Seluruh mata kini tertuju pada Azora termasuk pria itu.
"Zora, kenapa?" tanya Angelin lembut, tatapan khawatir menyoroti.
Azora menoleh lalu dengan cepat mengelengkan kepala. "Zora gak papa, Bunda. Sepertinya maag Zora kambuh, Zora lupa belum makan hari ini," kilah Azora dengan baik.
"Gimana bisa?" Kini Zivan yang bertanya, nada suara yang sedikit naik menandakan ada emosi yang cukup tinggi pada ucapan Zivan.
"Zora lupa, Ayah. Maaf tadi terlalu semangat bantuin Bunda masak," tutur Azora sambil menundukan kepala tak berani menatap sang Ayah. Azora takut bohongnya ketahuan, Zivan tak suka jika anak-anaknya berbohong maka sedari kecil mereka terbiasa jujur meskipun sepahit apapun kejujuran itu. Namun, saat ini Azora tak memiliki cara lain dan entah sejak mengandung Azora menjadi lihai sekali berbohong, dia merasa sangat berdosa.
"Ra, gue anter ke kamar ya? Lo istirahat aja, lo pasti cape bantuin persiapan gue, maaf ya," loroh Azorin yang terlihat merasa bersalah atas apa yang menimpa Azora saat ini. Azora menatap Azorin lalu dia menggeleng kencang, ia lah yang harusnya merasa bersalah bukan Azorin, dia sedikit mengacau di sini.
"Engga, gue gak papa, Rin," tukas Azora yang kini terlihat semakin pucat, dia saat ini tengah mati-matian menahan rasa mual apalagi dengan tatapan Raffael yang sedari tadi entah mengapa tak lepas mengarah padanya dan itu membuat perutnya semakin terasa di aduk-aduk. Apa anaknya kini tengah marah pada orang tuanya? Apa ini bentuk protes dari anaknya? Apa begitu, tapi kandungan masih sangat kecil.
"Biar Aaron aja yang antar Kak Zora ke kamar," tutur Aaron menawarkan diri.
"Biar sama Bella aja, Kak," tawar si bungsu yang langsung di sanggah oleh Aaron.
"Gue aja, Ra. Maaf sebelumnya, saya permisi sebentar," ujar Aaron.
Azora yang sudah tak banyak memiliki tenaga kini hanya menurut saja, menerima rangkulan Aaron yang memapahnya dengan pelan dan telaten.
"Aunty Zora kenapa, Moma?" tanya Brian sayup Azora dengar.
Sesampai di kamar atas milik Azora, Azora langsung berlari kearah kamar mandi memuntahkan sesuatu yang sedari tadi mendorong akan keluar dari tenggorokannya. Entar sudah berapa lama namun, Azora kini mulai lemas dan yang keluar dari mulutnya kini hanya cairan bening.
Aaron senantiasa mengusap-ngusap lembut leher Azora, menemani dengan sabar tanpa suara. "Udah, Kak?" tanya Aaron saat melihat kakaknya kini tak lagi muntah.
Azora mengangguk lemah, Azora menegakkan tubuhnya namun dia tak kuat, kakinya kini terasa seperti jelly dan pada akhirnya Aaron mengangkat tubuh sang Kakak masuk ke kamar dan merebahkannya di atas kasur. Dengan telaten Aaron melepas kedua sepatu yang Azora kenakan lalu tanpa di minta Aaron sedikit melakukan pemeriksaan, denyut nadi dan dengan diam Aaron sedikit meraba-raba perut sang Kakak, menekan-nekan dengan pelan dan saat merasakan itu Azora langsung menahan tangan Aaron, tetapi napaknya sudah terlambat, meskipun ekspresi Aaron tak berubah tetap dengan wajah datar.
"Siapa Kak?" tanya Aaron dingin dengan mata menusu tajam.
Kini jantung Azora terpacu dengan begitu cepat, keringat mulai terlihat mengkilap di daerah dahi. Azora menggeleng. "Maksud Aaron apa?" Azora hanya mencoba sebuah peruntungan, dia tau Aaron bukan orang yang mudah di perdaya.
"Kak. Aku tahu, aku calon dokter kandungan. Gerak-gerik Kakak itu cukup buat aku tau apa yang terjadi sama Kakak, stop berbohong kak, anak ini patut untuk di akui keberadaanya," tandas Aaron.
Azora meremat tangan Aaron dengan kencang, mata nya kini kembali memerah menahan tangis. "Jangan kasih siapa-siapa ya, Dek, termasuk Ayah sama Bunda. Kakak mohon, biar ini jadi rahasia kita," ujar Azora memohon pada adiknya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart's II : Azora [Revisi]
Roman d'amour📌 SQUEL MY HEART'S My Heart's II : Azora Bagaimana rasanya menjadi Azora. Menghancurkan hati dan hidup kembarannya dengan sekali hantam. Bukan, Azora bukan tokoh antagonis disini, namun takdir menuntun untuk hal yang tak pernah Azora sendiri ingin...