Part 1

99 5 3
                                    

Subhanallah ... hati Afif terus saja memuji kebesaran Allah tiada henti. Tatapannya tak luput dari pada pemandangan indah nan luar biasa yang tersaji di depan mata. Berkali-kali bibir lelaki itu tersenyum dan berpikir bahwa, sepertinya dulu Allah tengah tersenyum tatkala menciptakan alam semesta ini. Dan salah satunya adalah yang kini tengah Afif nikmati. Apa lagi jika bukan Keindahan yang membentang luas di depan mata, menyentuh hati dan jiwa?

Sungai Nil, salah satu keindahan yang ada di bumi dan terkenal sebagai sungai terpanjang di dunia. Sungai terbesar simbol kebanggaan bangsa Arab yang diakui dunia akan keindahannya yang tak pernah redup meski ditelan usia.

Sore ini adalah sore terakhir Afif menikmati senja di Kairo. Matahari tampak bulat dengan rona membara tengah berada di batas cakrawala. Atas seizin Allah, mungkin besok malam ia sudah tidak lagi berada di sini, melainkan berada di belahan bumi lain. Tanah kelahirannya, bumi tercinta, Indonesia. Jujur saja, kali ini Afif merasa sudah tak lagi mampu membendung rasa rindunya pada tanah air tercinta, terutama pada keluarga serta kampung halamannya. Itulah kenapa lelaki yang telah menghabiskan delapan tahun waktunya di Kairo ini, tidak bisa menunda kepulangannya.

Delapan tahun Afif menyelesaikan pendidikan sampai ke jenjang S3-nya. Begitu lulus, Afif tak langsung pulang. Kurang lebih 10 bulan setelah kelulusannya, pemuda dewasa berperawakan jangkung, berkulit bersih itu memilih menetap di Kairo. Bukan ia tak rindu pada Abah dan Umi juga kedua adiknya. Akan tetapi karena rasa tanggung jawab atas amanah Abahnya yang membuat Afif bertahan di sini. Sekuat mungkin kerinduan dan hasratnya untuk pulang ia pendam kuat-kuat.

Afif pikir, amanah dan harapan Abah jauh lebih besar dibanding rindunya Abah untuk berjumpa dengannya. Ya, harapan Abah yang besar kepadanya untuk membesarkan kampung halaman juga syiar islam di desanya, membuat Afif mau tak mau mampu melewati ratusan hari demi satu cita-cita Abahnya. Untuk itulah kenapa Afif lebih memilih fokus melanjutkan pendidikannya ketimbang pulang tanpa membawa hasil yang memuaskan.

"Afif ... Abah berpesan, sebagai lelaki, kamu harus lebih paham ilmu agama, sebab itu adalah modal utama kamu membimbing dan mendidik keluargamu kelak. Ilmu itu wajib dicari dan dikejar. Sebab, ilmu itu datang dan pergi layaknya seperti angin. Kalau kita diberi nafas dan berumur panjang, setidaknya umur kita itu bukan hanya bermanfaat untuk kita, tapi juga untuk semua umat. Ingatlah pesan Abah ini dalam hati dan pikiranmu baik-baik, Fif."

Itulah pesan Abah ketika beberapa hari sebelum Afif meninggalkan Indonesia.

"Jauh betul kau berangan, Fif?" tegur Rizwan saat melihatnya melamun

Sekilas, Afif pun melihat lelaki berkulit coklat asal negeri Jiran itu datang sambil meletakkan dua cangkir kopi. Satu untuknya dan satu lagi untuk Rizwan sendiri. Lelaki itu pun lalu ikut duduk di sebelahnya setelah dia berhasil membuyarkan lamunannya.

"Ndak lah, Riz." Afif mengelak.

"Kopi, Fif." Rizwan menyerahkan secangkir kopi panas yang dibawanya.

"Syukran," jawab Afif seraya menerima secangkir kopi itu dari tangan sahabatnya.

"Yups!" jawab Rizwan, tersenyum saat melihat Afif menyesap kopi darinya yang masih mengepul asap.

Suasana senja yang merona tampak serasi dengan tenangnya aliran sungai Nil di sore hari ini. Berpasang-pasang muda-mudi tampak berjalan-jalan santai, duduk di tepian sungai memadu kasih, bercanda ria tanpa meleps genggaman tangan keduanya. Muda-mudi yang Afif rasa masih sangat belia jika harus dikenalkan pada hal bernama cinta. Sebuah rasa yang fitrah dan seharusnya terjaga. Tapi tidak dengan pemandangan di depannya. Suatu pemandangan yang Afif tebak masih belum halal di miliki oleh Mereka. Afif terlampau ngeri. Betapa banyak kelak rasa itu akan dihisab.

Cinta Tanpa SyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang