Seminggu pertama setelah kepulangannya dari Kairo, Afif sudah mulai aktif mengikuti kegiatan yang ada di desanya. Terutama yang terlibat dengan pendidikan yang bangunnnya berdiri di tanah luas milik sang kakek dari pihak abah. Dulu, saat Afif menjelang remaja, lima ruang bangunan yang dimaksud untuk madrasah itu memang tampak tidak begitu terurus. Dan sekarang keadaan itu Afif lihat tampak makin memprihatinkan. Atap yang bocor, lantai yang harus sudah diganti, kusen pintu dan jendela yang mulai keropos dimakan usia. Menyedihkan lagi, hanya ada beberapa orang murid saja yang mau belajar di sana.
Sebenarnya anak-anak di desanya terbilang cukup banyak. Hanya saja mereka semua lebih menghabiskn waktu mereka setelah pulang sekolah dengan bermain. Memprihatinkan, keadaan masih sama seperti sejak Afif masih kecil. Bahkan hanya saja bedanya Afif tidak seperti mereka yang dibiarkan bermain begitu saja. Selepas sekolah SD Afif masuk madrasah selepas Dzuhur hingga Ashar. Meskipun teman satu kelasnya hanya terdiri dari delapan orang anak.
Dan Afif tahu jika itu menjenuhkan. Sebab terkadang semua itu terkendala pada staf pengajar yang memang tidak selalu ada. Paling hanya beberapa orang saja yang mau mengorbankan waktu dan ilmunya untuk bisa mengajar di sana. Dan saat itu, mereka benar-benar tanpa digaji. Makanya, tak heran jika jarang sekali orang yang mampu bertahan di sana, kecuali abahnya yang benar-benar lilahi ta'ala meluangkan waktu setiap hari untuk mengajar. Bahkan, sesekali pula, beliau memberi sedikit uang pengganti bagi para pengajar yang sudah mau bertahan di sana. Dan itu pun belum lah sesuai dengan apa yang seharusnya mereka dapat. Abahnya memaklumi sebab mereka, yang mengajar pun harus membagi waktu untuk mencari nafkah untuk keluarga mereka.
Malam ini, bulan menggantung tanpa tali. Sungguh Maha Kuasa Allah menciptakan hal yang tak mampu ia lukiskan dengan kata-kata. Afif memandangi keindahan itu dari depan teras rumah sambil duduk menikmati secangkir kopi yang tadi sempat dibuatkan adiknya, Haifa.
Tak lama, ia mendengar suara pintu terbuka hingga mengalihkan tatap yang menampakan sosok lelaki dari dalam rumah.
"Bah...," sapa Afif begitu lelaki bersarung dengan kaos putih usang itu ikut duduk di sampingnya.
"Apa yang kamu pikirkan, Fif?"
Afif hanya tersenyum sampai akhirnya ia kembali menatap lurus pada lalu lalang pengendara sepeda motor yang sempat melintas di jalan depan rumah.
"Entahlah, Bah... Afif masih berpikir soal menghidupkan kembali madrasah kita. Sayang kalau bangunannya dibiarkan begitu saja. Kasihan eyang yang sudah mewakafkan kalau ndak dimanfaatkan sebaik mungkin."
Abahnya hanya mengangguk paham arti pembicaraan Afif kali ini sebelum akhirnya beliau berkata, "Ya, Fif. Itulah kenapa Abah ingin sekali kamu bisa ikut andil dalam hal itu. Dan sekarang kamu paham kan, kenapa dulu Abah ngotot minta kamu harus ambil kesempatan untuk ambil beasiswa kuliah di Kairo. Bukan untuk Abah, Fif... Tapi untuk kamu dan semua masyarakat desa kita."
"Ya, Bah...." Afif mengangguk.
"Apa rencanamu?"
"Afif masih coba pikirkan. Mungkin dalam waktu dekat Afif akan coba cari cara agar sebagian bangunan bisa di renovasi lebih dulu sebelum ada hal lebih lagi. Sudah musim penghujan, Afif takut atapnya tidak akan kuat. Afif khawatir atapnya roboh di saat anak-anak sedang belajar, Bah. Setelah itu Afif mungkin akan coba rencana lain. Tapi Afif gak bisa sendiri. Afif butuh orang-orang sekitar yang sekiranya mampu ikut andil dalam rencana Afif untuk menjadikan bangunan itu salah satu yayasan pendidikan di desa kota, Bah."
"Bagus itu, Fif. Siapa tahu dengan begitu bangunan itu jauh lebih bermanfaat."
"Bah, DKM masjid sekitar madrasah itu siapa?"
"Pak Bashor. Kenapa memangnya, Fif?"
"Oh, Pak Bashor. Insya Allah, besok Afif mau ke rumahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tanpa Syarat
Romance"Cinta tidak akan sampai tanpa hati, karena hati adalah jembatan yang menghubungkan jalan cinta". "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan...