Part 3

36 5 5
                                    

"Afif!" suara seorang pria memanggilnya.

Afif langsung melihat ke mana sumber suara itu berada. Seorang lelaki berperawakan tegap mengenakan jaket dan celana panjang itu tampak melambaikan tangan, tersenyum tatkala melihat ke arahnya. Tahu siapa yang menjemputnya, Afif pun bergegas menghampiri Zakky, Kakak sepupunya yang memang sengaja Afif minta menemuinya di bandara.

"Assalamualaikum, Fif! Masya Allah, Apa kabaar?" Zakky menjabat dan menarik Afif, mendekapannya sebentar seraya menepuk punggung lelaki anak dari pamannya itu.

"Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh." Afif semringah, menyambut lelaki berkulit hitam manis di depannya. "Alhamdulillah baik, Mas. Mas Zakky sendiri apa kabar?" tanya Afif seraya mengurai pelukan saudaranya itu.

"Alhamdulillah, baik juga." Zakky menelaah pada koper yang ada di tangannya. "Kamu pasti cape. Mau langsung ke rumah, apa mau ngopi-ngopi dulu?" tanyanya.

"Terserah Mas aja. Saya ngikut."

"Oke, kalau gitu mendingan kita ngopi dulu. Biar sedikit rileks. Ayo!" ajak lelaki yang lima tahun lebih tua darinya.

Afif tertawa seraya menjawab, "Oke!"

Afif pun mengikuti ke mana lelaki itu membawanya. Di sini, di Starbucks coffee sekarang berada. Lokasi yang tidak jauh membuat Afif masih bisa melihat beberapa pesawat. Dan itu karena memang view-nya langsung ke tempat parkir pesawat bandara Soekarto-Hatta.

Zakky memesankan dua gelas kopi dan beberap camilan sebagai pelengkap obrolan mereka malam ini. Banyak sekali obrolan yang mereka bahas malam ini. Berbagi cerita dan pengalaman selama tidak saling bertemu. Dan terakhir, Zakky menyinggung penyebab ketidakpulangan Afif selama delapan tahun. Zakky yang sudah tahu inti masalah dari dulu, tentu saja tak bisa berbuat banyak selain sedikit memberi masukan dan nasihat pada Afif.

"Seharusnya dari dulu kamu pulang, Fif. Gak perlu berkeras hati mengikuti nafsu amarah. Yang ada kamu rugi sendiri kan? Kekerasan hatimu itu, kalau dibiarkan bisa bikin kamu jauh dari keluarga," tutur Zakky setelah sepuluh menit berlalu.

"Ya, Mas benar. Mungkin karena dulu aku terlalu egois... Dan Mas tahu kan apa masalahnya?"

Zakky terkekeh."Karena cinta." Afif tersenyum. "Kamu itu terlalu mengedepankan perasaanmu. Tapi Mas maklum sih, kamu dulu masih muda. emang cinta kadang membuat logika terasa tumpul,"ungkap Zakky kemudian.

Afif tak menjawab. Lelaki itu hanya bisa tersenyum getir, tatapannya jauh ke depan. Dan tepat di sepersekian detik ia pun menjawab, "Jujur saja, dulu saya sempat merasa kecewa dengan keputusan Abah, Mas. Ya, saya kecewa karena merasa Abah gak adil. Saat saya ingin memilih jalan sendiri, justru Abah tidak memberi saya pilihan sama sekali." Afif menjeda. Mengembuskan napasnya perlahan. "Ditambah lagi... semua tekanan yang diberikan Abah. Tapi itu dulu. Sekarang gak lagi. Mungkin karena saya lebih banyak belajar, semakin banyak tahu, jadi saya paham."

"Syukurlah. Setidaknya, nanti ketika kamu pulang dan bertemu Abah dan Umi, kamu udah gak lagi menyimpan kemarahanmu pada Abah. Dan ingat, satu hal yang harus kamu syukuri. Kamu itu termasuk orang yang beruntung, Fif. Bisa mengecam pendidikan lebih tinggi demi menopang masa depan dunia dan akhiratmu, di saat sebagian orang gak dapetin semua itu. Termasuk Mas contohnya." Zakky menyeruput minuman yang tadi dipesannya. "Lagi pula, jodoh itu gak akan kemana, Fif. Jangan takut... Kalau Allah sudah menuliskan dia jadi jodohmu, yakinlah dia gak akan kemana. Tapi kalau gak ada jodoh pun, itu artinya kamu harus belajar ikhlas."

"Ya. Tapi kalau ndak diikhtiarkan ya sama saja bohong, Mas," protes Afif.

Zakky terkekeh, "Jadi sekarang kamu masih penasaran sama Sakina?"

Cinta Tanpa SyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang