PEMALANG, 2019
"Enten menopo to Mi? Koyone ... Ifa lihat, Umi kok seneng banget?" Haifa merasa heran pada ekspresi Uminya malam ini setelah baru saja ia kembali dari masjid.
Hajah Ruminah meletakkan figura foto yang menampakkan gambar putra sulungnya di atas meja tamu. Wanita paruh baya itu menatap lekat wajah putrinya seraya meraih kedua tangan gadis 20 tahun itu agar mau duduk di sampingnya.
"Mas-mu, Fa... Mas-mu mau pulang." Hajah Ruminah sibuk menyeka air matanya penuh haru.
"Masya Allah, Alhamdulillah...," ucap Haifa, "Tenanan, Umi?" tanya Haifa antusias tapi masih merasa tak begitu yakin.
Hajah Ruminah mengangguk cepat, penuh semangat. "Iyoo, barusan Mas-mu telepon Umi."
"Alhamdulillah, ya Allah." Haifa mengusap wajahnya seraya memeluk erat Uminya. "Abah sudah tahu, Mi?" ia mengurai pelukannya.
Hajah Ruminah menempelkan telunjuk di bibirnya. "Sssttt, ndak. Abah belum tahu. Biar jadi kejutan. Nanti saja Umi beritahu." Hajah Ruminah bersemangat.
"Oooh, begitu... Rupanya sekarang Umi sudah pintar main rahasia-rahasiaan sama Abah, ya." Haifa memainkan jarinya.
Hajah Ruminah tersenyum serya menepis jari telunjuk putrinya. "Hus! Ndak lah, Fa. Namanya juga kejutan. Itu juga pesan Mas-mu. Katanya sih dia mau mampir dulu ke rumah temannya." Hajah Ruminah memberi penjelasan.
"Owh... Begitu." Haifa memgangguk paham. Lalu tatapannya pun jatuh pada foto sang kakak. Haifa tersenyum, pikiran dan ingatan gadis yang sembilan tahun lebih muda dari Afif itu pun menerawang pada berbagai macam kenangan peristiwa bersama sang kakak. Sesekali Haifa menarik napasnya lebih dalam. Di raih foto itu dan ditatapnya dengan penuh rindu.
Kini, entah seperti apa wajah kakaknya itu. Yang jelas... Sejak Haifa mondok pun, ia sudah kesulitan untuk bisa mengetahui kabar sang kakak. Jika sempat dan ketika ia sedang rindu, Haifa hanya bisa menulis surat yang kemudian ia kirim melalui pos. Tapi, itu pun hanya sekali Afif balas. Menyebalkan memang. Tapi Haifa selalu berbaik sangka, bisa saja pos itu jauh dari tempat sang Kakak belajar atau juga sibuk dengan kuliahnya. Kesal sih, tapi untuk kali ini ia senang karena besok ia akan bisa melihat lagi kakak lelakinya. Pulang dan berkumpul lagi bersama keluarga.
"Mas Afif sekarang kaya apa ya, Mi?" Haifa menerawang.
"Seperti apa, apanya?" tanya Umi seraya melipat pakaian yang sore tadi baru saja diangkat dari jemuran.
"Yaaa, wajahnya, Umi. Ifa kan penasaran, Mi. Apa Mas Afif itu masih seperti dulu apa ndak gitu loooh. Lagian Mas Afif itu aneh, jaman wes modern kok ndak punya medsos sama sekali, piye toh?" keluh Haifa seraya menepuk jidatnya sendiri.
"Yo wees, Besok juga kamu tahu, Nduk... Sudah, yang jelas besok tugasmu itu bantuin, Umi."
"Enggih, Insya Allah, Kanjeng Mami...," ledek Haifa, "lagi pula, apa sih yang ndak bisa buat Umi?" Haifa terkekeh seraya beranjak dari duduknya. "Ya sudah, Ifa ke kamar dulu ya, Mi. Mau simpan mukena."
Hajah Ruminah tersenyum. "Sudah sana. siapkan makan malam. Nanti Abahmu keburu pulang."
"Enggiiih, Umiii," ucap Haifa seraya beranjak pergi.
🍮🍮🍮
Udara di luar masih cukup dingin. Embun pagi membasahi ranting dan dedaunan. Sudah biasa sebenarnya jika suasana desa selalu seperti pagi ini. Tapi suasana dapur rumah Hajah Rumanah terasa berbeda. Meski dingin terasa mengigit, kesibukan wanita paruh baya sudah dimulai sejak pagi buta.
Selepas shalat Subuh, Haifa segera membantu Uminya untuk membereskan pekerjaan rumah, ke dapur untuk memasak. Di sana, di atas meja, sudah tampak beberapa bahan yang akan diolah.
"Masak apa kita, Mi?" tanya Haifa.
"Umi mau masak Nasi Grombyang dan sate jeroan, Fa. Mas-mu pasti kangen masakan Umi. Kan selama di sana, Umi yakin, Mas-mu ndak pernah nemu Nasi Grombyang." Hajah Rumanah bersemangat.
Nurhaifa mendesah, selalu saja begini. Entah kenapa Uminya itu lebih suka repot ketimbang cara yang praktis. Apalagi demi masak Nasi grombyang. Dan jika sudah begini, Haifa bisa apa selain menemani Uminya di dapur?
Nasi Grombyang adalah kuliner khas Pemalang. Masakan ini terbilang unik karena Nasi Grombyang tampak seperti makanan gabungan antara Soto dan Rawon. Rasanya sangat enak karena kaya akan aroma bumbu rempah. Apalagi jika ditambahkan Kluwek, warna kuahnya akan sedikit tampak menghitam. Tapi itulah yang membuat Nasi Grombyang itu enak di lidah dan akan lebih nikmat jika disajikan bersamaan dengan sate daging sapi dan sate Jerohan.
"Kenapa ndak beli aja sih, Umi ...? Nasi Grombyangnya Pak Haji Warso yang deket alun-alun tuh, kan enak, Mi. Ndak perlu repot begini juga. Cape," keluh Haifa.
"Hus! Baru masak segini sudah bilang cape? Gimana kalau nanti sudah jadi istri orang, kamu harus masak tiap hari?" rutuk Hajah Ruminah.
"Tapi kan, Mi ...."
"Sudaah, ndak usah protes. Sekarang mending kamu ambilkan kelapa parut pesanan Umi di Mbok Dijah. Kelamaan kalau mesti Mbok Dijah yang anter ke sini. Jadi mending kamu ambil saja."
"Sepagi ini?"
"Iyaaa."
"Tapi, kan, Mi...." Hajah Ruminah langsung melirik seolah berkata, 'Ndak usah banyak protes'
"Enggih, Mi." Haifa pun manut.
Gadis bertudung labuh itu pun berjalan kaki menyusuri jalan desa di saat kabut masih tebal. Tidak begitu jauh, hanya sekitar seratus meter dari rumah dan melewati jalan aspal yang hanya dua jalur kecil.
Saat fokus pada jalanan di depan, tiba-tiba dadanya berdegup kencang. Otak Haifa mulai siaga, menyusun apa saja yang akan ia ucapkan seandainya orang yang ia jumpai pagi memberikan kejutan luar biasa. Tentunya satu kesabaran cukuplah untuk jadi tameng perjalanan Haifa dari rumah menuju warung Mbak Dijah. Jika saja belum sempat beradu pandang, mungkin Haifa akan lebih memilih berbalik arah dan cepat pulang lagi ke rumah demi menghindari hal yang tak pernah Haifa inginkan.
📝📝📝📝
"Ambil kelapa kok lama sekali, Nduuuk." protes Hajah Ruminah saat Haifa pulang dari rumah Mbok Dijah.
"Hmm... Maaf, Umi...." Haifa hanya meletakan bungkusan kelapa itu di atas meja tanpa mau menatap wajah uminya.
Hajah Ruminah menatap heran wajah putrinya. "Kamu abis nangis?"
Hiafa menghindar tanpa mau melihat wajah Uminya. "Ndak kok, Mi... Haifa gak kenapa-kenapa. Tadi cuma kena debu."
"Sejak kapan Umi ajarin anak Umi bohong?" desak Uminya.
Haifa tetap bergeming. Hapal putrinya tak akan bicara apa pun, wanita berusia setengah abad itu pun merasa perlu sedikit membujuknya. Hajah Ruminah menarik kursi dari sudut meja makan dan mencoba mengajak putrinya itu duduk untuk berbincang.
"Ada apa?" tanya Uminya sekali lagi.
Haifa diam. Ia ragu, apakah kejadian tadi harus ia ceritakan pada Uminya atau tidak. Jika ia cerita, Haifa takut apa yang baru saja terjadi akan memicu pertengkaran antara keluarganya juga keluarga Bu Manirah, wanita yang ia temui tadi di jalan sebelum menuju warung untuk mengambil pesanan Uminya.
"Ifa?"
Haifa mengangkat wajah menatap dua manik mata sang Ibu. Tatapan mata Uminya tampak lekat seolah menanti suatu penjelasan meluncur deras dari bibirnya. Haifa tersenyum demi meredam rasa tidak nyaman dalam hati wanita di depannya. Haifa mengurungkan niat untuk ia bercerita. Tak mungkin bukan ia katakan semua yang ia dengar dari mulut Bu Manirah mengenai Kakaknya?
Haifa hafal betul, jika sampai Uminya mendengar apa yang terjadi, pastilah Uminya akan sakit hati. Tidak, Haifa tak boleh merusak kebahagiaan Uminya. Bukankah sebentar lagi Kakaknya akan segera pulang? Semoga saja, setelah kepulangan sang Kakak dari Kairo, semua permasalahan jadi terang benderang. Lagi pula... Haifa tak habis pikir, sebenarnya apa yang Kakaknya katakan hingga Bu Manirah sampai begitu benci dan marah pada kakak sulung juga seluruh keluarganya? Apakah ini ada hubungannya dengan Sakina?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tanpa Syarat
Romance"Cinta tidak akan sampai tanpa hati, karena hati adalah jembatan yang menghubungkan jalan cinta". "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan...