23. Hari Terakhir

43 10 0
                                    

Bacanya sambil dengerin lagu Jay Waetford - Shy yaaa biar makin ngefeel haha.

Happy reading!

.

.

.

---

DIA membawakanku dua toples penuh kue. Aku melihatnya dengan mata berbinar, lalu menampilkan ekspresi yang mungkin sedikit menjijikan bagi Arsell, karena dia mengerutkan hidung dengan tatapan mencemooh.

"Kalau gue tahu lo suka kue segininya, dari dulu gue bikinin deh kue-kue buat lo."

"Jadi ini lo yang bikin?" tanyaku takjub.

"Nggaklah, yang ini beli. Tapi gue bakal belajar bikin kue buat lo," katanya dengan senyum menggoda.

Aku tergoda, jadi aku menyenggolkan bahuku pada bahunya yang sudah duduk di sebelahku. Pulang sekolah ini dia mengajakku ke Prongs karena ingin ditemani. Begitu katanya, tapi aku tahu dia kangen aku. Meskipun baru kemarin kami melarikan diri bersama.

Tanganku mulai bergerak mengambil kue dan memakannya dengan lahap, lupa diri bahwa di sebelahku ada Arsell: kecantikan yang kuabaikan karena kue.

Aku melirik ke arahnya begitu menyuapkan kue ke-sembilanku. Dia langsung terlihat menarik napas panjang dan mengangkat bahu pelan-pelan. Kedua matanya membulat penuh harap menatap kepadaku.

Waduh, itu semacam kode atau apa? Aku tidak berguru kepada Milo atau Wello, karena tidak mungkin memberitahu mereka kalau aku punya pacar. Seorang Arseilla Maharani lagi, bah!

Jiwa inisiatifku langsung muncul, aku mengambil satu kue dan berniat menyuapkannya kepada Arsell. Namun gadis itu jadi cemberut dan menggeleng kepadaku. Ya sudah, aku masukan saja kue itu kepada mulutku.

Sedetik kemudian aku merasakan kepala Arsell sudah bersandar di belikatku. Apakah dia sedang ada masalah?

"Kenapa?" tanyaku. "Ada masalah?" Aku menanyakan hal itu dengan sedikit was-was.

Arsell menggeleng pelan. "BH," katanya.

"Hah??" aku sedikit terlonjak sampai-sampai Arsell harus menegakkan kembali kepalanya.

Dia tersenyum geli menatapku. "Butuh Hiburan," lanjutnya lalu terkekeh.

OH. Aku kira apa. Sebenarnya, kalau jadi Ardan, aku akan dengan senang hati menunjukan berbagai kesenangan yang sering kulakukan. Aku bisa bermain di basecamp Chun, mengunjungi Dullon, mengajaknya balapan motor, mengajarinya rollerblade, mengerjai orang-orang, ataupun mengajaknya ke Lakyre dan menunjukan betapa mengangumkannya seorang Devan Zivardan.

Tapi Arga.. aku tidak yakin harus mengajaknya ke perpustakaan dan menunjukan bahwa bumi itu bulat, lalu menunjukan gambar-gambar teori evolusi beserta kawan-kawannya. Oh ya, aku lupa sesuatu.

Kalau Arga, mungkin akan mengajaknya karaoke. Arga punya suara yang bagus. Maksudku, suara kami hampir sama, hanya saja saat menyanyi, suara Arga mendadak seribu kali jauh berbeda dengan suaraku.

Mungkin dengan menyuruh kami bernyanyi, orang-orang langsung akan bisa membedakan mana aku dan mana Arga. Hanya saja, sayangnya Arga tidak suka bernyanyi. Waktu aku tanya kenapa dia tidak suka bernyanyi, dia bilang nanti cewek-cewek semakin mengejar-ngejarnya. Dia bodoh ya? Kalau aku pasti sudah melakukannya sejak lama.

Eh tunggu deh, ternyata aku juga sama dengan Arga. Aku bisa bermain musik tapi tidak pernah mau Bunda masukan ke les piano. Sepertinya bakat kami adalah tidak menunjukkan bakat.

Just, Devan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang