#1 : PRIDE pt. 1 - 名残 (Remnants)

208 17 5
                                    

Zen menatap anting hanafuda yang dititipkan oleh kakeknya di telapak tangan. Mata hitam gelapnya seolah tak mau melepaskan pandangannya, mengingat kakeknya adalah satu-satunya orang yang bersedia menjadi keluarganya telah pergi untuk selamanya. Air mata mulai menumpuk di pelupuknya, membuat seseorang yang mengantarkan anting-anting itu kepada Zen menghela napas sedih—turut berduka.

“Tuan Kagurazaka juga menitipkan sebuah pesan untukmu,” katanya sambil menyerahkan sebuah lipatan kertas kepada Zen.

Ketika dibuka, Zen melihat gaya tulisan Jepang yang rapi dan lurus khas kakeknya. Dia membacanya dengan perlahan.

Turutilah keinginanmu, pelajari Jujutsu lebih dalam untuk menyelamatkan banyak orang. Ini adalah saat yang tepat untuk melakukannya. Carilah takdirmu sendiri, jangan terjebak masa lalu sepertiku. —Kakek

Setitik air mata jatuh membasahi kertas kecil itu, bersamaan dengan tekad dan keinginan kuat dari dalam hati. Selama ini kakeknya tidak pernah meminta apa-apa kepada Zen, karena itulah saat ini gadis itu bertekad untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya.

###

Bel makan siang sudah berbunyi sejak tadi, namun Zen masih ada di kelas untuk menyingkirkan barang-barang dari loker kelasnya. Dia bahkan tidak membawa bekal makanan karena Zen berpikir untuk langsung pulang setelah ini. Akan tetapi, Zen sama sekali tidak menduga surat pindah sekolah yang diajukannya kepada Kepala Sekolah akan ditolak dengan alasan tidak ada tanda tangan wali. Zen menghela napas kasar, tidak tahu apa yang bisa dia lakukan untuk pindah ke Tokyo. Dia harus mencari SMA Jujutsu, dan informasi seperti itu paling sering terdengar di ibu kota.

Sejak kecil Zen tidak tahu siapa ayahnya, dan ibunya yang pelacur itu menelantarkannya sejak umur 5 tahun. Satu-satunya yang dianggap sebagai keluarga oleh Zen hanyalah kakeknya, dan sekarang beliau sudah tidak ada. Gadis itu juga tidak memiliki orang lain yang peduli dengannya. Jangankan keluarga, teman saja Zen tidak punya. Dia lebih suka menyendiri sambil menggambar di tempat duduknya, menyembunyikan hawa keberadaan supaya orang lain tidak menyadarinya.

Hal itu bukannya tanpa alasan, tapi Zen sama sekali tidak ingin membuat orang lain ketakutan hanya karena dirinya. Zen terkadang tidak sadar terdiam sambil menatap ke satu ujung, di mana makhluk-makhluk aneh bernama kutukan itu berada. Terkadang dia juga secara refleks berjengit ketika melihat kutukan lewat si koridor sekolah. Hal itu selalu berujung dengan orang-orang lain yang menatapnya aneh dan takut.

Zen menutup lokernya setelah selesai menyingkirkan seluruh buku dan barang-barang yang tersisa, bersamaan dengan Kepala Sekolah yang masuk ke dalam kelas. Pria gemuk itu memanggil Zen.

“Kagurazaka.”

“Ya, Pak Kepsek?” tanya Zen tanpa melirik sedikit pun ke arah pria itu. Dia malah sibuk merapikan barang-barang yang ada di dalam tasnya supaya muat.

Pak Kepsek bertanya kepada Zen. “Kau tadi mengajukan surat pindah, tapi pindah ke mana? Kau tidak mungkin serius menulis SMK Jujutsu atau apalah itu sebagai sekolah yang ingin kau datangi. SMK seperti itu tidak ada di manapun.”

“Saya serius, Pak. Jika tidak, kenapa saya harus repot-repot membuang waktu menulis surat izin pindah sekolah dan memberikannya langsung kepada Bapak?” Zen bertanya balik sambil menutup ritsleting tasnya. Dia lalu berdiri menghadap pria itu.

“Setidaknya kau harus punya tanda tangan orang tua atau wali, tapi surat izin yang kau berikan tadi sama sekali tidak ada tanda tangan wali. Secara aturan, Bapak tidak bisa mengizinkan,” jawab Pak Kepala Sekolah.

Zen menahan diri untuk tidak menggaruk kepalanya karena frustrasi. “Bapak tahu kan, Kakek yang merupakan satu-satunya wali saya sudah meninggal? Saya tidak punya wali lain selain Kakek saya—...”

THE LAST THIRD-EYE (最後の第三の目)| Jujutsu Kaisen fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang