1. Devan yang Mana?

546 40 8
                                    

Hai! Selamat datang di bab pertama Just, Devan. Cerita Ardan ini aku buat salah satunya karena terinspirasi pas lagi dengerin lagu Beast - 12.30, karena vibe-nya ngena banget buat keseluruhan ceritanya. Jadi aku putusin kalau lagu ini adalah theme song-nya Just, Devan deh. Iya lagu jadul banget haha abisnya ini juga ditulis thn 2016 so sekalian nostalgia kpop jadul lah ya..

Anyway, happy reading!

.

.

.

----

AKU telah membunuh hampir lima belas orang dalam waktu kurang dari sembilan menit, ketika Devan memasuki kamarku: membuka pintu kasar lalu membantingnya dengan keras.

"Ah sial," umpatku kesal. "Gagal headshot gara-gara lu!" makiku kepada Devan sambil meratapi kekalahan Sniper-ku. Namun begitu melihat keadaannya sekarang, rahangku seolah baru saja mendapat gaya gravitasi yang lebih besar dari biasanya.

Bruk!

Devan melempar tasnya yang basah dan err.. bau menyengat kepadaku tanpa aku sempat menghindar. "Gara-gara lo!" katanya melotot. "Gue jadi kayak gini."

Aku melempar tasnya asal sambil memasang ekspresi jijik dan mau muntah. "Gue? Emang gue ngapain?" Aku menatapnya dari atas ke bawah. Seragam SMA-nya basah dan kotor. Lalu pandanganku kembali ke wajahnya yang mengeras. "Lo kenapa? Sama siapa? Sini gue yang hajar!" kataku sambil berdiri dan mengepalkan tangan, siap menyerang.

Devan melangkah lebar-lebar ke arahku. "Sebelum lo hajar mereka, gue duluan yang ngehajar lo!" katanya lalu menerjangku, membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat ke lantai, ponselku tertindih dan berteriak kesakitan.

"Kok jadi gue?" teriakku ketika Devan hendak meninju, namun tanganku menahannya. Tubuhnya ada di atas tubuhku dan kakinya bergerak-gerak agar lututnya menekan perutku. Kedua kakiku sendiri berusaha mengunci kedua kakinya namun dia selalu bisa mengelak.

Hingga sebuah teriakan menghentikan aksi saling bunuh kami. "Devaaaan!!"

Devan memandangku dengan sorot mata yang kesal, namun tidak berniat melepaskanku. Posisi kami persis seperti adegan film aksi yang dijeda.

Aku menelan ludah, merasa ragu untuk membalas panggilan Bunda, apalagi dengan Devan yang menatapku garang. "Dev- Devan yang mana, Bunda?" teriakku dengan geragapan.

"Devan yang ninggalin jejak kotor di lantai!" balas Bunda, kali ini suaranya terdengar marah.

Aku menghembuskan napas lega dan secepat kilat mendorong tubuh Devan menjauh. Mengambil ponsel di bawah tubuhku lalu menaruhnya ke atas meja agar aman dan tidak hentinya bersyukur karena bunda tidak menyadari persediaan teri satu kilonya telah hilang dari kulkas.

"Ikut turun!" bentak Devan, dia menarik bajuku dan bangkit untuk menyeret-nyeretku.

"Lah? Kenapa? Ngapain gue ikut turun?"

Devan menoleh dengan slowmotion yang horor. "Udah gue bilang ini semua gara-gara lo! Sean bikin gue gini gara-gara dia ngira gue itu elo!"

"Hah?" Aku terkejut sebentar, lalu memutar bola mataku ketika mengingat Sean. "Kenapa lo gak bilang kalau lo Arga?" tanyaku ketus.

"Lo pikir gue bakal iya-iyain aja jadi lo waktu tahu mereka mau ngerjain gue? Ya gak lah Bego! Gue udah bilang kalau gue Arga tapi mereka gak percaya."

Baru saja aku akan menjawab lagi, suara itu terdengar lagi. "Devan yang ninggalin jejak kotor!" seru Bunda makin marah.

Aku menahan tawa sekuat tenaga. "Alamat nama lo bakal diganti jadi Devan yang Ninggalin Jejak Kotor kalau lo gak cepet-cepet ke bawah!" seruku sambil melepaskan cengkeraman tangannya.

Just, Devan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang