Part 7

16 3 0
                                    

"Sakina?"

Sakina terkejut saat lelaki dindepannya menyebutkan nama yang tiada lain ialah dirinya. Begitu ia menerima aksesoris ponsel yang tadi sempat terjatuh dari tangannya, sungguh Ia tak percaya, jika Seorang lelaki yang selama delapan tahun lamanya tak pernah ia jumpai, kini ada di depan mata.

Mas Afif?

Gumam Sakina dalam hati. Ya, ia hanya berbisik dalam hati. Jujur saja, saat pertama kali melihat lelaki di depannya, ia sempat tak mengenali. Mungkin karena perawakan dan wajah lelaki itu yang terlihat lebih dewasa,  membuat Sakina pangling dan  terpaku dalam waktu seketika. 

Sakina terdiam. Mata hitam yang selalu ia rindukan saat inj telah berhasil menguncinya dalam kebisuan. Ah, Afifnya kini sudah tak sama lagi seperti dulu. itu bisa Sakina lihat dari penampilan atau pun fisiknya. Ya, Sakina akui bahwa lelaki yang dulu pernah jadi pujaan hatinya itu terlihat semakin tampan. 

Hati Sakina terasa dicubit. Ia tak menyangkal jika teringat pesan terakhir yang lelaki itu kirimkan kepadanya. Ia ingat bagaimana pada akhirnya Afif lebih memilih melepaskanya daripada sama-sama berjuang dan bertahan demi untuk bisa mewujudkan janji cinta bersama. Ah tidak, Sakina terlalu bermimpi. Bisa saja bukan, jika dulu Afif hanya menganggap cintanya hanya cinta monyet? Di mana saat itu, ia hanya seorang gadis belia yang baru saja merasa jatuh cinta. Gadis yang dijanjikan oleh lelaki yang Sakina anggap sudah tak memiliki harapan untuk bersamanya. 

Entah sampai kapan keraguan itu semakin bertambah. Sakina tak pernah tahu. Apakah ia yang salah mengartikan pesan terakhir lelaki itu, atau memang Afif benar-benar ingin melepasnya? Dan sampai saat ini, pertanyaan itulah yang telah membuat Sakina berkeras hati untuk menutup pintu hatinya bagi siapa pun.  Jika ditanya apakah saat ini Sakina masih berharap tentangnya? Jelas saja ia masih menaruh harap lelaki itu masih menyimpan sedikit rindu untuknya. Namun, ketika ia teringat bagaimana lelaki itu memberikan keputusan yang seolah tak ingin lagi terikat dengan perasaannya, harapan itu seakan mengabu, membias semu bersama waktu yang semakin berlalu. 

"Maafkan aku, Sakina... Sungguh aku tak bermaksud menyakiti apa lagi mempermainkan perasaanmu. Tapi, semakin hari aku mengerti alangkah dhalim jika aku menggantungkan harapan untukmu. Padahal, aku tak tahu pasti apakah aku dapat memenuhi janjiku atau tidak. Maka, aku meminta keihlasanmu, mulai hari ini dan seterusnya... Biarlah Allah yang jadi penentu tentang cinta kita. Lagi pula aku tak mau, jika cinta menjadi alasan untuk setan memiliki kesempatan membisikan keraguan di hati. Jadi, biarlah perasaan itu tetap suci dan terjaga seperti fitrahnya. Bukan untuk dirusak karena nafsu semata."

"Kin, udah ketemu belum? Ayo cepetan. Udah telat, nih."

Sakina tergagap saat Ningrum, menyadarkan ia dari lamunan dan dari tatapan mata lelaki yang masih tetap mengunci pandangannya. Sadar dari lamunannya, bukan menjawab tetapi ia langsung menghindar dengan bergegas meninggalkan Afif seketika itu juga. Hati kecilnya seakan tak ingin memberi kesempatan pada lelaki itu untuk mendekat lagi. Bukan karena ia tak ingin bertemu melainkan ia hanya ingin melindunginhatinya pada kemungkinan besar ia kecewa lagi.   

Tak mau sampai Afif tahu keberadaannya, Sakina memilih untuk beralih ke arah lain untuk menghilangkan jejak. Ya, ia bersembunyi dari kejaran Afif yang ia tahu lelaki jangkung berhidung mancung itu tengah berusaha mencarinya.

"Sopo sih, Kin?" tegur Ningrum saat Sakina terus menarik tangannya menjauh dari tempat tadi. 

"Bukan siapa-siapa." Sakina menjawab seperlunya dengan terus melangkah dan menjauh.

"Tapi kok, sepertinya kamu ndak suka gitu?"

Bukan menjawab, Sakina justru terus saja menarik lengan sahabat satu kontrakannya itu agar segera menjauh dari tempat semula. Dan Ningrum hanya ikut ke mana Sakina membawanya. Untuk sementara, manut adalah lebih baik. Pikirnya. 

Cinta Tanpa SyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang