Part 5

17 3 0
                                    

Haifa kesal, marah atas apa yang terjadi pada kakaknya. Mengapa lelaki itu sama sakali tak marah untuk membela diri? Menurut Haifa, ditampar di depan umum itu sama saja dengan sebuah penghinaan besar. Apalagi itu dilakukan pada Afif, kakak kandungnya. Meski bukan Haifa yang tersentuh, tapi sebagai adik tentu saja tak ubahnya umpama luka di satu bagian tubuh, Haifa akan tetap merasakan sakit di sekujur tubuhnya. 

Haifa kira kakaknya akan marah atas perlakuan kelewat batas yang dilakukan Bu Manirah. Tapi ternyata tidak sama sekali. Lelaki itu justru tak berkutik sama sekali. Haifa sampai tak habis pikir, sebenarnya apa  yang ada dalam pikiran dan hati kakaknya itu? Bukankah Allah memberi sifat marah pada setiap jiwa manusia untuk membela diri? Dan sebaliknya, bukankah kurangnya rasa marah itu pun dianggap suatu kelemahan?

Melihat gelagat Hiafa, Afif tahu Haifa marah atas sikap diamnya. saat Bu Manirah menamparnya. Afif mengerti kemarahan Haifa. Dan ia pun memaklumi jika gadis bermata tajam itu menganggapnya dungu atau bodoh. Karena sikap diamnya  itulah, sepanjang perjalanan Afif mendengar gadis itu tak henti-hentinya meluapkan kemarahan. Sementara Afif memilih untuk tak banyak bicara, selain mendengarkan adiknya puas hingga akhirnya diam karena sudah kehabisan kata-kata.

Afif mengira, setibanya di rumah ia bisa mengajak Haifa bicara. Tapi ternyata lain dengan keadaannya. Begitu sampai, gadis itu langsung masuk, menangis dan mengunci diri di dalam kamarnya. Melihat gelagat adiknya, Afif pun tak jauh beda. Ia memilih masuk kamar sebelum Uminya curiga karena harus melihat merah di pipinya.

Duduk terdiam di tepi ranjang dengan tangan sibuk mengelus pipinya yang masih terasa sakit. Lamunannya mengingat kembali pada sekilas kejadian tadi pun dengan rentetan kalimat yang Haifa semburkan kepadanya.

"Mas itu gimana sih?! Kalau Mas gak merasa berbuat salah, harusnya Mas lawan. Jangan diam aja! Apa Mas Afif lupa? Ketika ada seseorang yang membangkitkan kemarahanmu tapi Mas diam saja, maka ia sama saja dengan keledai!" sembur Haifa berapi-api.

"Istigfar, Fa... Jangan turuti amarahmu.  Ndak baik."

"Ndak baik Mas bilang? Dan Mas lebih memilih harga diri Mas diinjak-injak sama wanita itu?!" nada suara Haifa meninggi. Sementara Afif sibuk melajukan kendaraannya secara pelan tanpa menjawab apa yang Haifa katakan. Melihat respon Afif, Haifa kembali berkata,

"Benar dugaan Ifa, Mas gak akan pernah peduli. Sebab Mas ndak pernah tahu bagaimana Ibu dari wanita yang Mas suka itu menghinaku. Karena apa? Karena Mas lebih memilih tetap di Kairo dari pada pulang memikirkan kami di sini!" Haifa emosi.

"Afiiif, sudah pulang?" suara Umi dari luar kamar terdengar hingga mengembalikan Afif dari lamunannya.

"Oh, iya, Mi." Afif menjawab dari dalam tanpa membuka pintu, karena ia tahu suara Uminya sudah menjauh dari depan pintu. 

Afif mengembuskan nafasnya yang dirasa sedikit berat. Baru saja ia pulang, kenapa harsu sudah dihadapkan persoalan yang sebenarnya Afif sendiri tidak tahu dari mana semuanya berawal. Bu Munirah, dan sekarang Haifa. Adiknya mungkin tak akan tahu seberapa besar rindu yang Afif punya untuk orang-orang terkasihnya. Di lubuk hati Afif, dulu ia sangat merindukan dan ingin sekali bisa pulang lebih cepat saat di Kairo. Salah jika Haifa pikir ia sama sekali tidak memikirkan orang-orang tercinta. Semua bukan keinginan melainkan sebuah keterpaksaan situasi yang memang mengharuskan Afif menyelesaikan pendidikan selama itu di Kairo.

Dan tadi, jangan dikira Afif tak merasa malu atau juga sakit hati diperlakukan seenaknya di muka umum. Afif mungkin bisa saja melampiaskan kemarahan dan rasa tak terima pada Bu Manirah. Tapi Afif tidak lupa, bahwa yang ia hadapi bukan seorang anak kecil yang bisa ia tegur dan diberi nasihat. Afif pikir, tak mungkin juga ia turutkan hawa nafsu amarahnya dan membuat ia akan jadi buruk secara lahir dan batin. Apa lagi, bagaimana pun Bu Manirah pernah baik saat ia masih sering bersama Sakina. Dan sekarang, Afif masih merasa ada sebuah misteri yang membuat wanita itu berubah 180 derajat, dan Afif tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ketiadaanya. 

***

Waktu bergulir merangkak menuju senja, tapi Haifa masih diam seribu bahasa. Bahkan setelah makan malam pun Haifa tetap tak memberi kesempatan pada Afif untuk mengeluarkan satu kata pun kepadanya. Tepat pukul sembilan malam, saat ia masih terjaga, terdengar ketukan pada pintu kamarnya. Sekali, dua kali, tiga kali, barulah ia mendengar suara Afif dari balik pintu. 

"Fa... Boleh Mas masuk? Mas mau bicara," pinta Afif. 

Tak tega juga Haifa bersikap tak acuh pada seseorang yang lama jauh dan baru ia jumpai lagi. Bagaimana pun Haifa sadar semua bukan salah kakaknya. Haifa pun melangkah, dengan wajah datar ia segera membuka lebar pintu kamar dan menampakan sosok lelaki jangkung berdiri di hadapanya.

Tak menjawab atau berkata apa pun Haifa berbalik, berjalan dan duduk di tepi ranjang. Haifa tahu, Afif mengikuti dan ikut duduk di samping tepi ranjangnya. 

"Kamu masih marah sama Mas, Fa?" tanya Afif membuka percakapan. 

Haifa diam, tak ingin ia jawab sedikit pun pertanyaan yang sebenarnya Haifa yakin Afif sendiri sudah tahu jawabannya.

"Ifa... Maaf, jika selama ini Mas terlalu lama meninggalkan kalian. Sampai-sampai Mas ndak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi antara kamu dan Bu Manirah."

Haifa mentap Afif sekilas lalu kembali menatap lurus pada jendela kamar yang tirainya masih ia biarkan terbuka.  

"Sudahlah, Mas. Lagi pula Haifa ndak pernah mempersoalkan sikap Bu Manirah sama Haifa, Mas. Tapi Ifa kecewa, marah karena sikap yang Mas ambil. Kenapa Mas diam saja saat tadi dia dzalim sama Mas Afif? Jujur saja, Ifa masih ndak bisa terima."

Afif tersenyum, mendengar penuturan Haifa, Afif tahu bahwa gadis itu menyayanginya. 

Afif menarik napas dan mengembuskan secara perlahan sebelum ia berkata sesuatu.

"Haifa... terserah Ifa mau anggap Mas lemah atau apa, tapi tahu ndak Ketika Sayidah Aisyah marah? Rosulullah berkata apa?"  Haifa bergeming.  Afif menjeda sebelum ia lanjutkan lagi kata-katanya.

"Rosulullah berkata, telah datang setanmu. Lalu, Sayidah Aisyah pun berkata lagi, apakah engkau juga ada setanmu?" Haifa pun menoleh seolah ingin tahu

Afif kemudian berkata lagi, "Rosul menjawab, 'ya, tetapi Allah menolongku untuk melawannya sehingga aku selamat. Maka ia tidak menyuruh kecuali dengan kebaikan.' Dan perlu kamu tahu, Fa... Lagi pula, Rosul tidak pernah marah karena hal urusan duniawi."

"Tapi Mas...,"

"Ya, Mas tahu apa yang ada dalam benakmu. Kamu marah karena Mas ndak bertindak atau melawan. Haifa... Dengarkan Mas, kemarahan itu sudah menjadi sifat yang dikaruniakan Allah pada manusia. Sampai kapan pun marah itu tak akan bisa dihilangkan. Meski demikian... Sebagai manusia yang percaya bahwa Allah bersama orang yang sabar, maka ia dianjurkan untuk bisa mengendalikan rasa marahnya.  La taghdhob walakal jannah."

Haifa menitikan air mata. Benar yang dikatakan kakaknya. Kemarahan itu berasal dari setan, sedangkan setan terbuat dari api. Maka tak ayal jika kemrahan diperturutkan, kemarahan itulah yang akan membakar kebaikan dan melahirkan keburukan.

"Astagfirullahal'adhiim." Haifa meraup wajah dengan kedua tangannya.  Kemudian menatap sang Kakak dengan penuh sesal.  Dan ia pun berkata, "Maafkan Ifa, Mas... Ifa terlalu marah, sakit rasanya Ifa lihat Mas tadi. Dan kecewa karena Mas diam saja."

Afif tersenyum seraya menyentuh puncak kepala adiknya. "Mas boleh tanya sesuatu?"

Haifa mengangguk. "Apa yang mau Mas Afif tanyakan?"

"Soal Sakina." jawab Afif seraya mentap lurus tepat pada manik mata adiknya. 

Haifa mengalikan pandangan. Menaikan kedua kakinya pada ranjang seraya menarik selimut hingga sebatas dada. 

"Ifa ngantuk, Mas...  Insya Allah."  Haifa memunggungi seolah tak ingin lagi Afif melanjutkan apa yang baru saja ditanyakan.

Haifa memejamkan mata, dalam hati ia berkata,

ya Allah...  Bagaimana aku harus memulai semuanya? Apakah pantas jika aku menanyakan hal yang Bu Manirah katakan? Apakah tidak akan terlihat aku meragukan Mas Afif jika pertanyaan itu aku utarakan?

####

Cinta Tanpa SyaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang