12. Fakta yang Sebenarnya

63 15 0
                                    

Jangan lupa vote sebelum baca, happy reading!

------

NAH, di sini barulah aku melihat sebuah rumah normal. Cahaya kuning keemasan berbaur dengan segala sesuatu yang mengilap pada interiornya. Rumah ini bagai diterangi oleh emas yang ada lampunya.

"Eh, udah pulang?" kata seseorang. Otomatis aku dan Arsell menoleh.

Arsell tersenyum kepada lelaki tinggi yang tampan itu, lalu aku bergumam dalam hati 'pasti-kakaknya, semoga-kakaknya'.

"Iya, kebetulan Devan lagi geser otaknya jadi bisa gampang dibawa ke sini."

Lelaki itu terkekeh. "Yauda sana, inget kalau ngapa-ngapain jangan kejauhan," ujarnya menggoda namun bukannya ikut merasa hal itu lucu, aku malah menahan marah.

"Apaan sih. Gak lucu Bang." celetukku pelan.

Namun ternyata Arsell menoleh kepadaku dengan dahi berkerut, begitupun dengan laki-laki itu yang kembali berhenti berjalan saat hendak menghilang dari pandangan kami. Maksudku, yah.. aku kan laki-laki, tentu aku menyukai hal-hal seperti itu. Hanya saja mendengarnya dari orang asing yang tidak kukenal rasanya jadi agak menjijikan.

"Gue udah bilang otaknya rada geser sekarang," kata Arsell membela. Dia menggerak-gerakan tangannya untuk mengusir lelaki itu. Kemudian melanjutkan menggiringku ke sebuah pintu.

Aku melihat sebuah bubbletext terbuat dari gabus berwarna yang menggantung di pintunya. Tulisannya adalah: Di sini beristirahat Maharani dengan tenang.

Lalu tawaku membahana ke seluruh ruangan. Melupakan perasaan kosong-geli-marah dan apapun yang kurasakan tadi. Arsell yang sedang mengambil kunci dari dalam tas kecilnya buru-buru mendongak padaku.

"Kenapa lo?" tanyanya.

Namun aku masih tertawa-tawa, seolah seseorang sudah memasukkan alat penggelitik ke dalam perutku. Aku mengusap sudut mataku yang berair dan menengok ke belakang untuk memastikan lelaki tadi tidak muncul lagi.

"Arseilla Maharani," kataku menyebutkan nama panjangnya. "Gue gak tahu lo gokil juga."

Ups. Aku mungkin harusnya membeku karena lagi-lagi seharusnya Arsell sudah tahu bahwa aku tidak mengenalnya seperti Arga yang mengenalnya selama ini. Aku akan mencoba peruntungan celetukanku kalau nanti dia menyadarinya.

"Lo semacam kebentur apa gimana sih?" katanya, tak urung tertawa geli juga melihatku. Dia memutar kunci dan membuka pintu, aku masuk mengikutinya di belakang.

Kamar cewek, benar-benar membuat perutku mual mencium bau feminin yang menguar dan segala sesuatu yang berwarna merah muda pastel ini membuat mataku sakit. Terlalu perempuan sampai-sampai aku merasa telah mengenakan gaun dan berubah menjadi perempuan ketika memasuki kamar Arsell.

Padahal aku lebih suka cewek yang agak boyish. Seperti Amanda, misalnya.

Aku melangkah semakin masuk dan berhenti di depan meja rendah yang ditempatkan di seberang tempat tidur. "Lo belum jawab pertanyaan gue," kataku.

Arsell menaruh tasnya di atas meja rendah di depanku beserta tas-mapku. "Yang mana?" tanyanya sambil bergerak untuk menutup tirai yang sepertinya (karena sangat tipis) berfungsi untuk menghalangi ranjangnya. Juga beberapa baju-baju modis berbagai bentuk yang dia gantung di setiap sudut.

"Tempat yang di bawah," jawabku sambil memandangi setiap sudut kamarnya.

Di belakangku ada meja belajarnya: bukunya sedikit, makeup-nya berserakan. Lalu poster-poster artis barat: Logan Lerman (aku tahu karena pernah nonton Percy Jackson), beberapa yang menampilkan badan sixpack dengan kulit kecokelatan, dan Zac Efron (nah kalau yang ini aku juga tidak tahu kenapa aku tahu).

Just, Devan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang