KOPI AMBYAR

65 7 2
                                    

Wajah-wajah garang seperti Singa yang siap menerkam mangsanya tengah duduk berhadapan denganku. Tatapannya mematikan bak hunusan pisau tajam yang siap menikam. Ibarat bergerak saja kulit ini akan terluka olehnya. Jika tatapan Gus Dafa memabukkan, ini sebaliknya, memuakkan.

Di sini lah aku sekarang. Di ruang keamanan berhadapan dengan para pengurus yang paling ditakuti dan disegani oleh para santri. Mereka tak segan-segan memberi hukuman jika sedikit saja kami melanggar peraturan pesantren.

Akibat celetukan spontan yang terlontar dari bibirku, pihak keamanan ternyata tidak tinggal diam. Azizah dan Salma memintaku untuk diam selama Gus Dafa memberi sambutan, padahal bibirku gatal ingin meneriakkan kata-kata indah untuknya. Akhirnya, aku hanya menikmati tutur syahdu yang keluar dari lisan si pemilik wajah rupawan itu.

"Mbak Aya. Sampean itu sudah termasuk santri senior di sini. Harusnya menjadi contoh adik-adiknya yang masih di tingkat Tsanawiyah. Adab dan sopan santun harus digunakan terlebih jika berhubungan dengan keluarga ndalem." Aku hanya mengangguk.

"Hormat dan taat pada zuriyah itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai santri. Jangan melakukan hal tidak sopan seperti tadi," imbuh sesembak lain.

"Njih, Mbak," jawabku malas.

"Njih-nya jangan di bibir saja. Ntar diulangi lagi." Bibirku hampir saja mengumpat, tetapi otakku mengatakan agar tak sampai melakukan hal tersebut. Bisa jadi malah bertambah hukumanku nanti.

"Ini sudah selesai, kan, Mbak? Hukumannya mulai besok?" tanyaku tenang seakan tak ada beban. Mereka menggeleng seraya menatapku.

"Mbak Aya, sampean ini, kok, gak ada takut-takutnya ya ditakzir. Apa perlu kita  hadapkan sama Abah yai biar sampean itu lebih jera?" Mungkin mereka sudah jengah menghadapi kelakuanku sampai mengatakan hal tersebut. Namun, jika sampai aku dihadapkan ke Abah kiai, bisa turun reputasiku di hadapan Gus Dafa.

Oke, fix! Aku harus berpura-pura merasa bersalah dan merasa kapok dengan hukuman ini.

"Ngapunten lo, Mbak e.¹Bukan saya tidak takut atau kapok dengan hukuman ini. Saya tadi cuma tanya, sudah selesai apa belum, soalnya saya lapar, Mbak." Mereka mengembus napas entah lega atau kesal. Tak lama kemudian mereka mengizinkanku untuk keluar ruangan usai mengingatkan hukuman yang harus kujalankan mulai besok.

Aku melenggang meninggalkan ruang keamanan dengan langkah tanpa beban. Salma dan Azizah yang sejak tadi menunggu di teras kantor berdiri menyambut, seakan tuan putri yang mereka tunggu telah datang. Putri tidur maksudnya.

"Kelendi, Ay?"²Azizah langsung heri alias heboh sendiri saat aku sampai di hadapannya.

"Aman suratman." Sebuah cubitan mampir di lenganku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Salma.

Sebelum Azizah bertanya lebih banyak, aku menarik mereka berdua agar segera meninggalkan kantor pesantren. Sepanjang jalan Azizah tak berhenti bicara. Salma pun demikian. Wajah saja yang kelihatan kalem, tetapi mulutnya gak bisa diam. Itulah mereka berdua.

"Byalak! Makane iro iku hing katon susah."³ Azizah menoyorku usai mendengar hukuman apa yang telah diberikan padaku oleh para pengurus.

"Ojo ngisin-ngisini maneh, Ay. Ngko nyapu ndalem enek Gus Dafa ngowoh maneh. Kok, nganti jejeritan tak kosek mubeng sirahmu!"⁴ ancam Salma seraya mengepalkan tangan kanannya. Aku hanya tertawa geli melihat kecerewetan dua teman baikku itu. Beruntungnya memiliki mereka.

***
"Mbak, tolong buatkan ...." Gus Dafa menggantung kalimatnya dan menatapku tanpa berkedip. Aku yang tidak siap dengan keadaan hanya mampu mengerjapkan mata. Sepagi ini sudah mendapat rezeki nomplok bertemu dengan pujaan hati. Benar-benar rezeki anak salihah.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang