Tiga hari setelah kemarahan Haifa, Afif tak sempat bertanya lagi tentang Sakina. Bukan lupa karena ia sengaja melupakan, tapi memang karena dua hari belakangan ini ia terlalu sibuk mengurus rencana pengajuan mendirikan yayasan pendidikan. Bersama Pak Bashor Afif harus pulang- pergi demi untuk membuat Akta Notaris pendirian Yayasan. Setelah melengkapi semua persyaratan, dari mulai pemesanan nama, pengajuan dan pengesahan badan hukum, notarislah yang mengawal semua prosesnya.
Udara di luar masih sangat dingin. Bermukim di daerah pedesaan yang dengat dengan kaki gunung memang hal biasa jika kerap merasakan udara dingin. Seperti pagi ini contohnya. Di tambah lagi hujan deras yang mengguyur bumi sejak semalam, menciptakan jejak basahnya masih begitu kentara. Dan sampai pagi ini, terlihat langit yang masih kelabu masih setia bercengkerama dengan ritmis gerimis.
Afif masih terus menggerakan tubuhnya agar sedikit lebih hangat dan berkeringat. Dengan kaos polos lengan pendek berpadu celana training panjang, ia sengaja berolahraga demi mengusir rasa dingin yang membuat sebagian orang malas untuk beranjak dari tempat tidur. Tapi tidur bakda subuh bukanlah kebiasaan Afif.
Jam sudah menunjukan pukul 6.30 WIB. Biasanya sang surya sudah menampakan kilaunya dari balik awan. Tapi tidak dengan pagi ini. Dibiarkannya alam semesta pagi ini begitu sejuk dengan sepoy angin dan sedikit rintik hujan gerimis menerpa dedaunan.
"Mas, singkong." Haifa meletakan sepiring singkong rebus dengan asap yang tampak masih mengepul. Tak luput pula dengan segelas teh manis di atas meja kecil yang diapit dua kursi teras rumahnya.
"Masya Allah... Mantap. Singkong dari mana, Fa?" Afif menghentikan kegiatan dan berbalik mendekati adiknya, mencomot sepotong singkong rebus dari piring.
"Dari kebun belakang, Mas. Kemarin Abah yang ambil." Baru saja Haifa berbalik badan hendak masuk kembali ke dalam, Afif menghentikan langkahnya.
"Fa, boleh minta tolong sebentar?"
"Apa, Mas?"
"Tolong ambilkan laptop Mas di atas meja kamar, ya."
"Oke." Haifa setuju sambil berlalu.
Tak lama Afif menunggu seraya menikmati singkong di tangannya, Hiafa sudah kembali dengan sesuatu yang dimintanya.
"Suwun, ya, Fa," tutur Afif ketika Haifa meletakan benda pipih itu di atas meja bundar samping Afif.
"Iya, Mas. Sama-sama."
Seolah ingin tahu apa yang dikerjakan sang kakak, Haifa tak beranjak, ia justru ikut duduk sambil tatapan jatuh pada ekspresi Afif yang tampak serius.
"Serius banget, lagi ngerjain apa sih, Mas?"
Tanpa melihat ke arah Hiafa, Afif menjawab seraya jari tangannya bergerak pada keyboard laptop di depannya. "Lagi cek Email."
"Oh...." Haifa membulatkan bibirnya.
"Alhamdulillaahirobbil'alamiin." Afif menggumam senang.
"Ono opo to Mas? " Haifa penasaran karena melihat ekspresi bahagia di raut wajah kakaknya.
"Mas dapat panggilan wawancara untuk calon dosen di Surabaya, Dek."
"Masya Allah. Memangnya kapan Mas Afif mengajukan lamaran? Bukannya Mas baru saja sepuluh hari di sini?"
"Sebenarnya sebulan sebelum Mas pulang, Mas sudah ajukan lamaran untuk menjadi dosen ke beberapa universitas yang kebetulan membuka peluang. Mas kirimkan lamaran itu secara online lebih dulu. Termasuk melampirkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Dan Alhamdulillaah... Salah satu lamaran Mas sudah mendapat jawaban."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tanpa Syarat
Romance"Cinta tidak akan sampai tanpa hati, karena hati adalah jembatan yang menghubungkan jalan cinta". "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan...