang para pengikutnya yaitu syetan dan balakurawanya." Aku mendengar penjelasannya lewat voice note yang dikirimnya dengan seksama.

"Kemudian Iblis berkata pada pengikutnya: "Fisikku ini tidak sakit, tetapi yang sakit itu jiwaku. Bagaimana aku tidak sakit, jika misi terbesarku untuk menjerumuskan manusia harus digagalkan oleh ayat itu?  Barang siapa melafalkannya dijamin selamat dari neraka."

"Para pengikutnya pun akhirnya kalut dan bertanya pada iblis, " Lalu, apa yang harus kita lakukan agar mereka tidak melafalkan ayat itu?

Iblis pun menjawab, " Buat mereka lalai dan lupa sehingga mereka tidak melafalkan ayat tersebut."

Gus Dafa masih kembali melanjutkan penjelasan tentang kekeramatan surat tersebut. Hingga aku bisa mengambil kesimpulan, semakin sering kita melafalkan ayat tersebut semakin dijaga pula kita dari siksa api neraka.

Hingga saat ini aku masih melakukan anjuran Gus Dafa. Tidak ada yang kuubah kebiasaan yang pernah menjadi pesan terbaiknya untukku. Yang kuubah hanya perasaan, yang dulu menggebu kini harus berusaha kulebur. Sudah cukup bukan rasa sakitku saat dia pergi dengan yang lain?

***

Hampir semalaman mata tak mampu terpejam. Otak masih dipenuhi dengan kalimat Gus Dafa tadi siang. Pikiran juga masih tak mampu menghilangkan bayangan wajah yang sekian lama menempati hati, meskipun kini berusaha untuk dilupakan.

Aku masih berusaha mencerna kalimatnya kemarin. Jika dia sudah sendiri dan Ning Amalia bahagia dengan yang lain, lalu pernikahan itu? Mungkinkah dia berpisah? Apa masalahnya? Lalu senyum yang ditampakkan saat acara pernikahan itu apa? Apakah hanya sandiwara saja?

Ah, kenapa pertanyaan itu justru berputar-putar di otak? Rasa penasaran mengoyak hati. Tapi, aku tidak mungkin menanyakan ini padanya. Sama saja itu memberi kesempatan untuk membuka peluang dia mendekatiku kembali. Sedangkan posisiku saat ini ingin melupakannya.

"Astaghfirullah," gumamku lirih seraya mengusap wajah kasar.

Kupoles wajah dengan pelembab dan bedak tabur tipis. Tak lupa celak mata untuk menutupi mataku yang sembab, serta lipstik dengan warna yang sedikit lebih cerah agar wajah sedihku tak terlihat.

Aku sudah bersiap berangkat menuju sekolah. Bapak sudah berangkat ke sawah sejak pagi, sedangkan ibu yang memang merupakan ibu rumah tangga terlihat sibuk dengan menata bunga yang ditanamnya.

"Bu, Aya berangkat dulu," pamitku seraya mencium tangannya. Ibu mengusap kepalaku dengan sayang.

"Kamu sehat, kan, Nduk?" tanya Ibu saat mengusap pipiku. Dia terlihat menelisik wajahku. Semoga kesedihan yang sempat melanda tak terbaca olehnya. Segera kutampilkan senyum untuk menutupi semuanya.

"Aya sehat dan baik-baik saja, Bu. Ibu gak usah khawatir," ucapku menenangkannya.

"Cerita sama ibu kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri, Nduk." Aku mengangguk.

"Njih, Ibuku sayang." Kucium pipinya sekilas dan segera berjalan menuju sepeda.

"Pak Ali, kapan ke sini lagi, Nduk?" Tanganku pun urung menstarter sepeda mendengar pertanyaan Ibu. Pertama kalinya ibu menanyakan teman lelakiku. Apakah ibu amat berkesan dengan kehadiran sosok Pak Ali beberapa waktu lalu? Andai yang datang ke sini Gus Dafa, apakah ibu juga akan melontarkan pertanyaan yang sama?

Astaghfirullah, kenapa dia lagi? Pak Ali bukan Gus Dafa. Ingat, Ay.

"Ya mungkin besok atau kapan, Aya gak tau, Bu. Ya udah, Aya berangkat dulu. Assalamualaikum." Gegas kuhidupkan mesin sepeda dan melajukannya menuju sekolah yang berjarak sekitar 7 kilometer dari kediamanku.

Sepanjang jalan bibirku tak henti menggumamkan lagu Arab yang tengah booming akhir-akhir ini. Aku ingat gojlokan teman kuliahku dulu saat aku bernyanyi dengan memainkan gitar.

"Ay, kamu itu kayaknya salah jurusan. Harusnya ambil sekolah seni apa musik gitu loh, biar bakatmu itu semakin berkembang. Malah ambil Biologi." Aku tertawa mendengar ujarannya. Bagiku menjadi guru adalah sebuah cita-cita. Bermain musik dan bernyanyi adalah hobi. Bisa dipelajari sewaktu-waktu.

"Senyum-senyum sendiri, Bu," sapa sesemas yang tak lain Pak Ali saat aku baru saja menaruh helm.

"Kelihatannya sedang bahagia? Habis ketemu mantannya pasti ya kemarin reuni," ledeknya membuatku urung turun dari sepeda. Pak Ali masih berdiri di samping sepeda magic besarnya seraya menatapku intens.

"Jenengan itu kenapa bahasanya kayak orang cemburu ya?" ucapku seraya menelisik wajah Pak Ali yang tiba-tiba menegang.

"Ya kalau saya cemburu gak masalah, kan, Bu? Bukankah saya juga punya hak mendekati jenengan?" sahutnya penuh percaya diri. Aku hanya mengendikkan bahu dan beranjak menuju kantor.

"Saya gak main-main dengan ucapan saya, Bu. Saya akan memperjuangkan perasaan saya untuk jenengan." Langkahku terhenti. Seketika duniaku berhenti. Dadaku berdebar hebat. Kalimat itu yang kuinginkan sejak dulu terucap dari bibir Gus Dafa, tetapi kini, justru aku mendapatkannya dari orang lain.



Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang