Part 8

12 3 1
                                    

Salah besar, itulah yang saat ini Afif katakan dalam hati. Menyesal? Ya, terbersit rasa menyesal karena ia telah turun dari mobil demi menolong seseorang yang bahkan ia sendiri tidak mengenalnya. Kini, ia hanya harus menyelesaikan sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya. Ia tak bisa menyalahkan Zakky dan siapa pun di sini, sebab kakak sepupunya sendiri pun sudah melarang Afif untuk tidak ikut campur dalam urusan hal yang tidak pernah kita tahu. Tapi dasar Afif keras kepala, ia tetap saja tak bisa membiarkan jiwa seseorang dalam bahaya. Ia tak peduli pada keselamatan jiwanya sendiri. Dan setelah mendapatkan penjelasan dari gadis yangbseusia adiknya itu, kini ia hanya bisa pasrah dan mengorek informasi agar Afif bisa mengantar Gadis manis yang kini tetap bungkam di depanya.

"Masih pusing?" tanya Afif seraya bersiap menyuapkan mie rebus yang dipesanya di warung pinggir jalan.

Gadis bermata sipit itu menatap lurus ke depan, menggeleng lemah tanpa melihat sedikit pun ke arahnya. Afif menautkan kedua alisnya, bingung.

Nih orang bisa ngomong apa nggak, sih? Perasaan dari tadi ditanya kok, gak ada niat jawab sama sekali.

"Kamu mau ke mana? Biar saya antar. Ndak baik malam-malam jalan sendirian."

Gadis bertubuh ramping itu tetap diam.

Afif mengembuskan napasnya sedikit kasar. Menggaruk kepalanya yang tak gatal seolah menandakan bahwa ia mulai frustrasi. Melirik Zakky, lelaki itu hanya terkekeh dan malah duduk santai sambil menyandarkan punggungnya pada kursi, bersidekap acuh tak acuh dengan masalah yang kini ia hadapi.

Afif tahu, Zakky sedang mengumpatnya. Tak perlu berkata pun Afif sudah paham dengan melihat senyum sinis dan sorot mata kakak sepupunya itu. Mungkin Zakky berpikir, seharusnya ia sudah bisa sampai rumah paklik dan bulik-nya dari semalam. Dan harusnya ia juga sudah bisa istirahat cukup dari semalam. Namun karena tragedi pemukulan yang salah sasaran itulah, perjalanan pulang jadi terulur karena kepekaan Afif yang terlampau melebihi batas hingga membahayakan dirinya sendiri dan tidak mau peduli atas apa yang disarankan Zakky pada adik sepupunya itu. Maka pantas jika sekarang Zakky hanya diam dan menunggu apa yang akan lakukan selanjutnya.

"Kalau kamu ndak mau juga ngomong, itu artinya kamu ndak butuh bantuan saya lagi. Saya pamit melanjutkan perjalanan kalau begitu. Terima kasih sudah membantu saya, karena kamu saya bisa terhindar dari pemukulan tadi." Afif beranjak membayar semua makanan yang dipesannya.

Gadis itu pun gusar, ia seperti tak ingin Afif pergi begitu saja.

"Mas." gadis itu memanggil saat Afif berajak.

Afif menoleh seraya memasukan dompetnya ke dalam saku celana. "Ya?"

"Sa-saya...," ucap gadis itu dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.

"Ya, kenapa? Sudah siap diantar ke pulang?"

Gadis itu menggeleng.

"Lantas? Kalau ndak mau pulang mau ke mana?"

"Ndak tahu."

"Nggak tahu?!" tanya Afif dan Zakky berbarengan.

Gadis itu diam. Tertunduk dengan air mata mulai meleleh membasahi kedua pipinya. Berdiri mematung sambil sibuk meremas jemarinya sendiri.

"Saya... kabur dari ru-mah." suara gadis itu terdengar lirih.

Afif kembali duduk. "Siapa nama kamu?"

"Ismaya, panggil aja, Maya." gadis itu menjawab dengan terisak.

"Terus saya harus bantu apa kalau kaya gini? Kamu kabur dari rumah, tapi gak mau dianter pulang. Terus maunke mana?"

Cinta Tanpa SyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang